Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEDUNG tua bertugu di halamannya itu dikenal sebagai Wisma Ranggam. Berdiri tak jauh dari Pelabuhan Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung, bangunannya menyerupai penginapan dengan kamar berderet membentuk huruf U. Tokoh-tokoh pergerakan, yakni Sukarno, Mohamad Roem, Ali Sastroamidjojo, dan Agus Salim, pernah ditempatkan di gedung ini sebagai pengasingan.
Agus Salim menempati kamar berplafon tinggi seluas 24 meter persegi. Sejak 14 tahun silam, ruangan itu ditempati penjaga Wisma, Edy Rasyidi, dan istrinya. Edy menganggap ruangan itu paling strategis. "Jika menempati ruangan lain, saya tidak akan tahu pengunjung yang datang," kata Edy, 75 tahun.
Dibangun pada 1827 oleh Bangka Tin Mining, Wisma Ranggam dulunya tempat peristirahatan karyawan perusahaan timah Belanda itu. Raden Affan, warga berusia 79 tahun, menuturkan Salim dibawa ke pulau itu bersama Sukarno menggunakan pesawat amfibi Catalina pada 5 Februari 1949. Mendarat di perairan Pangkal Balam, Pangkal Pinang, Menteri Luar Negeri dan Presiden dibawa ke Muntok menempuh perjalanan hampir empat jam.
Salim banyak menghabiskan waktu menemani Sukarno. Mereka bertemu dengan masyarakat atau menerima tamu dari luar negeri. Mereka juga kerap melakukan rapat dengan beberapa tokoh nasional yang diasingkan pula ke Muntok, seperti Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat Mr Assaat, Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo, dan Komodor Udara S. Suriadarma. Tetamu itu tinggal di tempat terpisah, di pesanggrahan puncak Bukit Menumbing.
Mengendarai mobil BN-1, Bung Karno dan Agus Salim bolak-balik ke pesanggrahan. Rapat semakin sering dilakukan menjelang perundingan Mohamad Roem dan Van Royen. Banyak diplomat asing mondar-mandir ke Wisma Ranggam ikut menggodok konsep perjanjian.
Affan, ketika itu menjelang remaja, sering melihat Salim berjalan kaki seusai salat subuh ditemani Mohamad Roem. "Pak Haji selalu membawa tongkat dan mengenakan jas tebal menghindari dingin," ujarnya. Beberapa kali Salim memberikan ceramah agama atau bertemu dengan ibu-ibu pengajian di Muntok.
Menurut Affan, Salim sempat didampingi anak perempuannya. Orang-orang di sekitar Wisma menyapanya Adek.
Adek adalah nama panggilan Maria Zenobia, anak keempat Salim. Siti Asiah, adiknya, menuturkan Adek didatangkan ke Bangka untuk mengurus ayahnya yang sakit. Dari sang kakak, keluarga memperoleh kabar: kehidupan Agus Salim di Muntok tak seburuk yang mereka bayangkan. "Orang Bangka baik sekali," ujar perempuan yang akrab disapa Bibsy ini.
Selain ke Muntok, Salim dibuang ke Berastagi dan Parapat, Sumatera Utara. Pembuangan ini dilakukan setelah serangan militer Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Pemerintah Belanda, yang menduduki ibu kota Indonesia itu, menangkap sejumlah tokoh penting, termasuk Agus Salim. Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis Cindy Adams, Sukarno menuturkan perjalanan ke tempat pembuangan, empat hari setelah agresi.
Ketika pesawat B-25 Mitchell yang membawa mereka mengudara, tak satu pun tahu tujuannya. Penerbangnya baru memberitahukan tujuan pesawat setelah membuka surat perintah di dalam tasnya. Mohammad Hatta, Assaat, dan Pringgodigdo diturunkan ke Pulau Bangka. Sukarno, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim ditawan di rumah berhalaman luas di lereng bukit kawasan Berastagi
Rumah di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Tanah Karo, itu masih kokoh berdiri. Bangunan ini memiliki tiga kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu ruang makan. "Dulu kamarnya hanya dua," kata Sumpeno, pegawai negeri Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang bertugas menjaga rumah itu sejak 2009. Salim berbagi kamar dengan Sjahrir. Adapun Sukarno menempati kamar sendiri di area ruang makan.
Di dinding ruang tamu dipajang dua foto hitam-putih. Satu foto menampilkan Salim berkopiah dan berkacamata menggenggam tongkat, Sjahrir di tengah, lalu Sukarno. Di foto lain, seorang tentara Belanda memegang senjata laras panjang tampak di latar rumah. Sampe Sinaga, pengurus pesanggrahan itu pada 1985-2009, yakin kedua foto tersebut diambil di rumah pengasingan Berastagi.
Kedua foto merupakan hasil reproduksi Sem Anthonius Meliala. Foto aslinya, kata Sinaga, berada di tangan seorang warga Belanda. Pada 2001, foto dipinjamkan kepada Sampe untuk dicetak ulang. Ayah Sampe, J. Sinaga, adalah koki yang dipekerjakan Belanda untuk ketiga tokoh di rumah pengasingan.
Mengutip cerita ayahnya, Sampe mengatakan penjagaan di rumah itu amat ketat selama Sukarno, Salim, dan Sjahrir tinggal di situ. "Tidak ada yang boleh berbicara dengan mereka," ujarnya. Mereka juga dilarang keluar dari rumah yang dipagari kawat berduri itu.
Ketatnya penjagaan selama di Berastagi juga diungkapkan Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. "Kami berada di dalam lingkungan kawat berduri dua lapis dan antara rumah kami dengan kawat berduri enam orang pakai senapan mondar-mandir secara bersambung," katanya. Pada 1 Januari 1949, Belanda memindahkan mereka ke Parapat, di pinggir Danau Toba.
Rumah baru tempat penawanan itu indah dan cantik. Ketiga tokoh tetap tak bisa ke mana-mana. "Rumah kami letaknya di ketinggian di ujung semenanjung di atas tebing yang curam menghadap ke danau. Sangat indah pemandangan itu. Pun sukar untuk dimasuki," Sukarno bercerita dalam otobiografinya.
Dalam buku yang ditulis Untung S., Mengikuti Jejak H. Agus Salim dalam Tiga Zaman, ketika ketiganya tinggal di Parapat, sekelompok gerilyawan Sumatera Utara berniat membebaskan mereka. Lewat seorang pelayan bernama Ludin, yang tiap pagi berbelanja ke pasar, rencana itu disampaikan para gerilyawan.
Rencana itu gagal. Pada malam yang direncanakan, Bung Karno memberi tahu Salim agar memasang pelita di jendela, tanda bahwa penjagaan amat ketat. Ternyata peringatan yang dipasang Salim terlambat diketahui gerilyawan. Dengan sebuah perahu, mereka tetap menyusup mendekati pagar berduri. Begitu mendekati pantai, mereka disambut tembakan. Hanya beberapa gerilyawan selamat.
Di Parapat pula muncul perselisihan antara Sjahrir dan Sukarno. Sukarno dan Salim kemudian dipindahkan ke Muntok, berkumpul dengan tokoh-tokoh yang sudah lebih dulu ditawan di sana. Sjahrir, yang ikut di pesawat, tak ikut turun. "Dia melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta," ujar Affan, yang juga dikenal sebagai sejarawan Bangka.
Berawal dari perundingan antara Mohamad Roem dan Van Royen yang ditandatangani di Jakarta pada 7 Mei 1949, Bangka akhirnya menjadi persinggahan terakhir Agus Salim dan semua tokoh yang ditawan. Pada 6 Juli 1949, mereka dibebaskan dan meninggalkan Bangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo