Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akibat Ekspansi Terlalu Kencang

Keluarga Bakrie terdesak untuk menyelesaikan pembayaran utang. Aset-aset utama akan dijual. Kekayaan merosot.

27 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Utang kembali menjadi batu sandungan kelompok usaha Bakrie. Ketika krisis finansial menghumbalangkan Amerika dan Eropa, kelompok usaha yang dibangun Achmad Bakrie pada 1942 ini ikut terkena dampak. Kekayaan ­Ba­krie menyusut dan bahkan kini Bakrie terlilit utang US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 11 triliun. Utang tersebut akan jatuh tempo mulai Oktober ini sampai April 2009.

Tak punya pilihan yang lebih baik, keluarga Bakrie terpaksa melego sahamnya. Hingga akhir pekan lalu, baru 15,3 persen saham Bakrieland dan 5,6 persen saham Bakrie Sumatera yang terjual, masing-masing US$ 46 juta kepada Avenue Luxembourg SARL dan US$ 10 juta kepada Longines Offshore Co. Ltd. Menurut Direktur Ba­krie & Brothers Dileep Srivastava, perseroan sedang dalam proses menjual saham Bumi Resources.

Terjebaknya Bakrie & Brothers ke dalam persoalan utang itu akibat terlalu ekspansif. Keluarga Bakrie, kata seorang petinggi perusahaan investasi, sangat agresif memperluas usaha ke sektor infrastruktur, energi, telekomunikasi, dan perkebunan. ”Sumber dana umumnya berasal dari pembiaya­an eksternal, seperti pinjaman bank atau lembaga keuangan.”

Menurut Kepala Riset PT BNI Securities Norico Gaman, kelompok usaha Bakrie terlalu mengandalkan utang yang melebihi kemampuan modalnya. Total utang bisa mencapai 70-80 persen dari kebutuhan dana. ”Itu akan menyulitkan,” ujarnya. Sampai paruh pertama 2008, pinjaman Ba­krie & Brothers melambung 2,5 kali lipat menjadi Rp 18,4 triliun, sedangkan modalnya hanya Rp 3,8 triliun.

Bukan kali ini saja keluarga Ba­krie terjatuh lantaran utang. Saat krisis moneter menerjang Indonesia pada 1997, Bakrie juga ambruk gara-gara utangnya melar. Sebelum krisis, pinjaman Bakrie sebesar US$ 1,086 miliar hanya setara dengan Rp 2,7 triliun. Tapi, begitu nilai tukar rupiah tersuruk hingga Rp 10 ribu, utangnya me­lonjak sampai Rp 11 triliun.

Ketika itu, Bakrie menghadapi pelbagai soal. Bank Nusa Nasional miliknya mesti direkapitalisasi dengan dana Rp 3,8 triliun. Dari jumlah itu, Bakrie harus membayar Rp 700-an miliar. Akhirnya, Bank Nusa Nasional ditutup dan persoalan ini diselesaikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pada saat yang sama, Bakrie juga punya utang macet di sejumlah bank, termasuk di bank-bank pemerintah—nilainya sekitar Rp 4,2 triliun.

Utang macet Bakrie itu akhirnya selesai pada akhir 2001 dengan cara ditukar dengan saham dan aset. Saham keluarga Bakrie yang semula 58,2 persen terpangkas menjadi hanya 2,92 persen. Tapi bos Bakrie ketika itu, Aburizal Bakrie, tak mau menyerah. ”Dalam lima tahun, kami akan membeli kembali hingga 25 persen,” katanya.

Kata-kata Aburizal terbukti di kemudian hari. Setahun setelah restrukturisasi, Bumi Resources mengakuisisi PT Arutmin Indonesia, perusahaan batu bara milik BHP Billiton, senilai US$ 180 juta. Pada 2003, Bumi ­mengakuisisi Kaltim Prima Coal, produsen batu bara milik Rio Tinto dan BP Plc., senilai US$ 500 juta. Keluarga Bakrie juga sukses mengambil kembali Bakrie Sumatera dari kreditor.

Semburan lumpur di ladang gas milik PT Lapindo Brantas, unit usaha Energi Mega Persada, pada akhir Mei 2006 juga tak membuat goyah. Padahal Grup Bakrie harus membayar ganti rugi Rp 3,8 triliun kepada masyarakat Sidoarjo. Bukannya bangkrut, keka­yaan malah bertambah. Pada 2007, majalah Forbes Asia menobatkan keluarga Bakrie sebagai orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan US$ 5,4 miliar (hampir Rp 50 triliun).

Tapi keluarga Bakrie tak mampu menghentikan dampak krisis finansial global. Bursa Efek Indonesia ambruk. Indeks harga saham terpuruk tinggal 1.244. Padahal, pada Januari lalu, indeks sudah 2.800-an. Harga saham Bakrie pun ikut ambles. Saham Bumi, misalnya. Pada 12 Juni, saham Bumi masih Rp 8.550 per lembar, tapi pada 6 Oktober lalu tinggal Rp 2.175. Kapitalisasi saham perusahaan Bakrie pun jatuh dari Rp 283 triliun (harga tertinggi) menjadi Rp 67 triliun pada 22 Oktober lalu.

Keluarga Bakrie kini menghadapi dua kemungkinan: terjatuh untuk kedua kalinya atau lolos lagi. Sayangnya, keluarga Bakrie belum mau berkomentar banyak atas isu yang berkembang. Anindya Bakrie, anak sulung Aburizal Bakrie, bolak-balik hanya meminta dikirimi daftar pertanyaan, tapi tak berbalas. Sang paman, Nirwan Ba­krie, juga memilih diam.

Memang tak mudah menghitu pe­luan Bakrie. Yang jelas, kekayaannya sudah tergerus. ”Kalau bangkrut sih tidak. Mereka masih kaya,” kata seorang pengusaha. Ketua Asosiasi ­Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menambahkan, ”Ilmu kungfu mereka tinggi. Tingkat survival-nya hebat.”

Padjar Iswara, Ismi Wahid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus