Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah bar di InterContinental Hotel, Yokohama, Jepang, pada akhir Oktober 2019 lalu, Jean-Dominique Senard, Komisaris Utama perusahaan otomotif Renault, sedang minum dengan para pemimpin masa depan Nissan saat ia menerima telepon dari pejabat pemerintah Prancis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fiat-Chrysler, perusahaan pembuat mobil Italia-Amerika yang telah meninggalkan Renault berbulan-bulan sebelumnya, akan bergabung dengan saingan beratnya dari Prancis, PSA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Implikasinya bagi mereka di meja itu sudah jelas—Renault dan Nissan harus mengesampingkan perbedaan substansial mereka dan menyukseskan aliansi.
"Kita tidak bisa bertahan jika tidak bergerak cepat untuk benar-benar berbagi saat ini," kata Senard. Ia berencana untuk mengungkap beberapa proyek kerja sama di tahun baru 2020 demi menunjukkan bahwa akhirnya kemitraan otomotifnya berhasil.
Logo Renault Nissan. wikipedia.org
***
Infografik/Firdhy Esterina
Setahun setelah penangkapan Carlos Ghosn yang berjasa menyatukan perusahaan-perusahaan itu, aliansi yang di dalamnya termasuk Mitsubishi Motors, tengah berjuang keras untuk mendapatkan tempat dalam industri mobil yang kini diterpa penurunan angka penjualan, perang perdagangan global, dan beban investasi kendaraan listrik.
Sementara PSA dan FCA bergabung untuk mengumpulkan sumber daya, Ford dan Volkswagen menciptakan aliansi mereka sendiri untuk menggabungkan beberapa investasi, mengesampingkan risiko dari kemitraan itu sendiri.
Selain pengadaan barang bersama, hanya sedikit penghematan biaya sebenarnya yang telah dicapai oleh aliansi Prancis-Jepang itu, sementara prestasi-prestasi yang digaungkan selama bertahun-tahun kepemimpinan Ghosn belakangan terungkap sebagai ilusi belaka.
Setelah ditinggalkan oleh FCA yang sebelumnya merupakan mitra potensial mereka, fokus Renault terpaksa kembali ke sekutunya dari Jepang yang telah terjalin selama dua dekade.
Renault dan Nissan disatukan dalam kerja sama oleh Ghosn, pemimpin legendaris yang menempatkan mereka pada jalur konvergensi, selama lebih dari satu dekade. Namun berita penangkapan Ghosn yang mencengangkan November 2018 lalu atas tuduhan pelanggaran keuangan semakin membuka banyak kisah di bawah kepemimpinannya. Ghosn menyangkal semua tuduhan.
Pada Januari 2019, Jean-Dominique Senard ditunjuk memimpin Renault oleh para pemegang saham terbesar perusahaan Prancis itu.
Karena usianya 66 tahun, Senard tidak bisa diangkat menjadi chief executive di bawah peraturan Renault. Maka itu ia diberi posisi sebagai Komisaris yang diperintahkan khusus untuk mendamaikan konflik di dalam aliansi itu.
Mandat itu seperti sebuah tugas terkutuk. Menjelang pertengahan tahun, kepala eksekutif Renault dan Nissan, Thierry Bolloré dan Hiroto Saikawa, yang pernah bermitra di bawah kepemimpinan Ghosn, tidak saling berbicara dan menolak untuk membalas panggilan telepon, kata orang-orang dari kedua sisi aliansi.
Akibatnya, keputusan dewan yang sudah diambil tidak pernah terlaksana, dirusak oleh pengabaian sistemik para pihak di seberang meja dan hiruk pikuk yang mengikuti penangkapan Ghosn. Kelumpuhan pun terjadi.
Bagi Senard yang sepanjang karirnya sudah melalui masa kelam seperti restrukturisasi perusahaan aluminium Pechiney dan penutupan pabrik-pabrik di Michelin, tingkat kekacauan itu tetap terasa menyesakkan.
"Saya ragu aliansi akan bertahan," katanya dalam sebuah wawancara di Paris. "Terkadang saya berkata pada diri sendiri di kantor, oh Tuhan, ini sangat sulit."
Ketika ditanya secara langsung apakah ada momen selama satu tahun terakhir di mana dia pikir seluruh perusahaan akan runtuh, Senard tersenyum: “Jika saya menjawab sekarang, tidak, saya tidak pernah berpikir begitu. Kalian tidak akan percaya saya [mengatakan itu] dan kalian mungkin benar. ”
Presiden Jokowi (kedua kanan) bersama Chairman of the board Mitsubishi Motors Corporation, Carlos Ghosn (kedua kiri) saat peresmian pabrik baru PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia (MMKI) yang berlokasi di Cikarang Pusat, Bekasi, 25 April 2017. Pabrik ini berdiri di atas lahan seluas 30 hektare. Tempo/Tony Hartawan
Dalamnya keretakan kemitraan itu menjadi jelas menjelang pertemuan dewan. Ketika itu, kedua belah pihak menolak untuk mengungkap data yang sensitif tentang detail perbandingan keuntungan dan biaya perusahaan dengan saingan. Senard sontak jengkel dan berkata dia tidak akan hadir kecuali dokumen itu dibagikan. Dia juga terlibat dalam pertikaian, mengancam Saikawa atas penolakan Nissan untuk menunjuk Bolloré sebagai dewan komite penting Juni 2019 silam.
Hingga saat Senard diangkat sebagai pimpinan aliansi itu di Januari 2019, Saikawa mengatakan usahanya untuk berhubungan baik dengan Renault terbentur oleh kecurigaan mereka bahwa orang-orang di dalam Nissan berada di belakang kejatuhan Ghosn. Kecurigaan itu kemudian disangkal tegas oleh perusahaan Jepang itu: “Pada awalnya, suatu beban berat bagi kami karena tidak bisa berkomunikasi dengan mereka secara reguler."
Kedua perusahaan itu menyadari bahwa perubahan di puncak pemimpin diperlukan. Tetapi Bolloré yang hidup dalam bayangan Ghosn selama bertahun-tahun tidak mau pergi dengan tenang. Dia berusaha membangun struktur kekuatannya sendiri di dalam perusahaan, menggunakan perilaku yang memperlihatkan beberapa insting yang lebih dominan dari mantan mentornya, menurut orang-orang di Renault.
Senard mencoba meyakinkan Ghosn untuk pergi diam-diam, tapi tidak berhasil. Berita pemberhentian dirinya Oktober 2019 lalu disambut lega orang-orang di luar lingkarannya. Bolloré menolak berkomentar tentang hal ini.
Kepergian Saikawa dari Nissan tidak kalah dramatis. Saat ia mengundurkan diri setelah terungkap bahwa Saikawa menerima kompensasi lebih yang tak wajar, staf mengedarkan foto-foto botol sampanye via WhatsApp.
Dari lantai pabrik hingga ruang dewan, perubahan kepemimpinan menyegarkan udara yang teracuni permusuhan berbulan-bulan. "Ketika saya keluar dari pertemuan dewan terakhir, saya berkata pada diri saya sendiri, wah, ini dunia lain," ujar Senard.
Kepala eksekutif Nissan yang baru, Makoto Uchida, mulai bekerja pekan lalu, sementara Renault sedang dalam tahap akhir penunjukan pemimpin baru.
***
Luca de Meo yang memimpin merek Spanyol Seat milik VW diyakini sebagai kandidat untuk posisi pimpinan baru Nissan. Karena perannya di Seat, ia tidak asing dalam negosiasi antar bangsa pada suatu bisnis internasional.
Pergantian para dewan ini juga menandai akhir pertumpahan darah di bisnis otomotif untuk membebaskan mereka dari eksekutif —dan kekuatan nasionalis— yang terlihat aktif menentang kemitraan itu.
"Jika Anda ingin membunuh aliansi, Anda tidak akan melakukan hal lain," kata Senard, sesaat terselip sebuah amarah yang jarang terjadi di balik topeng wajah diplomatiknya. Tubuhnya condong ke depan dengan jari telunjuk terangkat. “Aku tahu persis siapa orang-orang di belakang itu. Mereka tidak lagi ada di perusahaan ini." Senard menambahkan: "Masa depan aliansi cerah. Saya tidak akan mengatakan itu dua bulan lalu."
Namun perubahan yang nyata akan memakan waktu lebih lama. "Hal itu berpengaruh dalam bagi organisasi, berlapis-lapis dalamnya," ujar salah satu mantan direktur tinggi Nissan. "Menyingkirkan beberapa orang tidak akan mengubah organisasi".
Tahun baru 2020 bisa jadi memberikan jawaban dengan perencanaan bisnis sangat penting yang direncanakan untuk Januari. Proyek-proyek bersama yang baru akan diluncurkan. Kemitraan itu akan menyatukan program pengembangan di berbagai bidang seperti kendaraan listrik dan teknologi swakendara atau self-driving.
Setiap usaha baru akan dikepalai oleh satu orang dari salah satu perusahaan, yang melapor ke dewan aliansi, dengan staf diperbantukan untuk tim dari kedua sisi. Tujuannya adalah untuk menghindari bayang-bayang kerja sama yang pernah ada di bawah kepemimpinan Ghosn.
Obsesi lama untuk menjadi produsen mobil terbesar di dunia yang mendorong strategi penjualan tanpa memikirkan profitabilitas kedua perusahaan dan mengaburkan ketidakharmonisan kemitraan, juga akan hilang.
“Ini pandangan dunia nomor satu, hal itu benar secara faktual jika Anda menghitungnya,” kata Senard. "Tapi itu sepenuhnya buatan jika kamu menggali subjeknya."
Tetapi para investor yang sudah mendengar klaim tentang penghematan biaya sebelumnya perlu diyakinkan bahwa proyek-proyek baru itu akan membuahkan hasil dan keuntungan. "Bidang-bidang kerja sama itu terlihat sangat lemah," kata Philippe Houchois, seorang analis otomotif di Jefferies. "Ini akan sangat membantu investor jika mereka dapat mengukur kerja sama ini."
Para eksekutif yang telah menyaksikan pertikaian selama bertahun-tahun di masa keemasan Ghosn memiliki keraguan mendalam tentang kemampuan perusahaan-perusahaan itu untuk bisa bekerja sama dengan baik.
"Saya rasa Anda tidak akan menemukan satu orang di bisnis manapun yang, meski tidak dibayar, akan mendukung aliansi itu," kata seorang mantan direktur. "Saya pikir pada akhirnya aliansi itu akan bubar."
Saikawa membantah klaim tersebut dan berkata kepada Financial Times: "Aliansi ini sudah menjadi bagian dari DNA tim manajemen baru dan para pemimpin muda berusia tiga puluhan dan empat puluhan yang bergabung dengan perusahaan setelah kemitraan dengan Renault didirikan."
Yang menarik, tidak ada pemimpin tunggal di struktur baru bisnis itu. Aliansi memutuskan untuk mengangkat tiga kepala eksekutif dari empat orang dewan yang diketuai oleh Senard. Meskipun cara ini dilakukan untuk sementara waktu demi menghindari pengulangan gaya kekaisaran Ghosn, hal itu berisiko menghambat pengambilan keputusan pada masalah-masalah pelik seperti penggabungan operasi manufaktur atau pemutusan elemen-elemen teknik yang lebih lemah.
"Untuk mensukseskan aliansi ini, keputusan yang harus diambil sangat sulit," kata seorang mantan eksekutif senior. "Mereka melewatkan seorang pemimpin. [Mengganti kepala eksekutif] merupakan tindakan positif, namun Anda butuh pengemudi. Sayangnya orang itu tidak ada.”
***
Ketakutan sesungguhnya yang ada di kedua perusahaan itu, terutama Nissan, selalu tentang kemungkinan merger yang seutuhnya.
Renault memiliki 43 persen saham Nissan dan juga hak untuk menunjuk direksi tertentu, sementara kelompok usaha Jepang memiliki 15 persen saham tanpa hak suara untuk mitra Prancisnya meskipun berkontribusi lebih banyak dalam hal keuntungan dan pendapatan. Nissan juga memegang saham di Mitsubishi.
Menurut orang dalam perusahaan, Prancis masih memandang Renault sebagai aset negara daripada investasi dan tidak ingin saham kepemilikannya menipis, sementara para eksekutif Nissan khawatir tentang kesepakatan yang memperkuat kontrol Prancis atas penggabungan itu.
Ghosn mengklaim bahwa rencana untuk menggulingkannya dilakukan oleh orang dalam Nissan demi mencegah penggabungan tersebut.
Melihat perkembangan satu tahun belakangan ini, Senard mengatakan bahwa merger "mungkin bukan langkah akhir", setidaknya untuk periode jangka menengah. "Jepang melihat merger itu sebagai ancaman nyata bagi kemerdekaan dan harga dirinya," katanya.
Tetapi bahkan di tengah puncak kekacauan selama musim panas lalu, masih ada bisik-bisik tentang bentuk kemitraan di masa depan. Selama musim panas, Senard, Saikawa dan Pierre Fleuriot dan Masakazu Toyoda, direktur non-eksekutif paling senior di Renault dan Nissan, membahas cara untuk meratakan struktur modal mereka.
Pada saat itu, para pejabat Nissan mencari hak suara untuk dilampirkan pada saham mereka di Renault. Sementara, mereka juga menginginkan saham perusahaan Prancis di Nissan secara efektif menjadi di bawah sepertiga sehingga Renault tidak akan memiliki hak veto atas akuisisi dan keputusan strategis lainnya, ujar seorang yang dekat dengan perusahaan Jepang itu.
Pembahasan tentang merger baru-baru ini digaungkan oleh Senard dan Saikawa pada Februari lalu, meskipun Senard memberitahu FT bahwa perusahaan gabungan itu “tidak terpikirkan” saat ini. Dia menekankan bahwa merger hanyalah salah satu dari sejumlah opsi yang ada — termasuk mengakhiri semuanya.
Namun, pembicaraan tentang perubahan struktur kepemilikan tetap berlanjut. Di tengah kekacauan itu, Senard dan Toyoda berkomunikasi melalui pengacara mereka.
Kesepakatan yang membuat kedua perusahaan itu menyusun ulang masing-masing taruhannya bisa jadi sukses melahirkan proyek gabungan baru. "Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyampaikannya," kata Senard. "Obsesi saya saat ini adalah menunjukkan beberapa perubahan di 2020."
***
Renault dan Nissan sangat perlu mengendalikan kinerja keuangan mereka yang stagnan. Arus kas Nissan yang sekiranya netral saat ini bisa menjadi negatif jika kinerjanya terus memburuk.
Perusahaan itu juga diharapkan bisa mengurangi dividen tahunan saat labanya terpuruk yang bisa memberikan tekanan lebih lanjut pada Renault. Menurut para analis, Renault akan menghadapi krisis keuangan dalam waktu dekat.
"Kami mencobanya secara virtual, hampir tidak ada dividen dari Nissan untuk Renault," kata Houchois di Jefferies. "Tanpa itu, mereka benar-benar rentan, semua orang bisa melihat betapa rapuhnya mereka sekarang."
November 2019 lalu, Nissan berancang-ancang bahwa laba bersih tahunannya diperkirakan terjun 66 persen dari tahun sebelumnya karena penjualan menurun di semua pasar inti termasuk AS.
"Orang mungkin berpikir Nissan sudah mencapai titik terendah pada kuartal terakhir, tetapi itu mungkin terlalu optimis," kata seorang investor yang berbasis di Hong Kong.
Kebutuhan untuk bertahan ditambah dengan urgensi baru. "Kedua belah pihak tampaknya percaya bahwa mereka terlalu kecil untuk bertahan hidup sendirian dan tanpa mitra alternatif yang jelas, mereka perlu menemukan cara untuk hidup berdampingan dan bekerja sama," kata Max Warburton, seorang analis otomotif di Bernstein yang percaya bahwa kelompok itu pada akhirnya akan berpisah.
Baik Senard maupun Uchida belum menjelaskan bagaimana aliansi akan memulihkan pendapatan mereka, tapi taruhan yang diambil ketua Renault nantinya akan meningkat dua kali lipat.
Dia berpikir pemulihan dalam pendapatan adalah bukti yang diperlukan untuk memastikan bahwa aliansi Prancis-Jepang itu dapat bertahan dalam waktu dekat. Sama pentingnya dengan keharusan memberi kedua belah pihak ruang untuk bernafas.
"Aliansi ini hanya dapat bekerja jika kita mengesampingkan hierarki dan bekerja dengan akal sehat, tapi ingat bahwa Renault adalah perusahaan Prancis, dan Nissan adalah perusahaan Jepang yang dibanggakan." (*)
@ Artikel ini pertama kali dimuat di Financial Times.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo