Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUDUK tenang di sebelah kanan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Agus Salim tak banyak bicara. Pada siang, 8 Desember 1947, dia bukan tokoh sentral. Ia hanya anggota delegasi yang dipimpin Amir dalam perundingan dengan Belanda di geladak kapal perang Amerika Serikat, USS Renville.
Renville, kapal pengangkut Angkatan Laut Amerika Serikat yang lepas jangkar di perairan Tanjung Priok, Jakarta, dipilih sebagai tempat netral untuk menuntaskan sengketa Belanda dan Indonesia. Perundingan yang dimediasi Komite Jasa Baik bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa—kemudian dikenal dengan Komite Tiga Negara, terdiri atas Amerika Serikat, Australia, dan Belgia—itu ternyata dimanfaatkan Belanda untuk menyerang delegasi Indonesia. Mereka mempersoalkan Indonesia yang beberapa bulan terakhir bergerilya mencari pengakuan kedaulatan ke negara-negara Arab.
Sorotan paling tajam mengarah ke Agus Salim, Menteri Luar Negeri kabinet Amir Sjarifuddin. Bahkan, sejak menjabat Wakil Menteri Luar Negeri kabinet Sjahrir II, Salim merupakan lakon utama misi diplomasi Indonesia ke dunia internasional. Berkat kedekatannya dengan Liga Arab, Salim membuka jalan bagi delegasi Indonesia untuk mengikuti sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, New York, Amerika Serikat, 19 Agustus 1947. Sidang inilah yang memutuskan membentuk Komite Jasa Baik.
Wakil Presiden Mohammad Hatta mengatakan kala itu Belanda marah bukan main. Alasannya, seperti ditulis Hatta dalam pengantar buku Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional, "Menurut hukum internasional yang berlaku dan berdasarkan Perjanjian Linggarjati, kedaulatan Indonesia masih berada di bawah Kerajaan Belanda."
Toh, di atas kapal Renville, delegasi Indonesia, yang beranggotakan antara lain Ali Sastroamidjojo, Dr Tjoa Sik Len, Mohamad Roem, Narsun, dan Ir Juanda, tak mau terpancing tekanan Belanda. Mereka menganggap aksi Belanda mempersoalkan lobi internasional Indonesia sebagai bagian dari strategi menguasai jalannya perundingan.
Agus Salim punya argumentasi. Kepada seorang utusan Belanda, dia balik bertanya, "Apakah aksi militer yang Tuan lancarkan terhadap kami sesuai dengan Perjanjian Linggarjati?" Dia berpendapat pengakuan kedaulatan Indonesia oleh negara-negara Arab justru disebabkan oleh serangan Belanda pada 21 Juli 1947, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer I. "Kalau Tuan-tuan melancarkan sekali lagi aksi militer terhadap kami, kami akan mencapai pengakuan de jure di seluruh dunia."
Saling tuduh di antara kedua delegasi tentang siapa yang melanggar kesepakatan gencatan senjata membuat Perundingan Renville dibuka dengan suasana menegangkan. Terlebih ketika keesokan harinya Indonesia menolak usul Belanda agar batas kedua negara merujuk pada garis demarkasi buatan Letnan Gubernur Jenderal Belanda Hubertus Johannes van Mook. Jika garis yang menghubungkan titik-titik terdepan pasukan dalam agresi militer ini disetujui sebagai tapal batas, Indonesia harus melepas sebagian besar wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Pulau Sumatera.
Delegasi Indonesia lewat Perdana Menteri Amir mengkritik pasal tersebut, yang kemudian dibalas ketus oleh ketua delegasi Belanda, Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang kolonel tentara Hindia-Belanda (KNIL). "Buktikanlah lebih dahulu ketangguhanmu dan setelah itu soal-soal politik akan mendapat alurnya yang tepat," kata Abdulkadir, seperti tercatat di Arsip Sejarah Keesings.
Karena tak ada titik temu, pada hari kedua perundingan, Amir Sjarifuddin, Agus Salim, dan semua anggota delegasi Indonesia turun dari kapal. Dugaan bahwa Belanda sebenarnya telah memilih jalan perang dalam Perundingan Renville terbukti. Mereka mengultimatum agar dalam kurun waktu tiga hari Republik memberikan jawaban tentang garis demarkasi Van Mook. Jika tidak, mereka mengancam akan melanjutkan agresi militer hingga ke Yogyakarta.
Di tengah ketegangan, Agus Salim tetap tenang dan jenaka. Di sela-sela perundingan di atas USS Renville itu, dia merasa kehausan dan segera meminta air es. "Hampir saya jatuh pingsan," katanya kepada pelayan kapal, seorang perempuan Amerika Serikat. Pelayan menyahut, "Kalau nanti Tuan jatuh pingsan, tentu Tuan akan saya peluk." Agus Salim cepat membalas, "Buat apa dipeluk kalau saya sudah pingsan!"
Sejarawan Rushdy Hoesein menilai wajar jika Agus Salim tampil tanpa beban dalam Perundingan Renville. Negosiasi tersebut sebenarnya bak reuni antara dia dan Abdulkadir. "Keduanya sudah lama mengenal dan sangat dekat," ujar Rushdy. Keduanya sama-sama bertugas di Konsulat Belanda di Jeddah meski pada periode yang berbeda. Pada 1906-1911, Agus Salim menjadi leerling drogman alias juru bahasa magang dan pengawas jemaah haji. Sedangkan Abdulkadir pernah menjadi sekretaris konsulat.
Saking dekatnya mereka, suatu ketika pada akhir 1946, menantu Agus Salim, yakni Djohan Sjahroezah, pernah ditangkap Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Salim pun menghubungi Abdulkadir, yang ketika itu menjadi konsultan layanan umum Van Mook di NICA. "Hari itu juga Djohan pulang," kata Rushdy.
Rushdy yakin kedekatan Agus Salim dan Abdulkadir sedikit-banyak membuka kebuntuan negosiasi Indonesia dan Belanda. Setelah sebulan tawar-menawar pasal, dijembatani Komite Tiga Negara yang bolak-balik Jakarta-Yogyakarta, kesepakatan pun tercapai dengan penandatanganan Perjanjian Renville di atas kapal yang sama pada 17 Januari 1948.
Belakangan perjanjian tersebut menuai protes karena banyak menguntungkan Belanda, antara lain pengakuan garis demarkasi Van Mook dan penarikan pasukan Indonesia di kantong-kantong wilayah kekuasaan Belanda. Di Jawa Barat, laskar pimpinan S.M. Kartosoewirjo menolak ketika Divisi Siliwangi diperintahkan melakukan long march ke Jawa Tengah sebagai konsekuensi menyempitnya wilayah Indonesia. Dua tahun kemudian, Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam Indonesia di Tasikmalaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo