Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIR pekan-pekan belakangan ini bukan waktu berleha-leha buat para broker di bursa saham. Sudah tiga pekan mereka dihantui rasa waswas karena nilai saham yang digadaikan oleh PT Bakrie & Brothers Tbk. untuk memperoleh pinjaman tergelincir di pasar modal. Sedangkan niat Bakrie menjual sahamnya di PT Bumi Resources untuk menutup utang masih diragukan.
Itu sebabnya, Ahad sore dua pekan lalu, belasan perusahaan broker—dimediasi oleh manajemen Bursa Efek Indonesia—bertemu dengan Nirwan Dermawan Bakrie di private dining room lantai enam Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta.
Inilah tatap muka pertama para broker dengan nakhoda kapal bisnis Bakrie sejak keluarga itu kelimpungÂan dibelit utang. Nirwan datang ditemani eksekutif kepercayaannya, Ari S. Hudaya, Direktur Utama Bumi Resources. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah dan Direktur Pencatatan Eddy Sugito ikut mendampingi.
Pertemuan itu dilakukan, kata Eddy, agar para broker mengetahui langkah yang akan diambil Grup Bakrie untuk menyelesaikan seluruh utangnya. ”Ini sekaligus untuk meminimalisasi tekanan dan kepanikan di pasar,” katanya.
Kesempatan itu tentu saja digunakan para broker untuk bertanya tentang kepastian pengembalian pinjamÂan yang mereka berikan, yang jumlahnya ditaksir sekitar Rp 4 triliun. Mereka juga mempertanyakan keseriusan Bakrie melepas saham Bumi.
Berbincang selama 45 menit, adik kandung Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie itu berjanji mengembalikan dana mulai Kamis dan Jumat pekan lalu. Bahkan penjualan 35 persen saham Bumi direncanakan tuntas pada Rabu.
Bakrie berlomba dengan waktu karena pinjaman dari sumber lokal dan luar negeri yang belum dilunasi menyentuh US$ 1,192 miliar dan Rp 510,81 miliar, dengan tingkat suku bunga 8,5 persen sampai 20,75 persen.
Seluruh pinjaman itu didapat dari serangkaian aksi gadai saham anak usaha Bakrie sepanjang April hingga September. Mengacu pada kapitalisasi pasar lima bulan lalu, nilai kolateral saham yang dijaminkan menembus US$ 6 miliar. Tapi kini nilainya susut tinggal US$ 1,35 miliar. Nilai saham yang merosot hingga di bawah perjanjian gadai membuat Bakrie harus menutup kekurangannya.
Tapi Bakrie & Brothers lagi bokek. Rasionalisasi terhadap portofolio perusahaan mau tidak mau harus dilakukan. Karena itu, Nirwan menegaskan, keluarga Bakrie siap kehilangÂan Bumi. ”Dalam kondisi seperti sekarang, tidak ada pilihan buat keluarga Bakrie selain menjual aset terbaiknya,” kata sumber Tempo di perusahaan broker menirukan ucapan Nirwan.
Ternyata janji Nirwan masih sekadar janji. Hingga Jumat malam, para broker belum menerima pembayaran. Kepastian penjualan saham Bumi pun kembali mengambang.
Sumber Tempo di Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengatakan penjualan saham Bumi belum ada titik temu karena konsorsium Texas Pacific Group, Northstar Pacific-Farallon, dan tiga perusahaan tambang milik negara mengajukan penawaran US$ 1,28 miliar (Rp 12,8 triliun dengan kurs Rp 10.005 per dolar), atau setara dengan Rp 1.846 per lembar saham. ”Harga itu di bawah ekspektasi Bakrie,” katanya. Nilai itu jauh di bawah posisi terakhir saham Bumi saat disuspensi 7 Oktober lalu, yakni Rp 2.175 per lembar.
Sedangkan keluarga Bakrie mematok harga US$ 2 miliar (Rp 20,1 triliun), atau Rp 2.916 per lembar saham. Tak cuma itu. Grup Bakrie ingin memasukkan opsi bisa membeli kembali (buy back) 20 persen saham Bumi dalam waktu tiga tahun. Konglomerasi yang dibangun Achmad Bakrie sejak 1942 itu, kata sumber tadi, juga meminta posisi Ari S. Hudaya sebagai Direktur Utama dan Nalinkant A. ÂRathod sebagai Komisaris Bumi tidak diganggu gugat.
Di pihak lain, pembicaraan di antara para anggota konsorsium itu juga tidak mudah. ”Perkawinan di antara mereka terkesan dipaksakan,” katanya. Akibatnya, niat konsorsium membeli saham Bumi bercampur-baur antara pertimbangan bisnis dan politik. Tiga perusahaan pelat merah yang disebut-sebut masuk konsorsium adalah PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Aneka Tambang, dan PT Timah.
Masalahnya, kemampuan finansial dan pengalaman Bukit Asam mengelola bisnis batu bara diragukan. ”Dari dulu perusahaan itu cuma memproduksi 10 juta ton batu bara per tahun,” kata salah seorang pengusaha papan atas. Padahal, melihat cadangannya, mestinya produksi Bukit Asam bisa digenjot.
Bekas salah satu anggota direksi emiten tambang mengatakan keterlibatan Aneka Tambang dalam konsorsium juga mengandung risiko. ”Bukan kompetensi Aneka Tambang terjun di batu bara,” katanya. Ia khawatir keÂikutsertaan perusahaan itu bisa mengurangi perhatiannya ke bisnis inti. Padahal perseroan lagi punya pekerjaan rumah seabrek.
Bantahan datang dari Direktur Utama Bukit Asam Sukrisno. Menurut dia, konsorsium sama sekali belum menyampaikan penawaran. ”Kami masih mempelajari aspek keuangan dan hukum,” ucapnya. Kalaupun nantiÂnya memutuskan bergabung, perseroan akan tetap meminta persetujuan rapat umum pemegang saham luar biasa.
Lagi pula, kata Direktur Keuangan PT Bukit Asam Dono Boestami, BaÂkrie belum tentu menjual saham Bumi. ”Kami tunggu saja penawaran resmi dari mereka, baru mengajukan harga,” katanya. Anggota konsorsium pun, kata Sukrisno, masih bisa berubah.
Kalaupun ada pembicaraan antara Bukit Asam dan Aneka Tambang, sifatnya masih prematur. ”Semuanya masih wacana,” kata Direktur Utama Aneka Tambang Alwin Syah Loebis kepada Ari Astri Yunita dari Tempo. Soal bergabung-tidaknya perusahaan ini ke dalam konsorsium, Sekretaris Perusahaan Aneka Tambang Bimo Budi Satriyo belum bisa memastikan.
Dari luar negeri, Bakrie mengaku telah diincar investor Australia, India, Malaysia, dan Filipina. Penawaran itu tidak hanya menyangkut harga dan struktur transaksi, tapi juga perjanjian pasokan batu bara. ”Proses negosiasinya memerlukan pertemuan intensif, yang diadakan di Indonesia dan di luar negeri, sehingga memerlukan waktu,” kata Direktur Bakrie & Brothers Dileep Srivastava dalam rilisnya.
Investor Malaysia yang dimaksud, kata Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia M.S. Hidayat, adalah Khazanah Berhad—perusahaan investasi pelat merah milik negeri jiran itu. Sedangkan investor India tak lain Tata Group.
Bila benar peminatnya kian banyak, boleh jadi transaksi tidak bisa dieksekusi dalam waktu dekat. Suspensi terhadap saham Bumi, Energi Mega Persada, dan Bakrie & Brothers pun bisa berlanjut. Padahal Bakrie meminta suspensi diperpanjang sampai Selasa pekan ini. Janjinya, penjualan Bumi dituntaskan pekan lalu.
Namun seorang analis menengarai Nirwan sengaja mengulur-ulur waktu. ”Dia bilang ada negosiasi, tapi belum tentu serius,” katanya. Apalagi, pekan lalu terbetik kabar, Bakrie juga bergerilya mencari pinjaman. Salah satunya, kata sumber Tempo, menunjuk CreÂdit Suisse First Boston untuk mengatur pencarian pinjaman US$ 1,1 miliar. Caranya lewat penerbitan surat utang yang bisa ditukar dengan saham.
Seorang pengusaha menambahkan, berlarut-larutnya soal ini juga karena Bakrie agaknya berharap ada sentimen positif baik di Bursa maupun terhadap saham Bakrie sendiri, sehingga ketika suspensi dibuka, harganya tidak akan jatuh. Dengan begitu, ada harapan harga jual Bumi akan lebih baik.
Berkali-kali ditanyai soal itu semua, Nirwan enggan berkomentar. ”Saya masih di luar negeri,” katanya kepada Ismi Wahid dari Tempo.
KISRUH ini bermula ketika BaÂkrie & Brothers berniat memompa peÂnyertaan sahamnya di tiga anak usaha keluarga Bakrie (lihat ”Dari Krisis ke Krisis”). Ketiganya adalah Bumi Resources (35 persen), Energi Mega Persada (40 persen), dan Bakrie DeveÂlopment (40 persen). Akuisisi internal tiga anak usaha itu menelan fulus Rp 48,44 triliun. Ditambah aksi korporasi lain, total dana yang dibutuhkan jadi Rp 51,3 triliun.
Sebagian dana aksi itu diperoleh melalui penerbitan saham terbatas Rp 40,118 triliun pada April 2008. Sisanya ditutup melalui pinjaman dari Odickson Finance US$ 1,086 miliar, yang diperoleh dengan menggadaikan saham Bumi, Energi Mega, dan Bakrieland. Padahal yang digadaikan adalah saham yang akan diakuisisi.
Sepanjang Juli hingga Oktober, Bakrie kembali menggadaikan saham Bumi dan Bakrie Sumatera Plantation untuk mendapatkan tambahan pinjamÂan. Total pinjaman US$ 1,386 miliar dan Rp 560,81 miliar.
Para kreditor, kata Eddy Sugito, mau menerima jaminan berupa saham anak usaha Bakrie karena kinerjanya bagus. Saham Bumi, misalnya, pernah menembus Rp 8.550 pada 12 Juni 2008.
Siapa sangka, nilai kapitalisasi pasar saham Grup Bakrie menyusut 75 persen hanya dalam waktu sembilan bulan. Sementara awal tahun nilainya Rp 283,83 triliun, per 6 Oktober susut tinggal Rp 70,83 triliun. Saham Bumi mencatat penurunan terendah, dari Rp 165,9 triliun tinggal Rp 42,2 triliun.
Keluarga Bakrie panik. Mereka harus menyetor uang muka kepada kreditor US$ 500 juta untuk menutup selisih harga saham yang anjlok dari batas minimum seperti disyaratkan dalam perjanjian gadai saham. Bumi pun masih terbebani kewajiban meÂnyetorkan tunggakan royalti batu bara dua unit usahanya: Kaltim Prima Coal (US$ 349 juta) dan Arutmin (US$ 161 juta) ke kas negara.
Bakrie juga harus melunasi pembayaran PT Danatama Makmur kepada investor setelah memerintahkan perusahaan itu membeli kembali saham Bumi pada 26 dan 29 September 2008. Transaksi itu tercatat Rp 423,262 miliar. Jatuh temponya tanggal 6 dan 7 Oktober, dan ditalangi dulu oleh PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia.
Berbagai kiat dikeluarkan. Sumber Tempo mengatakan, tiga pekan lalu, Bakrie sempat mendekati para Âtaipan, seperti Putera Sampoerna, bos Grup Artha Graha Tomy Winata, Grup Djarum, dan Indika kepunyaan SuÂdwikatmono. Mereka ditawari saham Bumi.
Namun Tomy Winata menepis kabar itu. ”Saya tidak ditawari dan tidak menawar,” katanya. Tapi sumber tadi mengatakan Tomy sejak awal tak tertarik karena Bakrie tidak langsung melakukan deal khusus dengannya, melainkan mempertandingkannya dengan calon investor lain (Koran Tempo, 13 Oktober 2008). Hal itu jugalah yang mengganjal Djarum dan Putera Sampoerna. ”Ini sulit diterima,” kata sumber itu, ”karena, buat bos-bos, piÂlihannya adalah ikuti sepenuhnya cara mereka atau tidak sama sekali.”
Yang pasti, siasat yang ditempuh Bakrie kali ini berbeda. Sementara pada krisis 1997 dulu Bakrie berani menukar utangnya dengan kepemilikan saham, kali ini lebih mengedepankan jejaring koneksi politik. Sumber Tempo mengatakan Nirwan dan Aburizal kedapatan menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wakil Presiden, Selasa tiga pekan lalu
Entah kebetulan entah tidak, sepekan setelah itu, mencuat wacana agar pemerintah membantu Grup ÂBakrie mengumpulkan dana US$ 1,2 miliar. Usul itu dilontarkan Kamar Dagang dan Industri saat rapat paripurna kabinet terbatas di Gedung Utama Sekretariat Negara. Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menolaknya. ”Itu adalah risiko bisnis yang harus ditanggung perusahaan,” kataÂnya di tempat yang sama. Akhirnya Presiden, kata M.S. Hidayat, Âmengisyaratkan agar Bakrie dibantu oleh perusahaan dalam negeri.
Tak aneh bila di pekan yang sama mengemuka rencana konsorsium BUMN bersama swasta membeli 35 persen saham Bumi. Salah satu anggota konsorsium itu Northstar Pacific, yang dimotori Patrick Walujo, anggota Sekoci—tim sukses SBY dalam pemilihan presiden 2004.
Tapi juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, membantah bila Yudhoyono dikatakan sampai mengadakan pertemuan khusus untuk membahas penyelamatan Grup Bakrie. Niat konsorsium BUMN membeli saham Bumi, kata Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, juga bukan atas saran pemerintah. ”Tapi pemerintah tidak melarangnya.”
Sanggahan juga datang dari Jusuf Kalla. Ditutupnya tiga emiten BaÂkrie berlama-lama, kata dia, bukan untuk melindungi kelompok usaha BaÂkrie. ”Suspensinya sesuai aturan, bukan perintah,” katanya kepada Anton Aprianto dari Tempo. Ini karena BaÂkrie butuh waktu untuk menyelesaikan aksi korporasinya.
Sri Mulyani sendiri sudah memberi sinyal, pemerintah tidak akan memberikan perlakuan khusus kepada emiten di pasar modal yang sedang bermasalah. Jika ada perusahaan yang mengalami situasi khusus terkait dengan anjloknya pasar modal, harus mengacu pada aturan pasar modal.
Ketua Badan Pengawas Pasar MoÂdal dan Lembaga Keuangan Fuad Rahmany meminta Grup Bakrie terbuka menjelaskan rencana divestasinya. Ia khawatir beredar rumor negatif dari rencana bisnis Bakrie yang tidak kunjung jelas.
Yandhrie Arvian, Setri Yasra (Beijing), Amandra Megarani, Gunanto
Utang Bakrie & Brothers
US$ 1.086 juta
(Sudah dibayar US$ 70 juta)
Kreditor: Odickson Finance
Jaminan: 3,739 miliar saham BUMI
4,760 miliar saham ENRG
3,796 miliar saham ELTY
Jatuh Tempo: April 2009
Rp 198 miliar (Current)
Kreditor: Recapital Securities
Jaminan: 116,6 juta saham UNSP
45,9 juta saham BUMI
Jatuh Tempo: Oktober 2008-Sep 2009
US$ 150 juta
(Sudah dibayar US$ 78 juta)
Kreditor: JP Morgan
Jaminan: 581,4 juta saham BUMI
Jatuh Tempo: Juli 2010
US$ 150 juta
(Sudah dibayar US$ 45,5 juta)
Kreditor: ICICI
Jaminan: 697,3 juta saham BUMI
Jatuh Tempo: Juli 2010
Rp 15 miliar (Lunas)
Kreditor: Sucorinvest Gani
Jaminan: 3,529 juta saham BUMI
Jatuh Tempo: Oktober 2008
Status: Lunas
Rp 231,8 miliar (Current)
Kreditor: PNM Investment Management
Jaminan: 59,122 juta saham BUMI
Jatuh Tempo: Januari-Februari 2008
Rp 10 miliar (Current)
Kreditor: Aldira
Jaminan: 11,450 juta saham UNSP
Jatuh Tempo: November 2008
Rp 35 miliar (Current)
Kreditor: Sarijaya Sekuritas
Jaminan: 86,3 juta saham UNSP
Jatuh Tempo: Desember 2008
Rp 50 miliar (Current)
Kreditor: Mandiri Sekuritas
Jaminan: 97,402 juta saham UNSP
Jatuh Tempo: Desember 2008
Rp 30 miliar (Current)
Kreditor: Dinar Sekuritas
Jaminan: 83,143 juta saham UNSP
Jatuh Tempo: Desember 2008
Keterangan: BUMI: Bumi Resources, UNSP: Bakrie Sumatera Plantation, ENRG: Energi Mega Persada, ELTY: Bakrieland Development
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo