Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tokoh Tempo 2019: Massa Aksi

DUA dekade setelah reformasi, mereka kembali. Mahasiswa, dengan sokongan masyarakat sipil, lagi-lagi membuktikan peran sejarah mereka sebagai suara nurani bangsa ini. Para aktivis, akademikus, seniman, dan rakyat biasa bahu-membahu memastikan teriakan massa aksi mengusik para penguasa.

Di tengah hawa politik belakangan ini yang terasa pengap oleh pengkubu-kubuan cebong versus kampret dan oligarki kekuasaan yang kian banal, aksi mahasiswa dan pelajar di belasan kota di Tanah Air, pada akhir September lalu, menjadi oasis yang memberi harapan. Mereka masih ada.

28 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tokoh TEMPO 2019

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ribuan mahasiswa berbagai universitas dan berbagai elemen masyarakat sipil turun ke jalan menggelar demonstrasi 21 tahun setelah reformasi.

  • Aksi massa pada September lalu antara lain dipicu keputusan DPR mengesahkan perubahan UU KPK, rencana pengesahan RKUHP dan sederet rancangan undang-undang kontroversial lainnya.

  • Mahasiswa, jaringan masyarakat sipil, dosen, dan elemen lainnya saling terhubung sejak mereka mengadvokasi isu antikorupsi dan RKUHP.

GEDUNG Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta, 24 September 2019. Ribuan mahasiswa dengan jaket almamater warna-warni menyemut di depan gerbang Gedung Parlemen. Yel-yel bersahut-sahutan. Beberapa pemuda bergantian berorasi di atas mobil komando.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Difa Shafira, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ada di sana. Dia lahir 21 tahun lalu, tepat ketika aksi mahasiswa serupa memaksa Presiden Soeharto mundur setelah berkuasa selama lebih dari tiga dasawarsa. Kawan-kawannya yang turun ke jalan hari itu juga sebaya. Elang Lazuardi, teman sekampus Difa, takjub melihat gelombang demi gelombang mahasiswa, pelajar, dan aktivis tumplek blek di Senayan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu Elang dan Difa membaur dengan puluhan ribu peserta aksi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan kota-kota lain, mengusung perlawanan dengan tagar #ReformasiDikorupsi.

Mereka semua memprotes perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang disetujui Presiden Joko Widodo dan DPR dengan terburu-buru. Mereka juga menolak rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta revisi Undang-Undang Pertanahan dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Massa mendesak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. Selain soal legislasi, demonstran menuntut pemerintah menghentikan kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan lain, juga menyetop aksi kriminalisasi atas aktivis prodemokrasi.

Semua isu yang diusung demonstran merupakan masalah-masalah krusial yang akan menentukan wajah Indonesia di masa depan. Tujuh tuntutan massa aksi mewakili kegelisahan publik soal perlindungan hak pribadi, demokrasi, kesetaraan gender, perubahan iklim, antikorupsi, dan keadilan ekonomi.

Menjelang petang, di dekat kompleks Gelora Bung Karno, satu kilometer dari titik kumpul utama aksi protes di depan gerbang DPR, polisi mulai menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Difa berlari, menjauhi asap. Matanya pedih. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan perihnya gas air mata.

***

 

TEMPO memilih massa aksi yang turun ke jalan dalam unjuk rasa besar di seluruh Indonesia pada akhir September lalu sebagai tokoh tahun ini dengan sejumlah alasan. Di tengah kegagalan institusi politik formal, seperti partai politik dan parlemen, untuk menyalurkan aspirasi rakyat, aksi masyarakat sipil tersebut menawarkan alternatif yang menjanjikan.

Mereka muncul ketika publik merasa tak berdaya menyaksikan elite politik disandera kepentingan oligarki dan kartel merajalela mengkooptasi proses perumusan kebijakan di lembaga legislatif dan eksekutif. Koalisi organisasi non-pemerintah dengan mahasiswa dan pelajar menjelma menjadi corong baru untuk kepentingan khalayak ramai.

Bukan hanya itu. Gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil di Indonesia tahun ini terbilang istimewa karena mereka mampu melampaui polarisasi politik di masyarakat. Kita tahu, dalam pemilihan presiden lalu, rivalitas antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto membuat warga terbelah. Kekuatan politik arus utama akhirnya hanya berkutat antara kubu “cebong” dan “kampret”--sebutan untuk kedua kelompok pendukung calon presiden. Aksi masyarakat sipil menolak sejumlah rancangan peraturan yang disiapkan fraksi pendukung 01 dan 02 di parlemen membuat demarkasi kedua kubu kehilangan relevansi.

Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 24 September 2019. ANTARA/Muhammad Adimaja

Alasan lain memilih massa aksi sebagai tokoh paling penting tahun ini adalah fakta bahwa mahasiswa dan pelajar benar-benar bergerak secara independen. Tak ada pengusaha atau politikus yang menjadi bohir atau sponsor mereka. Jangankan dari partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan afiliasinya, bantuan pendanaan dari aliansi masyarakat sipil pun ditolak dengan halus. Itu salah satu faktor yang membuat gerakan mereka tak punya stamina panjang.

Memang kemunculan gerakan masyarakat sipil ini menjadi kejutan, karena tak disangka-sangka. Mahasiswa dan pelajar yang mendominasi massa aksi adalah kaum milenial dan generasi Z yang selama ini dianggap apolitis. Mereka dianggap tak terlalu peduli dengan isu-isu besar yang tak bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Asumsi itu terpatahkan. Meski kebanyakan baru lahir setelah era reformasi 1998, anak-anak muda ini ternyata lantang berteriak dan berani bergerak untuk melindungi haknya. Justru karena itulah keberadaan mereka di garda depan perlawanan memberikan harapan.

Selain itu, aksi mahasiswa ternyata terbukti efektif mengubah situasi. Setelah massa menggempur Senayan berhari-hari dengan aksi unjuk rasa, pemerintah dan parlemen mundur teratur. Sejumlah rancangan undang-undang kontroversial yang semula sudah siap disahkan di sidang paripurna DPR ditunda. Sayangnya, tak semua tuntutan massa berhasil gol. Sebagian masih menjadi bom waktu, sampai sekarang.

 

***

 

TOKOH Tempo tahun ini memang unik karena berbeda dari tradisi umumnya, yakni satu atau beberapa sosok yang menonjol sepanjang tahun. Kali ini kami memilih massa aksi, yang terdiri atas mahasiswa dan masyarakat sipil, sebagai tokoh pilihan.

Dalam aksi-aksi unjuk rasa yang terjadi di seluruh Tanah Air, memang tidak ada individu, baik mahasiswa, pelajar, buruh, maupun aktivis, yang berperan lebih besar dari yang lain. Semua bergerak sebagai kekuatan kolektif yang saling melengkapi. Mereka juga lebih nyaman menyebut aksinya sebagai leaderless movement alias gerakan massa tanpa pemimpin.

Strategi ini serupa dengan yang dipakai demonstran di Hong Kong. Sejak menolak pengesahan revisi Undang-Undang Ekstradisi pada awal Juni lalu, ribuan anak muda Hong Kong rutin turun ke jalan. Mahasiswa, pekerja, pelajar, dan aktivis mengorganisasi gerakan perlawanan mereka secara bawah tanah lewat jalur-jalur komunikasi terenskripsi. Tidak ada komando tunggal.

Karena itu, memilih narasumber adalah tantangan pertama dalam penyusunan tulisan edisi ini. Pada tahap riset awal, kami mencoba merunut siapa saja yang terlibat aktif dalam advokasi isu antikorupsi dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena aksi massa yang muncul belakangan bertolak dari kedua isu itu. Dari penelusuran itu, kami mulai menemukan simpul-simpul peran dan interaksi di antara berbagai lembaga swadaya masyarakat atau elemen masyarakat sipil lain.

Ketika para pelaku gerakan dan peran mereka mulai terpetakan, kami berulang kali melakukan cek silang antar-narasumber. Wartawan Tempo di lapangan terus-menerus mencocokkan cerita, kronologi, dan fakta yang disampaikan setiap pihak. Ada kalanya sekeping informasi tidak sinkron antara satu orang dan orang lain, karena tak semua orang mengingat atau mencatat detail peristiwa dengan baik.

Terkadang ada narasumber yang enggan membagikan seluruh kepingan cerita karena alasan keamanan. Mereka beralasan gerakan ini belum selesai, sehingga ada kepentingan untuk terus menjaga kerahasiaannya. Kami tentu memahami pertimbangan ini.

Demi mendapatkan cerita tentang bagaimana gerakan mahasiswa dibangunkan dari tidur panjangnya, kami menemui para pentolan mahasiswa dari beberapa universitas. Dari mereka, ada banyak kisah menarik, misalnya soal rapat-rapat gelap puluhan mahasiswa dari lusinan kampus di Universitas Trisakti, Jakarta, beberapa hari sebelum unjuk rasa pamungkas di depan gedung DPR. Saking takutnya isi rapat mereka bocor, telepon seluler peserta rapat harus ditinggalkan di luar ruangan.

Kami juga berusaha mendapatkan kesaksian soal kematian lima pemuda dalam aksi unjuk rasa ini. Tiga korban, Bagus Putra Mahendra, 15 tahun; Maulana Suryadi (23); dan Akbar Alamsyah (19), tewas dalam demonstrasi di Jakarta. Sementara itu, Randi (22) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19), dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, tewas karena tindakan represif polisi dalam aksi protes di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara.

Dari keterangan kawan dan keluarga mereka, kami menggali profil para pahlawan aksi massa ini. Randi dan Yusuf, misalnya, meski sama-sama pendiam, ternyata aktif berorganisasi di dalam dan luar kampus. Keduanya juga dikenal setia kawan. Rekan-rekan Randi dan Yusuf di kampus berjanji pengorbanan kawan mereka tak akan sia-sia. Pada 19 Desember lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi mengabadikan nama Randi dan Yusuf sebagai nama ruang auditorium dan ruang pertemuan di gedung mereka.

 

***

 

MENULIS laporan khusus ini seperti menyusun kepingan puzzle yang berserak. Kami bisa jadi belum merangkai semuanya menjadi gambar yang utuh. Tak mustahil kami melewatkan kepingan-kepingan yang menyimpan kisah lebih dahsyat dan menarik. Tapi ikhtiar ini penting untuk menegaskan fakta bahwa gerakan mahasiswa dan aliansi masyarakat sipil belum habis.

Pada 1926, tokoh pergerakan Tan Malaka menulis buku tipis berjudul Massa Aksi. Buku itu berisi ajakan Tan agar rakyat berpikir bebas dan berani bersuara.

Sebuah bangsa pun mesti merdeka berpikir dan berikhtiar. Jadi ia mesti berdiri atau berubah dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan dan kemauannya. Tiap-tiap manusia atau bangsa harus mempergunakan tenaganya buat memajukan kebudayaan manusia umum. Jika tidak, ia tak layak menjadi seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda sedikit jua dengan seekor binatang.

Difa, Elang, serta puluhan ribu mahasiswa, pelajar, buruh, seniman, aktivis, dan akademikus yang turun ke jalan pada akhir September lalu menjawab seruan Tan Malaka.

 


 

Tim Edisi Khusus Tokoh Pilihan Tempo 2019

Penanggung jawab: Sapto Yunus, Dody Hidayat | Kepala proyek: Mahardika Satria Hadi | Penulis: Aisha Shaidra, Devy Ernis, Dini Pramita, Gabriel Wahyu Titiyoga, Isma Savitri, Nur Alfiyah, Putri Adityowati, Riky Ferdianto | Penyunting: Agoeng Wijaya, Anton Septian, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Kurniawan, Nurdin Kalim, Sapto Yunus, Stefanus Teguh Pramono | Penyumbang bahan: Rosniawati Fikri (Kendari), Shinta Maharani (Yogyakarta) | Foto: Jati Mahatmaji (Koordinator), Gunawan Wicaksono, Ratih Purnama Ningsih | Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian | Kreatif: Djunaedi, Hindrawan, Kuswoyo, Lukmannul Hakim, Munzir Fadly | Video: Nana Riskhi, Aditya Sista, Ridian Eka, Yosua Eddy

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus