Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada April 1945, Perang Dunia II hampir sampai di pengujung. Tokyo hancur lebur setelah dibombardir Sekutu pada 10 Maret. Jepang membalas dengan mengirim hampir 1.500 pilot kamikaze, yang berhasil menenggelamkan 21 kapal perang Amerika Serikat di Okinawa. Tapi serangan pada 6 April itu memperlemah kekuatan Jepang. Di Eropa, kekuatan fasis sudah porak-poranda. Italia bertekuk lutut pada 9 April. Austria diduduki Sekutu empat hari kemudian. Pada 30 April, pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler, bunuh diri bersama Eva Braun, perempuan yang baru sehari dinikahinya.
Tepat di hari pernikahan Hitler, saat Kaisar Hirohito berulang tahun ke-44, pemerintah penjajahan Jepang di Indonesia membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pembentukan lembaga yang dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Cosakai ini merupakan upaya Jepang untuk merangkul dukungan dari bangsa Indonesia. Mereka tahu tak lama lagi Sekutu akan datang ke Nusantara, dan mereka perlu dukungan dari bangsa Indonesia untuk menahannya.
Enam puluh tujuh anggota BPUPKI, termasuk Agus Salim, yang mewakili kelompok Islam, baru bersidang sebulan setelah badan itu dibentuk. Badan yang diketuai dokter Radjiman Wedyodiningrat itu bersidang di gedung Tyuuoo Sangi-in, Pejambon, Jakarta—kini masuk kompleks Kementerian Luar Negeri—pada 28 Mei 1945.
Agus Salim yang bertubuh mungil itu duduk di baris ketiga sayap kanan, tepat di samping Oei Tjong Hauw, Ketua Partai Chung Hwa Hui, partai kaum peranakan Tionghoa. Mereka yang berasal dari berbagai golongan itu bahu-membahu membentuk fondasi bagi negara yang akan dibentuk. Dasar negara dan konstitusi harus bisa dirumuskan sebelum Indonesia merdeka.
Dalam sidang pleno pertama BPUPKI—sejak 28 Mei hingga 1 Juni 1945—mereka membahas dasar negara dan batas-batas daerah. Banyak yang menyampaikan pendapat, termasuk Muhammad Yamin dan Mohammad Hatta. Tapi baru di hari terakhir sidang ada titik terang. Pada Jumat, 1 Juni 1945, tepat pukul 09.00, semua anggota BPUPKI telah duduk di kursi masing-masing. Sidang dimulai dengan doa. Lalu Sukarno dipersilakan menuju mimbar. Dia diminta mengemukakan pemikirannya tentang dasar negara.
Seperti biasanya, pidato Sukarno selalu menyihir. "…Saudara-saudara, saya bertanya: apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? ...Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara 'semua buat semua'. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan," begitu kata Sukarno seperti dikutip "Risalah Sidang BPUPKI".
Pidato yang menggetarkan ini kemudian dikukuhkan sebagai momen kelahiran Pancasila. Tapi tak semuanya puas dan setuju. Selama reses satu setengah bulan, kasak-kusuk tentang dasar negara ini tak pernah berhenti. Karena itu, di tengah-tengah masa istirahat, 36 anggotanya—termasuk Agus Salim—bersidang untuk membagi pekerjaan dalam panitia-panitia yang lebih kecil. Kali ini Salim tak lagi duduk nyempil di tengah. Dia ada di ujung meja, dekat Ki Hadjar Dewantara.
Agus Salim masuk panitia sembilan, yang terdiri atas Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, Kiai Abdoelkahar Moezakir, Wachid Hasjim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim. Tim inilah yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi rancangan preambul atau pembukaan Undang-Undang Dasar.
Piagam Jakarta yang disusun cukup alot itu hasil kompromi antara golongan nasionalis dan Islam. Piagam ini ditandatangani pada 22 Juni 1945. Meski disepakati, bagian piagam ini juga mengundang kontroversi. Itu terletak pada tujuh kata yang berbunyi "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Tujuh kata ini juga menjadi perdebatan dalam pembahasan beberapa pasal dalam rancangan Undang-Undang Dasar.
Agus Salim cukup tegas menyampaikan buah pikirannya. "Wajib umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak ada Indonesia merdeka, biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia. Itu adalah satu hak umat Islam yang dipegangnya…," ujar Salim.
Kendati demikian, Agus Salim tak agresif dan tak se-ngotot tokoh Islam lain, seperti Abikoesno dan Abdoelkahar Moezakir. Dalam sidang kedua pada pertengahan Juli 1945, Abdoelkahar bahkan sempat memukul meja. Dalam Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional, dikatakan sikap Salim lebih tenang. Saat terjadi perdebatan seru antara golongan Islam dan nasionalis, dia sering bertindak sebagai penghubung. Ia bersama Sukarno meredakan perdebatan yang panas.
Itulah kenapa dalam sidang tersebut Ketua BPUPKI Radjiman meminta Agus Salim duduk di panitia kecil untuk perancangan hukum dasar. "Saya tunjuk: Tuan-tuan (R. Roeslan) Wongsonagoro, (Mr A.) Soebardjo, Maramis, Soepomo, Soekiman, dan Salim," ujar Radjiman sebelum menutup sidang yang berlangsung hingga sore pada 11 Juli 1945 itu.
Tak hanya duduk di panitia perancang hukum dasar dan panitia sembilan, pria yang pernah memimpin redaksi beberapa surat kabar ini juga duduk sebagai anggota panitia penghalus bahasa dalam rancangan undang-undang. Dia menjalankan tugasnya sebagai penghalus bahasa bersama Soepomo dan Prof Dr P.A.H. Djajadiningrat. Panitia kecil ini juga menata susunan kalimat dalam rancangan undang-undang itu saat terjadi perdebatan redaksional antar-anggota.
Kepiawaian Agus Salim dalam urusan bahasa ini memang tak meragukan. Dia menguasai sembilan bahasa asing, antara lain Belanda, Inggris, Prancis, Arab, Jerman, dan Turki. "Yang paling bagus bahasanya ya Yamin, Hatta, dan Agus Salim. Sudah terang bukan Sukarno, tapi dia memang memukau," ujar sejarawan dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Abdullah, dalam diskusi dengan Tempo beberapa waktu lalu.
BPUPKI dibubarkan pada 17 Agustus 1945 dan perannya dijalankan badan lain, yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia ini beranggotakan 25 orang dengan seorang ketua dan wakil, yakni Sukarno dan Mohammad Hatta. Sebagian anggota PPKI ini adalah anggota BPUPKI, tapi tak ada nama Agus Salim. "Tak jelas mengapa dia (Salim) masuk panitia sembilan, sementara pas di Panitia Persiapan Kemerdekaan enggak kelihatan," ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo