Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA puluh lima tahun berlalu, gerakan reformasi kini berada di titik nadir. Gelombang perubahan yang diusung mahasiswa, buruh, aktivis prodemokrasi, dan berbagai kalangan masyarakat kini meredup. Sejumlah aktivis Reformasi 1998 bahkan sekarang terang-terangan mendukung gagasan dan perilaku yang bertolak belakang dengan tuntutan yang dulu mereka teriakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan reformasi sebetulnya membawa harapan besar terjadinya perubahan radikal pada demokrasi, keadilan sosial-ekonomi, serta hak asasi manusia. Nyatanya, belum satu pun dari enam tuntutan mahasiswa 1998 tuntas terlaksana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga tuntutan pertama, yakni supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme; serta pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya, tidak dijalankan. Tiga tuntutan lain selesai separuh jalan.
Amendemen konstitusi memang memperkuat kedudukan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif. Pemerintah juga telah mengembalikan semua kekuasaan pengadilan kepada MA. Tapi harapan akan praktik hukum yang bersih, adil, dan setara bagi siapa pun belum terpenuhi. Di sisi lain, korupsi masih merajalela di semua level: dari elite sampai pegawai rendahan.
Amendemen konstitusi dan pemberian otonomi yang luas kepada daerah belum tampak membawa perbaikan yang berarti bagi masyarakat. Desentralisasi kekuasaan eksekutif, misalnya, hanya memunculkan kelompok elite dan kroni-kroni baru di daerah tanpa perbaikan yang signifikan pada kesejahteraan dan pelayanan publik. Reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia juga mandek meski Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengatur perubahan di tubuh ABRI sudah terbit pada 2014.
Perubahan yang tidak tuntas ini sesungguhnya berakar pada kelemahan gagasan reformasi sendiri. Masyarakat sipil yang bergerak pada 1998 sudah puas dan menganggap reformasi selesai dengan jatuhnya Soeharto. Tak ada visi kolektif yang mendorong pembentukan kelompok politik reformis untuk mengawal perubahan.
Lemah dalam mengkonsolidasikan kekuatan sosial-politik, kelompok reformis malah membuka jalan bagi elite lama untuk kembali berkuasa. Mengutip Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, cerai-berainya masyarakat sipil ini memudahkan kekuatan politik lama membajak agenda reformasi. Masuk lewat institusi demokrasi seperti partai politik, parlemen, dan pemilihan umum, mereka membentuk aliansi baru dari pusat hingga daerah.
Tokoh politik yang relatif muda muncul dengan benak yang kadung berkabut perihal agenda reformasi. Berada dalam kartel politik, mereka tak leluasa bergerak jika bukan menikmati pelbagai benefit kartel tadi. Calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ganjar Pranowo, beberapa waktu lalu, misalnya, mengatakan akan menuntaskan agenda reformasi yang terhambat tanpa mengelaborasi bagaimana dia kelak menjalankan janji itu. Dengan status Ganjar sebagai “petugas partai”, kita patut ragu bahwa dia lebih baik ketimbang Joko Widodo, petugas partai sebelumnya dan presiden saat ini.
Justru di era “petugas partai” arus reformasi cenderung berbalik arah. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi di akhir periode kepemimpinan Jokowi yang pertama telah melemahkan lembaga antikorupsi tersebut. KPK kini berada di bawah kendali pemerintah yang justru harus mereka awasi. Otonomi daerah dicaplok kembali melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Bahkan sempat muncul gagasan memperpanjang masa jabatan presiden dan merevisi Undang-Undang TNI agar tentara boleh kembali terlibat dalam urusan sipil.
Sejumlah analis mengatakan kemunduran demokrasi di Indonesia sejalan dengan tren regional. Asia Tenggara memang tengah dilanda otoritarianisme baru: dari Thailand, Filipina, hingga Myanmar, yang baru sebentar berdemokrasi.
Baca liputannya:
- Reformasi Setelah 25 Tahun
- Para Aktivis di Dalam Istana Negara
- Para Aktivis 1998 di Partai Politik
- Para Aktivis di Kursi Komisaris BUMN
- Para Aktivis di Luar Kekuasaan
- Para Aktivis 1998 Dulu dan Kini
- Bagaimana Aktivis Reformasi Membangun Jaringan
- Awal Mula Reformasi 1998
- Gerakan Mahasiswa Dulu dan Kini
- Mengapa Reformasi 1998 Mengecewakan?
Tentu saja kita bisa melihatnya dari sisi lain. Freedom House, lembaga yang memperhatikan demokrasi di pelbagai negara, mencatat, setelah hampir dua dekade terus merosot, sejak tahun lalu secara global perjuangan untuk kebebasan sipil dan pemenuhan hak-hak politik rakyat mendekati titik balik. Dalam laporannya yang terbit pada Maret lalu, lembaga itu menulis: “Aksi melawan represi di Iran, Kuba, Cina, dan di negara-negara otoritarian lain memperlihatkan bahwa hasrat masyarakat terhadap kemerdekaan amat kuat dan tidak ada kemerosotan yang permanen”.
Sejarah memperlihatkan bahwa gelombang perubahan radikal bisa terjadi kapan saja. Hingga awal 1998, beberapa waktu sebelum gerakan reformasi, tidak ada yang menduga Soeharto bisa dijungkalkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Reformasi Setengah Hati"