Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA keras itu menembus ruang rapat utama Markas Besar Kepolisian RI di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. "Kami meminta Kapolri Jenderal Polisi Da'i Bachtiar untuk mundur dari jabatannya." Suara mahasiswa yang berdemonstrasi itu sampai ke telinga para jenderal polisi, termasuk Da'i Bachtiar, yang sedang menikmati makan siang di ruang itu, Jumat pekan lalu. Kepala Polri yang tengah dirundung kasus "Makassar Berdarah" itu baru saja selesai melantik pejabat-pejabat baru polisi, termasuk beberapa kepala kepolisian daerah.
Desakan agar Kapolri menanggalkan jabatannya juga terdengar dari Gedung DPR, Rabu pekan lalu. Sejumlah wakil rakyat menuntut orang nomor satu polisi itu mundur sebagai tanggung jawab atas kejadian penyerbuan brutal polisi Makassar ke kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) pada Sabtu dua pekan lalu.
Da'i segera memanggil para penasihatnya, Jumat pekan lalu. Para pakar hukum, kriminolog, dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), juga tokoh pers, tampak berduyun-duyun datang memenuhi undangan Da'i Bachtiar di lantai dua gedung utama Mabes Polri. Indria Samego dari LIPI, seusai pertemuan, mengatakan, "Tindakan polisi di Makassar menunjukkan mereka seperti tak terlatih."
Sayang sekali, Da'i belum bersedia diwawancarai ihwal peristiwa di Makassar yang membuatnya terpojok itu. Ditemui wartawan seusai salat Jumat pekan lalu, ia tak mau menjawab pertanyaan tentang kasus yang sudah membuat Kapolda Sulawesi Selatan dicopot itu. Adakah Da'i akan mundur dari jabatannya? Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Paiman, mewakili Da'i menjelaskan seputar kasus UMI dan tuntutan pencopotan untuk bosnya.
Apa yang dilakukan Markas Besar Kepolisian RI setelah mencopot para pejabat polisi di Makassar?
Di Makassar sudah dilakukan sidang intern kepolisian, menyangkut masalah disiplin dan kode etik. Sampai Jumat kemarin ini sudah sepuluh polisi kami sidangkan. Sidang kode etik kepolisian itulah yang akan menentukan tingkat kesalahan. Jika mereka dianggap bersalah, hukuman paling tinggi adalah pemecatan. Jika hukuman itu sudah dilakukan, mereka akan dibawa ke muka peradilan umum.
Mengapa hukuman berat itu hanya diberikan kepada anak buah? Bagaimana dengan para pemimpin polisi yang membiarkan kejadian itu?
Bagi para pemimpin, teguran saja sudah merupakan hukuman yang luar biasa. Seorang pemimpin tidak akan memerintah anak buahnya bertindak di luar hukum. Aksi (ke kampus UMI?Red.) itu dilakukan oleh orang per orang dan sekarang sedang diteliti oleh tim dari Markas Besar Polri.
Jadi, pencopotan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Inspektur Jenderal Jusuf Manggabarani, termasuk tindakan luar biasa?
Ya. Pak Jusuf tidak ikut memukul. Tapi nanti ada penyidikan disiplin dan kode etik. Dari hasil pemeriksaan tim Markas Besar Polri akan jelas apakah ada unsur kelalaian pimpinan di sana. Sekarang belum bisa dikatakan Pak Jusuf bersalah. Kami ingin menunjukkan bahwa langkah yang kami lakukan transparan. Dengan kejadian itu, citra kepolisian terluka. Kami sedih sekali karena Kapolri sedang gencar-gencarnya menekankan perlunya pelayanan dan pengayoman. Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Tak semua polisi bertindak brutal. Polisi di Solo sampai digampar pengunjuk rasa pun tetap diam demi citra polisi yang baik.
Terlihat di tayangan televisi kebrutalan polisi di Makassar itu. Mengapa polisi menganggap mahasiswa seperti pencopet atau maling ayam?
Markas Besar Polri sudah langsung menegur polisi di sana. Kami langsung meminta agar pemimpin polisi di sana menegur anak buahnya.
Benarkah Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan sampai 10 kali mendapat telegram rahasia berisi teguran atas aksi kekerasan polisi terhadap penjahat selama ini?
Betul kami memberikan teguran keras. Saya juga heran, apa memang (aksi kekerasan) sudah menjadi budaya di sana.
Bagaimana merehabilitasi keadaan?
Kapolda yang baru, Inspektur Jenderal Saleh Saaf, akan segera mengambil langkah untuk menyejukkan suasana di sana. Termasuk membangun kembali hubungan baik dengan kampus.
Kekerasan UMI menyulut tuntutan agar Kapolri mundur dari kursinya. Menurut Anda?
Soal itu ada prosesnya, tidak bisa serta-merta karena ada desakan dan komentar. Mundur tidak langsung menyelesaikan masalah. Beliau sudah memberikan instruksi ini dan itu, mengapa beliau juga harus mundur? Itu tidak adil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo