Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Penjaga Pasal Hilang

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual bermasalah di tingkat pemerintah karena menghapus 102 pasal krusial. Para aktivis perempuan bergerilya meyakinkan pemerintah mengembalikan pasal-pasal yang jadi tulang punggung rancangan undang-undang ini.

24 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Yeni Rosa Damayanti di Kejaksaan Agung di Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah pernah menghapus 102 pasal penting di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

  • Para aktivis perempuan berjuang menyakinkan pemerintah pentingya pembuatan undang-undang penghapusan kekerasan seksual.

  • Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan menjadi Undang-undang sebelum Pemilihan Umum 2024.

SALAH satu tonggak penting peradaban Indonesia adalah Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Undang-undang ini akan membawa kita naik kelas dengan memberikan penghargaan kepada sesama tanpa membedakan gender dan perkelaminan. Masalahnya, seperti hendak naik kelas, tak mudah mengegolkan undang-undang ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti diingat Sri Nurherawati, Komisioner Komisi Nasional Perempuan. Pada 24 Mei 2017, pemerintah rampung menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Tapi, alih-alih senang, para komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang menyusun rancangan itu malah gundah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soalnya, sebanyak 102 pasal hilang dari daftar tersebut. Rancangan hanya tinggal 50 pasal. Semua pasal yang hilang merupakan pasal krusial. Salah satunya tentang pemangkasan sembilan kategori bentuk kekerasan seksual menjadi hanya empat. “Hasil pembahasan kami bersama DPR bagus, tapi isi DIM pemerintah berisi sebaliknya,” ujar Sri pada Minggu, 18 April lalu.

RUU versi Dewan Perwakilan Rakyat menyebutkan bahwa bentuk kekerasan seksual bisa berupa pelecehan, eksploitasi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan, serta penyiksaan seksual. Sedangkan dalam DIM pemerintah bentuk kekerasan seksual hanya dikategorikan menjadi pencabulan, eksploitasi, persetubuhan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan penyiksaan seksual.

DIM pemerintah juga menghilangkan hukum acara khusus untuk kekerasan seksual. Bahkan ketentuan mengenai hak-hak korban meliputi penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan ikut dibuang.

Komnas Perempuan berinisiatif menyusun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sejak 2010. Selama enam tahun para komisioner membujuk DPR membuat payung hukum soal kekerasan seksual. Pada Mei 2016 DPR meminta Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademik. Pada tahun yang sama, DPR memasukkan RUU ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas.

Komisioner Komnas Perempuan 2014-2019, Sri Nurherwati di kediamannya, di Bogor , Jawa Barat, Selasa, 20 April 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Dalam rapat paripurna 6 April 2017, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disepakati sebagai inisiatif DPR dan ditangani Komisi VIII yang mengurus agama dan sosial. Pada bulan yang sama, DPR menyerahkan draf rancangannya ke pemerintah. Di tangan pemerintah itulah banyak pasal dipotong. “Kami tidak dilibatkan dalam panitia kerja pemerintah,” ujar Sri Nurherwati.
Sri dan sejumlah komisioner Komnas Perempuan lalu mendatangi beberapa kementerian, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Kantor Staf Presiden, untuk memprotes DIM itu. Di luar dugaan, pemerintah kemudian membuat tim membahasnya.

Tim terdiri atas personel dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kantor Staf Presiden, Kementerian Kesehatan, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Komnas Perempuan. “Tapi wewenang kami dibatasi. Hanya bisa memberikan pendapat tanpa bisa memutuskan,” ujar Sri.

Hasilnya bisa diduga: pembahasan jalan di tempat. Dalam setiap rapat, menurut Sri, kesimpulannya selalu sama, yakni DIM tidak bisa diubah.

Sejumlah aktivis perlindungan perempuan dan organisasi masyarakat sipil juga geram. Mereka berkonsolidasi di Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan atau JKP3 melakukan aksi di berbagai daerah untuk mendorong pemerintah memperbaiki DIM RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

JKP3 terdiri atas 45 lembaga seperti Lembaga Bantuan Hukum, Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Kelompok Perempuan Pendamping Korban, Kalyanamitra, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Institut Perempuan, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Yayasan Pulih.
Koalisi ini juga membuat DIM setebal 187 halaman sebagai bentuk protes sekaligus untuk menunjukkan setumpuk persoalan di DIM pemerintah. “DIM itu kami sebarkan pada November 2017,” ujar Koordinator JKP3 Ratna Batara Munti pada Sabtu, 24 April lalu.
Sebulan kemudian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan menyatakan akan melibatkan masyarakat sipil dalam pembahasan DIM RUU tersebut. Tapi, hingga lima bulan berlalu, janji itu tidak kunjung terwujud.

Ratna dan sejumlah perwakilan dari JKP3 menemui Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Vennetia R. Dannes pada Mei 2019 untuk menyampaikan keinginan mereka memberikan masukan kepada pemerintah. Vennetia menolak. “Mereka beralasan waktu sudah mepet. Masukan kami diminta melalui Komnas Perempuan. Padahal kami tahu suara Komnas Perempuan tidak pernah mereka dengarkan,” ujar Ratna.

Para aktivis perempuan lalu melobi kementerian yang tergabung dalam panitia kerja pemerintah dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Wakil Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Yeni Rosa Damayanti salah satu aktivis yang mendekati sejumlah anggota staf ahli di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Kantor Staf Presiden. “Saya menyampaikan aspirasi perempuan disabilitas, kelompok paling rentan mengalami kekerasan seksual, yang justru poin perlindungan terhadap mereka dihapus dalam DIM,” ujar Yeni pada Jumat, 23 April lalu.

Mereka juga menemui Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pertahanan, dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden Republik Indonesia Jaleswari Pramodhawardani. Mereka mempresentasikan DIM versi masyarakat sipil.

Upaya itu membuahkan hasil. Pada pertengahan Juni 2019, pemerintah mengundang perwakilan JKP3 dan HWDI dalam rapat panitia kerja. Pada awalnya rapat berlangsung alot, karena sebagian besar wakil kementerian menolak mengubah DIM. “Kami menyatakan tidak mau dilibatkan kalau tidak ada perubahan,” tutur Ratna. Rapat sepakat mengambil jalan tengah: DIM tidak diubah tapi dilengkapi dengan dokumen tambahan.

Pembahasan semakin lancar setelah pemerintah melibatkan sejumlah akademikus sebagai tim ahli panitia kerja perumus DIM. Mereka di antaranya Edward Omar Sharif Hiariej dari Universitas Gadjah Mada serta pakar hukum sekaligus pendiri Institut Perempuan, Valentina Sagala, yang sebelumnya bergabung di JKP3.

Aktivis Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara Munti di kediamannya, di Jakarta, Rabu, 21 April 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Tiga bulan kemudian perbaikan DIM rampung. Menurut Yeni Rosa, semua substansi penting yang dihapus berhasil dikembalikan, bahkan ada beberapa tambahan. Salah satunya jaminan bahwa kesaksian penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual setara dengan kesaksian lain. Juga ada aturan tentang pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas.

DIM hasil revisi diserahkan ke DPR pada pertengahan September 2019. Komnas Perempuan dan para aktivis perempuan berharap DPR segera mengesahkan RUU menjadi undang-undang pada 25 September, seperti yang dijanjikan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Namun harapan itu kandas. Hingga masa jabatan DPR berakhir pada 30 September 2019, DPR tidak kunjung menyelesaikan RUU ini.

Toh, DPR periode baru pun tidak kunjung membahas RUU ini. DPR periode baru bahkan mengeluarkan drafnya dari daftar Program Legislasi Nasional 2020. Meski pada Maret 2021 DPR kembali menyetujui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pembahasannya mesti dimulai dari awal lagi. “Semua dibahas dari awal. Pemerintah nanti juga mesti membuat DIM lagi,” ujar Valentina.

Namun jalan panjang dan berliku itu tidak membuat para aktivis perempuan patah arang. Mereka kembali bergerak melobi DPR dan pemerintah. Dua bulan setelah kabinet baru terbentuk, Komnas Perempuan menemui Menteri Pemberdayaan Perempuan Bintang Puspayoga.

Mereka juga menemui Kepala Staf Presiden Moeldoko. “Kami minta agar pemerintah mengawal dan memastikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. Beliau semua sangat mendukung,” ujar Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfa Anshor. Dia menduga pembahasannya tak seberat dulu.

Keyakinan senada juga diungkapkan Tenaga Ahli Kedeputian 2 Kantor Staf Presiden Nuraini, “Sekarang ini sepertinya semua pihak sudah mulai terbuka bahwa aturan ini penting untuk korban,” katanya. Pemerintah bahkan berjanji akan mempercepat pengesahannya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus