MEREKA boleh disebut sebagai kaum berjas dan berdasi?biasanya berambut licin. Kemewahan dan gengsi dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari: limousine, rumah asri, apartemen mentereng. Sebutan untuk mereka juga keren: bankir?profesi yang berkelas di masyarakat, "basah", terhormat. Namun, ketika pemerintah mulai menutup bank-bank bobrok, sebagian dari para bankir ini bertambah predikat: orang tercela.
Sabtu pekan lalu, 38 bank kembali diturunkan papan namanya untuk selama-lamanya. Bertambah lagilah bankir yang masuk daftar orang tercela (DOT). Jika dari setiap bank ada tiga orang saja bankir yang masuk DOT, Sabtu pekan lalu itu paling tidak lebih seratus orang "bankir baru" ada di DOT. Jumlah bankir di daftar cela itu belum pasti karena pemerintah sampai sekarang belum mengumumkan siapa saja yang dimasukkan dalam DOT.
Padahal, pemerintah seharusnya menangani masalah soal ini sejak pengumuman gelombang pertama bank yang dibeku-operasikan (BBO) pada 1 November 1997. Saat itu, ada 16 bank yang masuk kategori BBO dan kemudian dilikuidasi. Namun, sampai saat ini tidak satu pun bankir dari 16 bank yang masuk kategori BBO tadi yang dimasukkan dalam daftar orang tercela (lihat: Lenggang Kangkung Pembobol Bank). Sebutlah nama Bambang Trihatmodjo dan Prayogo Pangestu, keduanya komisaris Bank Andromeda, yang sampai sekarang masih lenggang kangkung dengan bebasnya, walau pernah diperiksa Kejaksaan Agung. Putra Soeharto yang pernah menjadi bos grup usaha Bimantara itu bahkan diberitakan tengah berada di Amerika Serikat sekarang ini.
Dengan penanganan amburadul begitu, banyak kalangan menilai pemerintah sama sekali tidak serius dengan upaya pembersihan bank. Kalau pemerintah membiarkan orang-orang yang tidak becus masuk ke bisnis bank, pemerintah sama saja dengan membiarkan uang rakyat berada di tangan "penjudi": jika bisnis bank jalan, uang rakyat aman; kalau bisnis macet, uang rakyat biar jadi tanggungan pemerintah.
Pemerintah pernah berjanji akan mengumumkan para bankir "nakal" itu. Namun Gubernur Bank Indonesia (BI), Syahril Sabirin, sendiri tidak mengakui bahwa pemerintah pernah berjanji untuk mengumumkan DOT. "Kita harus lihat dulu masalah hukumnya, bisa diumumkan atau tidak," kata Syahril, yang jujur menyatakan bahwa dia tidak tahu-menahu segi hukum pengumuman DOT.
Pengakuan yang agak aneh. Sebab, sebenarnya Bank Indonesia sudah sejak tahun 1995 mengeluarkan edaran tentang kriteria bankir yang masuk DOT. Antara lain disebutkan bahwa pemegang saham bank yang punya lebih dari 35 persen, langsung maupun melalui pasar modal, termasuk dalam DOT bila banknya bermasalah. Siapa lagi yang masuk DOT? Yaitu bankir yang melakukan transaksi fiktif, kolusi dengan nasabah, tak mampu mengendalikan perselisihan interen yang mengakibatkan bank ambruk, melakukan praktek "bank dalam bank" dan manipulasi neraca dengan window dressing?sengaja "menghias" laporan keuangan banknya agar tampak sehat. Bahkan, mantan pengurus dan pemegang saham, kalau terbukti melakukan aksi patgulipat, bisa digiring masuk ke daftar orang tercela.
Aturan Bank Indonesia tentang DOT ini sebenarnya sudah tepat maksudnya, yaitu agar bisnis bank yang basisnya adalah kepercayaan bisa terbebas dari orang-orang yang beritikad buruk. Dan, BI sendiri menyatakan bahwa hasil penelitian tentang orang-orang tercela itu hanya untuk kepentingan interen dan diberikan kepada orang-orang yang ingin menjalankan bisnis bank, agar tidak salah pilih orang.
Namun, selalu saja terjadi: ada aturan, tapi tanpa upaya pelaksanaan. Aparat pemerintah, yang seharusnya diandalkan untuk melaksanakan aturan hukum yang disyaratkan dalam edaran Bank Indonesia itu, ternyata alpa?atau terlibat kolusi untuk memandulkan aturan tadi. Penutupan 16 bank pada November 1997, yang tak diikuti pengumuman DOT dan tindakan hukum yang setimpal, akhirnya menyulut kecurigaan bahwa BI juga "ikut bermain" dalam kasus DOT ini. Contoh paling kasatmata adalah kasus Bambang Trihatmodjo. Ia, yang pernah menjadi Komisaris Bank Andromeda yang di-BBO-kan, ternyata tanpa hambatan sedikit pun bisa kembali menjadi Komisaris Bank Alfa, walaupun kemudian terbukti bahwa Bank Alfa pun bobrok dan ditutup pada 13 Maret 1999 lalu. Bambang diberitakan sudah berhasil memboyong semua aset Bank Andromeda ke Bank Alfa, mulus tanpa hambatan sedikit pun dari BI.
Kasus Bambang sangat berbeda dengan kasus Edward Soeryadjaya. Dua kasus ini menunjukkan bahwa BI menjalankan politik pilih kasih dalam menjatuhkan sanksi. Edward, mantan Presiden Direktur Bank Summa yang dilikuidasi tahun 1992, ketika itu mendapatkan predikat tercela. Belum lama ini anak mantan bos Astra, William Soeryadjaya, ini dicekal BI ketika tercium hendak kembali masuk di Bank Papan bersama dengan Ketua Umum NU Abdurrahman Wahid. Direktur BI Subarjo Joyosumarto sendiri menyatakan bahwa suntikan dana di Bank Papan dianggap tidak sah karena ada unsur Edward di sana.
Penjelasan lebih lengkap jelas diperlukan soal DOT itu agar tidak membingungkan. Misalnya, siapa saja bankir yang dimasukkan dalam DOT. Apakah manajer di bank bisa dimasukkan dalam DOT, misalnya. Sebab, tentu saja tidak setiap pemilik, komisaris, direksi, dan pegawai bank-bank yang ditutup itu semuanya bersalah. Apakah "dosa" bank itu harus dibebankan secara tanggung-renteng kepada semua jajaran bank?
Yang harus dicegah, kata seorang pengamat, adalah penilaian Bank Indonesia yang sifatnya gebyah-uyah alias menyamaratakan persoalan. Contohnya, "dosa" bank karena melanggar batas maksimum pemberian kredit kepada grup usaha sendiri haruslah dibedakan dengan "dosa" penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia. Pelanggaran batas maksimum kredit, sebagai perumpamaan, mustahil dilakukan oleh pemegang saham minoritas atau pemegang saham melalui bursa. Pelanggaran kategori ini biasanya dilakukan direksi atau komisaris bank bersangkutan.
Definisi yang jelas akan memudahkan penilaian dan sanksi. Bagaimana misalnya kalau BI harus menilai Hamonangan Sinaga, Direktur Utama Bank Papan, yang baru dua minggu duduk di kursinya. Bahkan, Hamonangan baru benar-benar aktif di kantor barunya selama seminggu, sebelum Bank Papan menerima vonis ditutup Sabtu pekan lalu. Lalu, bandingkan nasib Sinaga dengan para direktur di bank BTO seperti BCA, yang utang BLBI-nya mencapai Rp 47,75 triliun. Siapa yang lebih layak dimasukkan dalam daftar orang tercela? Ini pekerjaan rumah untuk BI.
Sebagian bankir juga menuntut BI lebih luwes dalam menentukan DOT ini. Dengar saja cerita Tjandra Irawan, Direktur Operasional Bank Danahutama, yang kena vonis tutup dari pemerintah. Menurut Tjandra, kehancuran banknya tidaklah disebabkan oleh kesalahan sistem, tapi lantaran peraturan pemerintah dan kondisi makro ekonomi yang tidak benar. Bank Danahutama hanya terkena imbasnya saja. Para pengelola bank yang terkesan "tidak becus" itu sebenarnya juga produk kondisi ekonomi yang parah ini.
Artinya, BI perlu benar-benar mengategorikan mana bankir yang kategorinya "nakal", "tidak becus", dan mana yang korban krisis moneter. Ini perlu untuk menentukan DOT. Sebab, sekali bankir masuk DOT, namanya akan cacat seumur hidup, karir perbankannya praktis wassalam, tamat. Dan ini terjadi dalam kasus karyawan BCCI (Bank of Credit and Commerce International) yang dilikuidasi pada 1991. BCCI terbukti meninggalkan dosa turunan kepada karyawannya. Praktis seluruh karyawan bank internasional di London itu tidak bisa lagi bekerja di dunia perbankan. Karena nila setitik, rusaklah nama semua karyawan BCCI. Karena itulah, karyawan BCCI kini menuntut otoritas moneter di London untuk memulihkan nama mereka.
Urusan semacam ini bukan tak mungkin terjadi di Indonesia. Apalagi, dalam program rekapitalisasi perbankan yang berjalan sekarang, akan ada gelombang pemutusan hubungan kerja yang menimpa sekitar 25 ribu pekerja. Data itu diungkapkan Bomer Pasa-ribu, Ketua Serikat Pekerja Niaga dan Bank.
Alhasil, jangan sampai para karyawan yang "tidak tahu apa-apa" tentang praktek nakal banknya juga ikut terkena getahnya. Sedangkan si penjahat bank enak-enak goyang kaki?barangkali sambil dipijiti sejumlah wanita cantik dan sesekali meneguk red wine?di negeri orang, sementara si buruh dan pekerja bank yang tiap hari naik turun bus harus menanggung "getah nangka" yang tak ikut dicicipinya.
Bina Bektiati, Ardi Bramantyo, Dwi Wiyana, Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini