Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panggilan Jalan Gejayan

Sejumlah mahasiswa Universitas Gadjah Mada lintas fakultas saling berkontak lalu menunjuk kantin Bonbin sebagai tempat berkumpul. Berujung pada demo besar “Gejayan Memanggil”

28 Desember 2019 | 00.00 WIB

Mahasiswa beserta masyarakat sipil berdatangan mengikuti aksi #gejayanmemanggil di Gejayan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 23 september 2019. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Perbesar
Mahasiswa beserta masyarakat sipil berdatangan mengikuti aksi #gejayanmemanggil di Gejayan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 23 september 2019. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

KABAR bahwa Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan hasil revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 17 September 2019 membuat anggota kelompok diskusi Kultur resah. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru memberikan kewenangan penuh kepada presiden menentukan dewan pengawas, yang mengontrol para komisioner. DPR berencana mengesahkan beberapa rancangan lagi, yang sama bermasalahnya, pada 24 September.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kelompok mahasiswa lintas fakultas Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang tak lagi terikat organisasi kampus ini sepakat membicarakannya di kantin Bonbin seusai salat Jumat, 20 September. Undangan pun disebar melalui grup WhatsApp atau lisan kepada siapa saja anggota Kultur yang bertemu dengan anggota lain. “Kami ingin ngobrol santai soal beberapa rancangan undang-undang yang mengganggu demokrasi,” kata Obed Kresna Widyapratistha, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik angkatan 2014, pekan lalu. “Jadi Undang-Undang KPK salah satu saja.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ada 15 mahasiswa yang berkumpul di Bonbin, kantin yang berada di Fakultas Ilmu Budaya. Sesuai dengan rencana, mereka ngobrol ngalor-ngidul membahas berita-berita seputar DPR yang hendak mengesahkan sejumlah RUU. Mereka sepakat pengesahan itu mencederai demokrasi, menodai pemberantasan korupsi, dan memberi jalan lempang pada korporasi untuk mengeruk sumber daya alam. “Kami sepakat mesti ada gerakan besar untuk menolaknya,” ujar Obed.

Menurut Obed, mereka juga sepakat bahwa gerakan menolak pengesahan RUU itu bukan hanya dilakukan oleh mahasiswa, tapi sebagai gerakan publik. Bahkan mereka ingin demonstrasi tak hanya digelar di Jakarta atau Yogya, tapi menyebar ke banyak kota lain mengingat isunya begitu krusial. “Isu ini bukan hanya keresahan Jakarta,” ucapnya.

Gendis Syari Widodari, juga dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik angkatan 2016, menambahkan bahwa demonstrasi tak dirancang rusuh karena mereka ingin publik paham akan isi tuntutan mereka. Apalagi sejumlah RUU itu mengangkat isu teknis yang bertubrukan. Jika rusuh, kata dia, berita yang menyebar bukan lagi substansi tuntutan mereka.

Selama dua hari, mereka menggelar rapat untuk merumuskan dan mematangkan aksi yang akan digelar pada 23 September, sehari sebelum DPR menggelar sidang paripurna mengesahkan sejumlah rancangan, antara lain RUU Pertanahan dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Tiap anggota Kultur pun segera mengontak jaringan mereka di luar kampus. Menurut Gendis, mahasiswa anggota Kultur banyak yang tak aktif di organisasi intra. Mereka lebih banyak beraktivitas di luar kampus sehingga jaringan mereka lintas mahasiswa. Diskusi-diskusi kemudian melebar dan tak lagi di dalam kampus, tapi di kafe-kafe di daerah Depok, Sleman, selepas magrib.

Malikul Akdhom, salah satu pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, menerima pesan untuk menghadiri rapat konsolidasi mahasiswa pada 21 September 2019. “Mereka meminta LBH memberi pandangan mengenai kondisi obyektif saat ini. Salah satunya mengenai RUU bermasalah,” tuturnya. Ia datang ke rapat-rapat konsolidasi membawa berbagai riset dan kajian hukum yang sudah dilakukan LBH Yogyakarta.

Malikul terkejut ketika tiba di lokasi rapat. “Banyak sekali pesertanya,” katanya. Sebagian besar memang mahasiswa, tapi banyak juga aktivis dari organisasi kemasyarakatan sipil, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Aliansi Jurnalis Independen, dan Perkumpulan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Malikul menduga akan melakukan presentasi di depan beberapa gelintir mahasiswa saja.

Gendis menyebutkan jumlah peserta yang datang ke konsolidasi akbar pada akhir pekan itu sekitar 100 orang. Seperti pesan dalam undangan, forum diadakan untuk mempertajam isu dan merumuskan tuntutan dalam demonstrasi. Menurut dia, isu yang menjadi pembahasan alot dalam forum tersebut adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Ada sebagian kecil peserta konsolidasi yang menolak pengesahan rancangannya. Kubu penolak berargumen rancangan ini kental dengan kepentingan liberalis dan banyak mengandung pasal karet. Sedangkan mereka yang setuju pengesahan salah satunya kelompok penyintas yang menyatakan pentingnya perlindungan terhadap korban yang acap disudutkan polisi dan publik.

Setelah dibahas, mayoritas anggota forum setuju RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi salah satu isu yang dibawa dalam demonstrasi. “Kami mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena ada kekosongan hukum di sana,” ucap Gendis. Menurut dia, isu ini dibahas sejak beberapa tahun lalu saat ia menjabat pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa UGM.

Tapi sejumlah pengurus BEM kampus di Yogya dikabarkan menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan. Ketua BEM UGM Atiatul Muqtadir bahkan menarik diri dari aksi setelah pembahasan RUU itu. Sikapnya diikuti BEM Universitas Negeri Yogyakarta. Namun Fathur menyatakan tak pernah menarik dukungan terhadap aksi demonstrasi itu. “Kami bukan menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kami belum melakukan pengkajian sehingga kami tidak menolak atau mendukung,” katanya.

Reza Enggis Adi Nugroho, pengurus Pers Mahasiswa Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta, membenarkan kabar bahwa BEM kampusnya menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. “Kami berbeda sikap dengan BEM karena, jauh sebelum ada konsolidasi, kami sering melakukan kajian gender dan menyadari belum ada instrumen hukum yang tepat untuk mengatasinya,” ujarnya.

Ketua BEM Universitas Negeri Yogyakarta Agung Wahyu Putra mengatakan tak sepenuhnya menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. “Karena masih pro dan kontra, kami menunda untuk bersikap,” katanya. Ia juga menolak disebut menarik dukungan terhadap aksi mahasiswa itu, tapi hanya menjalankan kesepakatan konsolidasi yang menolak adanya dukungan yang mengatasnamakan lembaga.

Toh, semua sepakat turun ke jalan pada 23 September. Mereka mengusung tema “Gejayan Memanggil”. Gejayan adalah nama jalan lama di dekat kampus UGM yang menjadi poros pelbagai kampus di Yogya karena berada di perempatan yang kini bernama Jalan Affandi. Aksi di sini akan terlihat dari pelbagai penjuru. Tagar #GejayanMemanggil sejak rapat-rapat itu viral di media sosial.

Menurut Obed, dukungan Gejayan Memanggil terhadap pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi salah satu kunci demonstrasi itu tidak ditunggangi partai politik mana pun. “Posisi dukungan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi filter sekaligus tameng gerakan ini,” ucapnya. Selama ini, kubu elite politik yang kontra terhadap pemerintah Joko Widodo adalah kubu yang menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Gendis mencatat konsolidasi akbar pada malam terakhir selesai pukul 18.00 dengan menyepakati nama gerakannya “Aliansi Rakyat Bergerak”. Ada beberapa kesepakatan yang dihasilkan, di antaranya tak membawa bendera apa pun selain Merah Putih dan tidak ada penokohan. Mereka belajar dari pengalaman para tokoh Reformasi 98 yang kini seolah-olah mengkhianati cita-cita menumbangkan rezim Orde Baru yang militeristik, korup, dan antidemokrasi.

Konsolidasi Sabtu itu mengerucut pada tujuh tuntutan atau isu yang akan dibawa dalam aksi. Di sini mulai dibagi tiga divisi besar: acara, agitasi-propaganda, dan hubungan masyarakat. Gendis menggawangi Tim Kajian, yang menjadi Sub-Divisi Humas.

Tim-tim itu langsung bekerja. Tim kajian terdiri atas tiga orang, yang segera menyusun kajian pelbagai RUU sebagai landasan tuntutan demonstrasi. Mereka berupaya menemukan kerangka dan garis besar isu yang parsial sekaligus menggali secara spesifik ancaman dari setiap isu. Menurut para penggerak Gejayan Memanggil, kajian merupakan fondasi aksi karena penggembosan mudah terjadi pada gerakan yang kajiannya lemah.

Setelah mengikuti konsolidasi, Malikul Akdhom melipir ke markas Walhi. “Saya, dengan Walhi dan PBHI, menyiapkan rencana mitigasi untuk teman-teman mahasiswa,” tuturnya. Saat itu juga para mahasiswa menunjuk LBH dan PBHI sebagai kuasa hukum dan negosiator jika menemui kondisi terburuk.

Untuk mencegahnya, mereka menyusun beragam skenario aksi. Menurut M. Hikari Ersada, anggota tim yang mengurusi teknis lapangan dan keamanan, mereka bekerja dimulai dari menginventarisasi daerah Gejayan. “Di sana ada pasar sehingga kami memilih aksi siang setelah aktivitas di pasar berhenti supaya tidak mengganggu para penjual dan pembeli,” kata Hikari, mahasiswa angkatan 2014.

Mereka memetakan daerah mana saja yang menjadi basis massa partai-partai atau underbouw partai. Menurut dia, pemetaan itu penting untuk mencegah gesekan di lapangan. Selain itu, tim mendata wilayah, jalan, dan gang yang bisa dijadikan tempat evakuasi jika keadaan tak terkendali.

Pemilihan aksi di Gejayan, Hikari menambahkan, juga berdasarkan kajian dan perhitungan matang. Selama ini, banyak demonstrasi di Yogyakarta digelar di Tugu Pal Putih di Jalan Sudirman dan Jalan Margo Utomo serta di Nol Kilometer di dekat keramaian Malioboro. Mereka melihat wilayah ini sebagai wilayah yang sarat dengan isu wisata dan terlalu banyak demonstrasi yang sudah dilakukan di sana sehingga publik menjadi kebal.

Sedangkan Gejayan merupakan ruang kosong yang lebih kentara dengan isu pendidikan karena cenderung dekat dengan kampus besar di Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, dan Universitas Sanata Dharma. Lokasinya juga dibilang strategis sebagai titik kumpul.

aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Sleman, Daerah istimewa Yogyakarta, 23 September 2019. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

Obed Kresna Widyapratistha menambahkan, demonstrasi di Gejayan punya referensi sejarah. Pada 8 Mei 1998, lokasi ini menjadi tempat demonstrasi mahasiswa yang menuntut segera dilakukan reformasi, yang berakhir bentrok dengan aparat. Bentrokan ini berbuntut panjang dengan meninggalnya Moses Gatutkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma, akibat pukulan benda tumpul di kepala.

Menurut Obed, mereka ingin memantik kenangan mengenai perjuangan mahasiswa dan rakyat Yogyakarta meraih reformasi sekaligus menggantinya dengan kenangan yang baik, bahwa demonstrasi tidak harus berakhir rusuh. “Kami ingin Gejayan yang kelam dikenang sebagai Gejayan yang hangat dan Moses yang pilu menjadi Moses yang tersenyum,” ujarnya.

Agar tak berujung ricuh, tim membuat prosedur keamanan berlapis. Setiap kampus memiliki beberapa petugas keamanan yang bertugas mendata dan memeriksa peserta demo. Jika ditemukan ada senjata tajam dan bom molotov, mahasiswa yang membawanya akan ditarik keluar dari barisan peserta dan “dikandangkan” ke dalam kampus. Pun jika ada peserta aksi yang menuntut hal lain di luar tujuh tuntutan aksi hari itu.

Agar tak berpencar, mahasiswa diimbau bergandengan tangan sehingga massa menjadi solid. Sebelum aksi digelar, koordinator lapangan tiap kampus menegaskan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan peserta selama demonstrasi. Termasuk mengimbau peserta aksi untuk membeli dagangan dari para pedagang di sepanjang Gejayan. “Kalau ada yang bilang demo mematikan ekonomi masyarakat, kami memiliki cerita angkringan yang tutup sebelum pukul 17.00 karena laris manis dagangannya,” kata Obed.

Hikari Ersada juga melakukan pendekatan kepada kepolisian Yogyakarta dengan mengurus izin terlebih dahulu. “Sehingga polisi merasa kami bukan ancaman dan saat aksi tidak ada petugas yang memakai seragam huru-hara lengkap,” ujarnya. Sikap kooperatif dari polisi ini, kata Hikari, membantu menenangkan psikologi massa dan tidak melihat polisi sebagai ancaman.

Ihwal viralnya tanda pagar #GejayanMemanggil di Twitter dan Instagram juga hasil dari perencanaan matang. Tim yang menjalankan media sosial mulai mengunggah materi Gejayan Memanggil pada 22 September 2019 dinihari. Beberapa jam setelahnya, tim kajian selesai merumuskan kajian beserta berita rilis yang disebarkan melalui media sosial.

Sejak muncul tagar Gejayan Memanggil, berita provokasi bertebaran. Umumnya meminta publik Yogya tak mengikuti ajakan gerakan mahasiswa itu. Beberapa mahasiswa yang ikut konsolidasi mendapat teror halus. Obed, misalnya. Orang tuanya dikirimi notulensi rapat. Nama Obed diberi tanda. Sementara itu, Gendis tiba-tiba mendapat pesan di telepon selulernya, “Pinjam laptop, dong,” dari nomor tak dikenal.

Demo besar itu terjadi sesuai dengan perencanaan. Ribuan mahasiswa tumplek di Gejayan menyanyikan Darah Juang, lagu ciptaan John Tobing yang populer sejak demonstrasi mahasiswa pada 1990-an. Mahasiswa yang memakai pelbagai jas almamater bergandengan tangan, berpidato menuntut DPR tak mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang yang mencederai demokrasi. Hari itu, sejarah mencatat Gejayan Memanggil adalah demonstrasi sukses tanpa kekerasan yang membuat siapa saja bangga berada di dalamnya.

Segala provokasi dan berita bohong gagal menjegal demonstrasi itu. “Demonstrasinya terasa menyenangkan. Ada karnaval dan musik serta tidak rusuh seperti yang ditakutkan,” ujar Wiji, istri pengurus rukun tetangga di Gejayan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus