Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Para aktivis perempuan menggalang dukungan bagi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Konferensi Ulama Perempuan Indonesia juga menyokong penghapusan kekerasan seksual.
Mereka juga membangun menjaring dukungan organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
SELAMA satu jam Alimah menggelar rapat daring bersama sejumlah anggota komunitas yang didirikannya, Perempuan Berkisah, pada Senin, 12 April lalu. Dia membahas rencana penerbitan buku untuk membantu program pendampingan para penyintas kekerasan seksual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berisi cerita para perempuan penggerak komunitasnya, buku itu menjadi kelanjutan gerakan berbagi cerita di situs Perempuan Berkisah yang dikelola para penyintas kekerasan seksual. “Kami merangkul dan memberdayakan mereka,” kata Alimah kepada Tempo.
Alimah mendirikan komunitas tersebut enam tahun lalu. Komunitas itu awalnya adalah tempat para perempuan berbagi kisah persoalan yang mereka hadapi. Sebagian besar cerita yang dimuat di situs komunitas berisi masalah kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di dunia maya.
Komunitas itu kemudian berkembang menjadi bagian dalam gerakan sipil untuk mendorong pengesahan rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. “Sejak 2015, kami ikut memantau dan berkolaborasi dalam kampanye dan pendampingan korban kekerasan seksual,” ujar Alimah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendiri Perempuan Berkisah, Alimah Fauzan di Yogyakarta, Senin, 12 April 2021. TEMPO/Shinta Maharani
Sejak pembahasan rancangan undang-undang itu mengemuka, Alimah ikut membahasnya bersama anak muda di perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat; Universitas Padjadjaran, Bandung; Universitas Negeri Semarang; dan Institut Teknologi Bandung. Menurut Alimah, mahasiswa berperan penting untuk mendesak pengesahan rancangan tersebut. “Sangat perlu demi melindungi korban.”
Penggalangan dukungan juga muncul dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia pada 2017. Kongres ulama perempuan yang digelar di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, itu menjadi yang pertama di dunia.
Di kongres itu Alimah mengenal Badriyah Fayumi. Alimah menyebut Badriyah sebagai ulama perempuan yang menjadi tokoh sentral gerakan pendukung pengesahan rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurut Alimah, pernyataan Badriyah soal pentingnya aturan penghapusan kekerasan seksual itu kerap menjadi rujukan banyak orang. “Gagasan Badriyah pun disebarkan ke lembaga-lembaga yang mengadvokasi berbagai kasus kekerasan seksual di banyak daerah,” katanya.
Kongres itu menghasilkan keputusan yang berfokus pada upaya penghapusan kekerasan seksual, pencegahan perkawinan anak, dan kelestarian lingkungan. “Dokumennya lengkap, sampai dalil-dalil agamanya juga ada,” ujar Badriyah Fayumi, pengasuh Pondok Pesantren Mahasina, Kota Bekasi, Jawa Barat, yang menjadi ketua pengarah kongres tersebut.
Menurut Badriyah, banyak kasus kekerasan seksual terjadi, bahkan di lembaga pendidikan dan agama, yang sulit diungkap. Belum ada aturan yang cukup untuk melindungi para korban. “Korban yang berbicara malah bisa dituntut karena mencemarkan nama pelaku atau keluarganya dan berurusan dengan aparat penegak hukum yang tidak peka,” tuturnya.
Badriyah Fayumi di Bekasi, Jawa Barat, Jumat, 27 November 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Badriyah kerap menyisipkan materi kesetaraan gender dan isu kekerasan seksual kepada para santrinya di Mahasina. Dia bahkan mendorong para muridnya, terutama yang perempuan, untuk berani bersuara jika ada orang yang bertindak, membuat lelucon, atau mengeluarkan ucapan mengandung seksisme. “Para santri sudah paham itu dan saya berharap mereka menularkannya ke yang lain di luar pesantren,” ujarnya.
Badriyah mengatakan para ulama perempuan ikut menyampaikan pendapat tentang pentingnya pengesahan rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ke Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka juga membangun jaringan dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan sejumlah organisasi lain, seperti lembaga pendidikan Yayasan Fahmina, Jaringan Gusdurian, dan Migran Care.
Doktor bidang tafsir Al-Quran dari Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran Jakarta, Nur Rofiah, mengatakan isu kekerasan seksual dan keadilan gender bagi perempuan sebenarnya sangat penting untuk dipahami masyarakat. Selama ini cara pandang masyarakat terhadap perempuan dipengaruhi bias patriarki atau menggunakan standar yang dipakai laki-laki. “Apa yang baik bagi laki-laki belum tentu sesuai untuk perempuan,” katanya.
Menurut Nur Rofiah, isu kekerasan seksual sering dianggap remeh karena masyarakat tumbuh dalam tatanan sosial patriarkis yang menjadikan laki-laki sebagai standar keadilan untuk perempuan. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual bisa menjadi salah satu instrumen utama untuk mendukung pemenuhan keadilan gender dan hak-hak perempuan. Hal itulah yang membuat dia aktif menyuarakan dukungan pengesahan regulasi tersebut. “Jangan sampai membuat kebijakan yang hanya memenuhi faktor legal dan formalitas saja tapi tidak memenuhi hak-hak keadilan perempuan,” tuturnya.
Nur Rofiah juga berusaha membangun pemahaman publik yang lebih baik tentang keadilan gender dan isu kekerasan seksual lewat pendidikan. Masyarakat, menurut Nur Rofiah, perlu memahami keadilan hakiki perempuan sebagai manusia seutuhnya. Pada 2019, dia membuat program pengajian Keadilan Gender Islam. Program itu juga disiarkan di Instagram dan YouTube sehingga bisa lebih banyak orang yang bisa mengakses. “Dulu gerakan menuntut keadilan gender itu dianggap irasional, tidak ilmiah,” ujar Nur Rofiah, yang juga terlibat dalam tim perumus studi keislaman keulamaan perempuan di Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Meski banyak menuai dukungan, pembahasan masalah kekerasan seksual juga memantik penolakan. Direktur Rifka Annisa Women's Crisis Center Defirentia One Muharomah menuturkan diskusi yang digelar organisasinya di sebuah desa di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, empat tahun lalu pernah ditentang sejumlah pesertanya. Diskusi itu membahas pembagian peran suami dan istri dalam rumah tangga, perkawinan anak, dan pencegahan kekerasan berbasis gender.
Awalnya ada seorang peserta yang menolak konsep pembagian peran tersebut dengan alasan agama yang dianutnya mengajarkan bahwa mendidik anak adalah tugas perempuan. Setelah diskusi rampung, peserta perempuan yang datang bersama suaminya itu mengirim pesan bahwa mereka enggan mengikuti kelas lagi karena bertentangan dengan nilai agama mereka. Aksi mereka tersebut menular ke peserta lain. Separuh dari 15 pasangan diskusi menolak mengikuti kelas. Upaya tim Rifka Annisa mendekati mereka hanya menemui jalan buntu.
Nur Rofiah, di kediamannya di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, 19 April 2021. TEMPO/STR/Nurdiansah
Pengalaman tersebut membuat Rifka Annisa akhirnya mengubah strategi pengajaran topik diskusi soal isu kekerasan seksual dan kesetaraan gender. Para fasilitator kini menggunakan pendekatan kultural dan agama. Mereka menggandeng tokoh agama dan masyarakat hingga menggelar pengajian dan acara seni budaya untuk menyampaikan pesan tentang masalah kekerasan seksual dan perkawinan anak.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menolak pengesahan rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Mereka menilai aturan itu mendukung seks bebas, komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender serta terlalu membebaskan perempuan. “Tidak ada batasan sebagai yang sudah disepakati perempuan dengan budaya ketimuran,” ujar Penasihat Satuan Tugas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual KAMMI Anis Maryuni Ardi pada Minggu, 18 April lalu.
Menurut Badriyah, wajar saja jika masih ada yang menolak pengesahan rancangan itu. Namun dia meyakini bahwa mereka yang menolak sebenarnya setuju untuk menghentikan kekerasan seksual. Para pihak yang keberatan tinggal menyampaikan apa saja yang menjadi ganjalan mereka. “Perlu duduk bersama-sama untuk berdialog. Naskah akademis atau definisi yang multitafsir masih bisa disesuaikan,” kata Badriyah.
Meski demikian, Badriyah mengingatkan agar kepentingan bangsa didahulukan supaya kontroversi soal rancangan ini tidak berlarut-larut. Aturan mengenai penanganan kekerasan seksual dan pemenuhan hak-hak korbannya perlu segera diselesaikan. “Harus diakui, peraturan-peraturan Indonesia yang membahas kekerasan seksual itu masih banyak bolongnya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo