Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dalam Rangkulan Sarekat

DIMINTA pemerintah Hindia memata-matai Sarekat Islam, Agus Salim malah kepincut pada organisasi massa itu. Kecerdasan serta pengetahuan agamanya yang tinggi membuat dia lekas menjadi kepercayaan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin SI. Belakangan keduanya dikenal sebagai dwitunggal. Salimlah yang menggagas gerakan disiplin partai untuk "mengusir" anasir komunis dari SI. Dia ikut membidani salin wujud SI menjadi partai dan menjadi pucuk pimpinan Partai Sarekat Islam Indonesia setelah Tjokroaminoto meninggal.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telik Sandi Jadi Petinggi Partai
Agus Salim disebut paling berpengaruh di Partai Sarekat Islam setelah Tjokroaminoto. Satu-satunya intelektual partai yang dapat menandingi kelompok komunis, Semaoen dan kawan-kawan.

PERANG Dunia I pada Agustus 1914 sungguh merepotkan Belanda dan Hindia Belanda. Demi menjaga keamanan Hindia, Gubernur Jenderal Idenburg, yang seharusnya purnatugas akhir tahun itu, diminta bertahan. Belanda khawatir negeri jajahannya terseret perang, terutama setelah ada kabar Jepang tengah melancarkan agresi ke Cina dan koloni-koloni Jerman di Samudra Pasifik.

Dalam situasi itulah Agus Salim, yang baru menikahi Zainatun Nahar di Koto Gadang, tiba di Jakarta. Ketika itu tahun 1915. Dia tidak punya pekerjaan. Meski demikian, sebagai mantan pegawai Konsulat Belanda di Jeddah dan pernah bekerja untuk dinas pekerjaan umum pemerintah Hindia di Jakarta, dia cukup dikenal.

Ketika Salim sedang mencari-cari pekerjaan, seorang teman sekolah yang telah menjadi pegawai pemerintah Hindia datang menemuinya. Namanya Datuk Tumenggung, penasihat urusan bumiputra atawa adviseur voor inlandsche zaken. Datuk berkedudukan tinggi itu menawarinya pekerjaan sebagai telik sandi.

Salim diminta memata-matai Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI). Ada desas-desus, Tjokroaminoto telah disogok Jerman 150 ribu gulden agar memberontak terhadap pemerintah Hindia. Saat itu, dikatakan, sebuah kapal Jerman tengah berlayar menuju Jawa membawa 40 ribu pucuk senjata.

"Tjokroaminoto dikabarkan sepakat untuk memimpin revolusi bila senjata-senjata itu diserahkan kepadanya," kata Salim, seperti dikutip Kustiniyati Mochtar dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984).

Menerima tawaran tersebut, Salim mulai mendekati Tjokroaminoto. Kebetulan, saat itu SI hendak menggelar kongres di Surabaya dan Tjokroaminoto mengundangnya hadir. Dari Surabaya, Salim kemudian mengikuti Tjokroaminoto mengunjungi berbagai daerah di Jawa Timur untuk rapat SI.

Salim terkesan oleh Tjokroaminoto. Dia, misalnya, terpana melihat puluhan ribu orang mengelu-elukan pemimpin SI itu dan bagaimana mereka merunduk ke tanah dan mencium kakinya. Tak suka pada sembah-menyembah yang dia lihat, Salim menyampaikan kepada Tjokroaminoto bahwa membiarkan diri dipuja sedemikian rupa bisa berbahaya. Bukannya marah, Tjokroaminoto malah kian dekat padanya. "Pada waktu itulah di antara kami berdua tercetus kesepakatan untuk saling membantu," cerita Salim, seperti dikutip Kustiniyati—bekas wartawan harian Indonesia Raya ini orang paling akhir yang mewawancarai Salim, pada 1954, beberapa saat sebelum Salim meninggal.

Begitu mereka tiba kembali di Surabaya, Salim memutuskan masuk SI. Sejak itu, dia boleh dibilang menjadi penasihat pribadi Tjokroaminoto.

Ketika mengajarkan kebudayaan Islam di Cornell University, Amerika Serikat, sejak Januari hingga Juni 1953, Salim mengatakan, saat pertama kali bergabung dengan SI, dia sudah menceritakan hubungannya dengan polisi Belanda kepada Tjokroaminoto. Menurut dia, Tjokroaminoto tak mempersoalkan hal itu. Apalagi dia sudah menyatakan mundur dari pekerjaan sebagai mata-mata Hindia. Tokoh SI lain, seperti Abdoel Moeis, Alimin Prawirodirdjo, Soerjopranoto, dan Abikoesno Tjokrosoejoso, juga menerima kehadiran Salim dengan gembira.

Tapi tak sedikit aktivis gerakan kala itu yang mencurigai niat Salim bergabung dengan SI. Salah satunya dr Sutomo. Dalam wawancara dengan surat kabar De Indische Courant, dia menuding Salim telah memperalat SI. Sutomo menyebut Salim "seorang intelek tinggi". Menurut dia, Salim datang ke Surabaya untuk mengacaukan Indonesische Studieclub, kelompok studi antikolonial yang dia dirikan pada 1924. Ini terjadi pada 1927, ketika SI telah bersalin menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) dan Salim salah satu pucuk pimpinannya.

Tudingan Sutomo menimbulkan gejolak. Hardjosudarmo, Ketua PSI Kediri, lantas membentuk sebuah komite untuk mengklarifikasi tuduhan itu dalam sebuah rapat terbuka. Sutomo diminta hadir menyampaikan bukti-bukti pengkhianatan Salim. Namun baik Sutomo maupun pihak Studieclub tak menanggapi hal itu.

Belum lagi persoalan dengan Sutomo mereda, Mr Singgih melemparkan tudingan baru kepada Salim melalui surat kabar Timboel. Dia mengatakan Salim dibayar pemerintah Hindia 750 gulden untuk memata-matai Radicale Concentratie.

Salim membantah keras tudingan itu. Dalam "Balasan Kata" di koran Bandera Islam, 2 Mei 1927, dia menegaskan sudah memutus hubungan dengan polisi Hindia setelah masuk SI.

Lima hari kemudian, pada 7 Mei, digelar sidang terbuka di Sekolah Adi Dharmo, Pakualaman, Yogyakarta. Salim dan Mr Singgih diminta mengajukan bukti kepada tim juri yang dipimpin Adipati Aryo Kusumo, pensiunan Bupati Jepara. Sidang terbuka itu dihadiri pula oleh ribuan pengunjung. Singgih gagal mengajukan bukti yang kuat atas tuduhannya. Keesokan harinya, juri memutuskan Salim tak bersalah.

Meski demikian, perdebatan soal hubungan Salim dengan pemerintah Hindia tak pernah usai. Suradi dalam naskah bukunya, Haji Agus Salim dan Persoalan Kooperasi-Nonkooperasi dalam Sarekat Islam 1915-1940 (1996), menulis bahwa Salim ternyata masih melaporkan kegiatan SI kepada pemerintah Hindia. Laporan-laporan Salim itu tersimpan dalam arsip milik Idenburg. Sebenarnya, kalaupun ini benar, boleh jadi itu laporan-laporan terdahulu. Soalnya, Idenburg sudah meninggalkan Hindia Belanda pada 1916. Dia digantikan Graaf van Limburg Stirum.

l l l

EMPAT tahun Salim bergabung, pada 1919 kedudukan Central Sarekat Islam (CSI) mulai goyah. Pemerintah kini marah kepada SI lantaran berbagai aksi "perjuangan ekonomi" yang dilakukan aktivis SI di berbagai penjuru Hindia.

Munculnya "perjuangan ekonomi" melalui gerakan buruh, terutama oleh SI Semarang di bawah pimpinan Semaoen dan Darsono serta SI Yogyakarta, amat menjengkelkan pemerintah. Mereka sering memprovokasi gerakan buruh dan aksi mogok. Ketika itu, organisasi buruh terbesar adalah Personeel Fabriek Bond, yang didirikan pada 1918 oleh R.M. Soerjopranoto, salah seorang komisaris CSI. Soerjopranoto, kakak Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara, kemudian dikenal sebagai "raja mogok".

Ada dua insiden yang membuat pemerintah meradang: peristiwa Tolitoli di Sulawesi Tengah dan Garut di Jawa Barat. Di Tolitoli, aksi menolak kerja paksa pecah pada Mei 1919 manakala Abdoel Moeis berkunjung dalam rangka tur propaganda CSI. Seorang controleur Belanda terbunuh dalam peristiwa itu, dan Moeis dihadapkan ke pengadilan. Di Garut, satu keluarga petani dibunuh polisi di bawah pimpinan asisten residen karena tak mau menyerahkan hasil panen sawah mereka. Pemerintah menyimpulkan SI berada di belakang pembangkangan itu.

Akibat sikap permusuhan yang ditunjukkan pemerintah, banyak pengikut setia SI, terutama para pedagang Arab dan Cina, ketakutan. Berbondong-bondong mereka meninggalkan organisasi ini. Posisi Tjokroaminoto melemah, sementara anasir komunis—Semaoen, Darsono, dan kawan-kawan—berusaha menguasai SI.

Itu sebabnya, pada Kongres CSI di Surabaya, 1919, Salim ditunjuk menjadi komisaris, mewakili Yogyakarta. Dia diberi tugas khusus mengurusi serikat buruh karena di sanalah Semaoen dan Darsono paling berperan.

Dalam buku Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997), Takashi Shiraishi menulis bahwa Salim memang satu-satunya intelektual CSI yang dapat menandingi Semaoen dan kawan-kawan. Abikoesno dan yang lain, menurut dia, cuma pelayan Tjokroaminoto. Lagi pula, menurut Shiraishi, yang meneliti pergerakan kemerdekaan di Hindia Belanda, hanya Salim pemimpin CSI yang disukai Belanda kala itu. Snouck Hurgronje, penasihat untuk urusan bumiputra, adalah bekas gurunya. Sebagai aktivis SI, pada 1917-1919, Salim bekerja sebagai anggota staf di Volkslectuur (Balai Pustaka) yang dipimpin Dr Rinkes. Belakangan, Rinkes menggantikan Hurgronje sebagai penasihat urusan bumiputra. Salim juga memiliki akses ke beberapa pejabat Hindia lain.

Begitu masuk jajaran pengurus, Salim memunculkan isu disiplin partai. Selain "menjaga" Tjokroaminoto, Salim hendak memperkuat nilai Islam dalam SI. Dia kemudian menyusun Keterangan Asas (Beginsel Verklaring) bagi SI. Seturut asas itu, SI berkeyakinan bahwa yang dimaksudkan dengan kemerdekaan adalah lepasnya rakyat Hindia dari segala bentuk perhambaan, "dengan jalan kemerdekaan yang berasaskan keislaman". Asas ini disahkan dalam Kongres CSI pada 1921.

l l l

SETELAH urusan dengan "SI Merah"—Semaoen, Darsono, dan kawan-kawan—selesai, posisi Salim di SI makin kuat. Dia kian "disayang" oleh Tjokroaminoto. Keduanya malah sering disebut sebagai dwitunggal Sarekat Islam. Manakala masa kerja Tjokroaminoto di Volksraad berakhir pada 1921, pemerintah Hindia menunjuk Salim menggantikannya. Ada cerita lucu yang dikisahkan Violet Hanifah, anak ketiga Salim, tentang kedekatan dua tokoh SI itu. Pada 1927, Salim hendak mengikuti kongres Muktamarul Alami Islamy Farulhim bil Syarqiyyah di Mekah. Rencananya, dia naik kapal laut dari Jakarta. Kongsi Tiga nama kapal itu. Tapi, hingga kapal hendak berangkat, Salim masih di Surabaya mengurus paspor. Mengetahui itu, Tjokroaminoto mengirim telegram kepada perwakilan Kongsi Tiga di Jakarta. Isinya: jika kapal berangkat tanpa Haji Agus Salim, tahun berikutnya tidak akan ada calon haji naik kapal Kongsi Tiga.

Dua hari mereka menunggu Salim. Ketika dia akhirnya naik kapal, diadakanlah penyambutan meriah. Salim bingung. Dia lalu bertanya kepada kapten, kenapa disambut meriah. "Bukankah saya hanya orang biasa?" ujarnya. Kapten menjawab ketus, "Kapal ini tidak akan menunda keberangkatan selama 2 x 24 jam hanya untuk menunggu orang biasa!"

Solichin Salam, ketika itu wartawan, dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, mengatakan Salim dan Tjokroaminoto tak pernah berselisih pendapat. Mereka sangat akur dalam bekerja sama. Salim, menurut dia, menyarikan dan merumuskan gagasan-gagasan Tjokroaminoto dalam bentuk yang sistematis, untuk kemudian disampaikan ke publik. "Hanya terhadap Tjokroaminotolah Salim mau mengalah," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus