Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

'Bidan-bidan' Aturan Properempuan

Organisasi nirlaba di berbagai daerah bergerilya demi legalitas aturan yang pro terhadap perempuan dan anak. Women’s Crisis Center di Jombang, Jawa Timur, mengajak komunitas perempuan dampingan mereka terlibat dalam penyusunan peraturan Bupati Jombang tentang sistem layanan terpadu yang mengakomodasi kebutuhan perempuan dan anak. Di Palu, Sulawesi Tengah, Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan membubuhkan unsur bencana alam ke peraturan daerah tentang hak anak yang sudah lama mereka kawal. Peraturan itu adalah hasil pengamatan, pendampingan, dan advokasi perlindungan hukum yang bertahun-tahun mereka lakukan.

24 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Perkumpulan Lingkar Belajar Untuk Perempuan (Libu Perempuan) Sulawesi Tengah, Dewi Rana Amir ( kiri) mengunjungi tenda pengungsian warga Donggala. Mugni Supardi/RADAR Sulteng

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMPA bumi dengan magnitudo 7,4 yang menghantam Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018 menjadi nestapa bagi ribuan warga di sana, tak terkecuali Dewi Rana. Walau turut menjadi korban, Direktur Perkumpulan Lingkar Belajar untuk (Libu) Perempuan itu langsung turun tangan. Sebab, dalam situasi bencana pun perundungan seksual terhadap perempuan dan anak-anak bisa terjadi. “Saya langsung turun ke lapangan karena takut ada apa-apa dengan korban pelecehan seksual,” ujar Dewi kepada Tempo melalui telepon, Rabu, 21 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat itu, ribuan korban gempa menempati hunian sementara di Palu, Donggala, dan Sigi. Di sanalah Dewi dan 30 relawan Libu “berkantor” saban hari. Gerak cepat mesti dilakukan karena pada hari ketiga seusai bencana, Libu sudah mendapat aduan tentang perundungan seksual terhadap anak. Pelakunya orang terdekat korban. Lalu ada perundungan seksual di tenda yang tak bisa diproses karena kurangnya alat bukti. Kondisi itu sampai membuat Dewi dan para relawan lain mengalami stres. Bahkan mereka ikut mendapat konseling psikososial dari Yayasan Pulih yang berada di hunian sementara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk membantu pemulihan korban, Libu menyediakan ruang ramah perempuan dan anak-anak di Sigi, Donggala, serta Palu. Ruangan itu berbentuk tenda tertutup berukuran 6 x 11 meter dengan satu bilik yang tak ubahnya rumah aman. Di situ setiap hari berlangsung sejumlah kegiatan, seperti konseling dengan psikolog, pemeriksaan kehamilan, dan penguatan ekonomi. Pesertanya beragam, dari ibu-ibu, remaja yang kehilangan orang tua, janda, hingga orang lanjut usia.

Berkaca dari pengalaman itu, Libu mendorong unsur bencana dimasukkan ke Rancangan Peraturan Daerah Palu Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak. “Kami tidak mensyukuri bencana, tapi kondisi ini memperkaya aturan yang kini sudah ditandatangani Wali Kota Palu,” ucap Dewi. Peraturan daerah yang disusun sejak 2013 itu antara lain mengatur pendirian ruang ramah perempuan dan anak-anak di hunian sementara bilamana terjadi bencana alam.

Sosialisasi yang dilakukan Women Crisis Center (WCC) tentang layanan untuk korban kekerasan dan pelecehan seksual, di Jombang, Jawa Timur, April 2021 . Dok. Pribadi

Sebelum peraturan itu disahkan, Libu mendekati Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Palu dan sejumlah badan terkait. Libu juga mengadvokasi lembaga adat karena kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan mereka amat kuat. Ini tak mudah karena Libu mesti mengintegrasikan cara penanganan adat dengan narasi kasus kekerasan seksual. Dalam setiap pertemuan, Libu memaparkan tingginya angka kekerasan seksual, termasuk seusai bencana. Juga data 50 perkawinan usia anak di hunian sementara sejak bencana terjadi hingga pertengahan 2019.

Libu menekankan pula soal penanganan laporan perundungan seksual yang kerap menabrak tembok. Terkadang penanganan kian sulit saat aduan sudah masuk proses penyidikan. Sebab, Dewi menerangkan, sebagian penyidik belum berperspektif gender. “Kadang dengan penyidik kami hampir berkelahi,” tuturnya. Akhirnya, Libu pun bekerja sama dengan pemerintah daerah menggelar pelatihan untuk para penyidik. "Ini bagian kerja jangka panjang perlindungan anak dan perempuan."

Penguatan lewat peraturan daerah juga diinisiasi Women’s Crisis Center (WCC) di Jombang, Jawa Timur. WCC ikut menyusun Peraturan Bupati Jombang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Layanan Rujukan Terpadu untuk Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang Terintegrasi dengan Penanganan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Novita Sari dari Divisi Advokasi Kebijakan dan Pengorganisasian Masyarakat WCC mengatakan naskah akademik aturan itu disusun bersama dengan Dinas Sosial serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Jombang. Peraturan tersebut mengintegrasikan perlindungan korban dan sosial. "Jadi perempuan korban yang miskin mendapatkan dua layanan sekaligus," kata Novi melalui telepon, Selasa, 20 April lalu.

Kelompok tugas di 302 desa di Kabupaten Jombang bekerja mengimplementasikan peraturan bupati itu. Lima dari ratusan desa tersebut diberdayakan WCC sejak 2001, yakni Plabuhan, Keras, Mojowarno, Bendet, dan Mojongapit. Di kelima desa itu, tim WCC menggelar sejumlah kegiatan, seperti pelatihan paralegal dan akses anggaran desa serta konseling sebagai basis peserta untuk mendampingi perempuan dan anak-anak korban kekerasan di sekitar tempat tinggal mereka. Pada saat yang sama, Novi melanjutkan, WCC juga mengadvokasi kepala desa dan pejabat badan permusyawaratan desa mengenai perlunya perspektif gender dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Upaya ini tak mudah karena budaya patriarki kerap menumbuhkan stereotipe negatif terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan.

Jalan panjang WCC dalam mendampingi komunitas perempuan berbuah Peraturan Desa Keras Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Peraturan itu lahir atas advokasi Kelompok Solidaritas Perempuan Desa Keras. Komunitas ini mendampingi perempuan-perempuan korban, bahkan yang tinggal di luar Desa Keras. Biayanya diambil dari kantong pribadi mereka.

Kelompok Solidaritas Perempuan juga melakukan pendampingan dalam kasus kenakalan anak dan pemerkosaan. "Tak jarang kami mendapat tekanan, bahkan diancam dibunuh oleh pelaku," ujar salah seorang anggota kelompok tersebut, Suci, 59 tahun. Namun Suci menyatakan tak gentar. Ia terus memberikan pendampingan psikologis bagi korban dan advokasi kepada pejabat desa. Upaya itu dipengaruhi latar belakangnya sebagai penyintas kekerasan dalam rumah tangga. "Masa lalu saya biar menjadi pelajaran, agar tak ada lagi perempuan yang menjadi korban."

Lain halnya dengan Sanggar Suara Perempuan (SSP) Soe di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Koordinator Divisi Pendampingan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan SSP Soe, Sarci Maukar, mengatakan mereka mesti menggunakan cara-cara informal demi mendapatkan perhatian dari pejabat desa di sana. Tak jarang pejabat desa "kabur" tatkala tahu tim SSP bakal datang untuk memberikan advokasi. "Alasannya macam-macam, ada urusan ini-itu," ucapnya saat dihubungi, Rabu, 21 April lalu.

Namun semangat Sarci dan aktivis SSP Soe lain tak surut. Mereka terus melakukan pendekatan lewat diskusi yang dibangun dalam situasi kekeluargaan. Sarci dan kawan-kawan kerap tak datang secara formal ke kantor desa, melainkan ke rumah kepala desa. Kalau perlu, anggota staf yang berkerabat dengan perangkat desa diberi misi melakukan pendekatan khusus. Strategi berbeda diterapkan untuk Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa. Sarci menerangkan, mereka melobi dinas tersebut agar ada aktivis perempuan SSP yang menjadi pembicara dalam acara-acara kedinasan supaya bisa menggaungkan pentingnya kesadaran akan kesetaraan gender.

Sejak berdiri pada 1993, Sanggar Suara Perempuan Soe berhasil membidani lahirnya peraturan desa serta keputusan kepala desa tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan. Misalnya di Desa Bosen, Ajaobaki, Mnelalete, dan Tuafanu. “Peraturan desa ini cukup membantu perempuan karena bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus,” tuturnya. SSP Soe juga memberikan pelatihan bulanan kepada kepolisian sektor mengenai hak-hak perempuan sebagai korban kekerasan. Lama-lama, makin banyak polisi yang paham. Menurut Sarci, sering mereka tinggal menelepon polisi bila ada laporan kekerasan di desa. "Ini tentu memudahkan kami karena topografi wilayah Soe yang berbukit.” 

Kota Soe juga mendorong SSP merumuskan draf aturan yang kemudian disahkan menjadi Peraturan Bupati Nomor 30 Tahun 2018 yang menyoal perdagangan orang di Timor Tengah Selatan. Pembuatan peraturan ini berlatar banyaknya warga di sana yang tersandung masalah karena menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri secara ilegal. Tak jarang, Sarci mengungkapkan, anak-anak direkrut secara ilegal dan dikirim ke mancanegara. Bahkan, di tengah kondisi pandemi Covid-19, SSP mendapat aduan mengenai adanya anak-anak yang dilarikan ke luar daerah untuk dipekerjakan. 

Sanggar Suara Perempuan (SSP) menyelengarakan forum reflkesi pendampingan korban, di Soe, Nusa Tenggara Timur, Oktober 2017. Dok. Pribadi

Lain lagi tantangan Balai Syura Ureung Inong Aceh, yang melakukan advokasi atas rancangan Qanun Hukum Keluarga dan Qanun Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Salah satu anggota Presidium Balai Syura, Rasyidah, menjelaskan, pada 2018, mereka bekerja sama dengan sejumlah institusi untuk meriset implementasi Qanun Jinayah, khususnya dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. "Kami mau melihat bagian mana dari qanun itu yang merugikan anak dan perempuan," ucapnya saat dihubungi, Selasa, 20 April lalu.

Dari riset antarlembaga, keluarlah 23 rekomendasi yang di antaranya menyebutkan soal restitusi dari pelaku bagi korban. Restitusi itu dimaksudkan untuk memberdayakan korban secara ekonomi. Hasil riset juga menyatakan hukuman cambuk dalam Qanun Jinayah untuk pelaku pemerkosaan tidak diterima sebagian korban. Si pelaku bisa bebas dari stigma negatif dalam beberapa bulan saja, tapi trauma dapat mendera korban dalam waktu sangat lama, bahkan seumur hidup. Ini yang mendorong Balai Syura melakukan advokasi agar pasal tentang pemerkosaan keluar dari qanun tersebut. Persoalannya, ada kecenderungan anggapan bahwa hukuman yang sesuai dengan syariat Islam adalah pencambukan.

Problem lain, di level peradilan, adalah hakim kadang menganggap kasus pemerkosaan sebagai perzinahan—dilakukan karena suka sama suka. Balai Syura berharap ketimpangan gender ini bisa terkikis sedikit demi sedikit. "Kami harus softly approach dan memakai pendekatan agama karena tidak mau dianggap ingin menghancurkan syariat Islam," kata Rasyidah.

Tak hanya ke pengadilan, Balai Syura juga melakukan advokasi kepada kelompok-kelompok pengajian. "Kami tidak tahu apakah qanun ini nantinya bisa membuat perubahan. Namun setidaknya kami berharap ada upaya lebih serius soal jaminan perlindungan bagi perempuan dan anak di Aceh," ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus