Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, rapat bos-bos Pembela Tanah Air di sebuah ruangan Boei Gyugun Shidobu atau Goikutai, markas Peta di Bogor, buntu. Para petinggi organisasi militer bikinan Jepang awal Oktober 1943 itu kelimpungan mencari padanan berbagai istilah kemiliteran untuk bekal latihan ratusan serdadunya.
Yang membikin kepala mereka pening adalah mencari pengganti kata untuk "meriam". Saat itulah lelaki ceking berkopiah, Agus Salim, datang bak dewa penolong. Dengan gayanya yang khas, Salim—ketika itu berusia 59 tahun—tiba-tiba nyeletuk, "Bagaimana kalau disebut kodok? Kan, bentuk meriam mirip kodok?"
Tak disangka, celetukan iseng itu tidak cuma memantik tawa para pembesar Peta. Mereka menganggap ide usil Salim brilian. Salim pun kemudian didapuk membuat kamus istilah kemiliteran untuk tentara. Misalnya istilah untuk komando, pelatuk, sikap tubuh, serta taktik militer kesatuan kecil. Namun proses pembuatan kamus tersebut tak berjalan mulus.
Menurut petugas Museum Peta di Bogor, Letnan Satu CAJ Suroso, Salim sempat kesulitan meracik kamus yang diminta kubu Jepang. Pasalnya, Salim hanya menguasai bahasa Jepang secara pasif—berbeda dengan bahasa Inggris, Belanda, dan Arab, yang fasih dilafalkan lelaki asal Minangkabau itu.
Salim akhirnya meminta bantuan Surowijono, yang kelak jadi besannya. Salah satu putri Surowijono menikah dengan putra keenam Salim, Islam Basari, yang sempat bergabung di Peta dan menjadi instruktur akademi militer Tangerang. Untuk proyek ini, Salim juga dibantu Sutan Perang Bustami—karibnya sejak di Sarekat Islam—Sukendar, dan Islam.
Komposisi tim yang andal membuat proses kreatif menciptakan berbagai istilah kemiliteran berlangsung singkat. Bukan hanya bermacam peraturan ketentuan yang dapat diterjemahkan Salim cs, melainkan juga tata tertib, aneka aba-aba, perlengkapan, serta berbagai ketentuan operasi militer yang berguna dalam sejarah ketentaraan Indonesia.
Sayang, kamus sumbangsih Salim itu lenyap tak berjejak. Tak satu pun bekas tentara Peta menyimpan kamus kemiliteran tersebut. "Banyak yang bilang pernah melihat buku itu, tapi tak tahu ada di mana," kata Bibsy Soenharjo, 84 tahun, putri Agus Salim. Juga Museum Peta di Bogor, sampai kini, tak menyimpan kitab bikinan Salim. Suroso menduga kamus itu dibumihanguskan Jepang sebelum hengkang dari Indonesia.
Selain menjadi penerjemah para calon opsir, Salim berstatus penasihat di Peta. Posisi itu didapat Salim karena, di kompleks Oka Dai 1602 Butai, ia sangat dihormati. Bahkan, kata Bibsy, oleh para petinggi Peta asal Jepang, Salim dipanggil erai hito atau orang terpandang. Termasuk oleh Kepala Kantor Pusat Peta, yang bekas guru di negara asalnya, Hajime Yamasaki.
Sejumlah literatur menyebutkan hubungan Yamasaki dan Salim cukup dekat. Keduanya bahkan tinggal serumah di kompleks Oka Dai 1602 Butai, bersama istri dan dua anak Salim. Kedekatan hubungan keduanya juga kentara saat Jepang menyerah kepada Sekutu, 14 Agustus 1945. Sesuai dengan semangat bushido, Yamasaki ketika itu sudah ancang-ancang untuk melakukan harakiri. Namun rencana itu digagalkan Salim. Dengan bahasa isyarat, serta campuran potongan bahasa Jepang dan Indonesia, Salim meyakinkan Yamasaki bahwa harakiri adalah tindakan pengecut. Yamasaki terbujuk. Ia pun urung mengakhiri hidupnya, lalu kembali mengajar di negara asalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo