Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH sepekan ini, nama Khalid Abu Bakar bertengger di daftar orang yang sedang dicari Detasemen Khusus 88 Antiteror. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Machfud Arifin menuturkan Khalid disinyalir merupakan penyebar ideologi sekaligus guru yang mengajarkan paham radikal kepada Jamaah Ansharud Daulah (JAD) Surabaya, yang terafiliasi dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi menduga JAD Surabaya pimpinan Dita Oepriarto merupakan dalang di balik serangkaian teror di ibu kota Jawa Timur itu. Dita serta istri dan empat anaknya meledakkan diri di tiga gereja, Ahad pagi pekan lalu. Malam harinya, sebuah bom meledak di kamar milik Anton Ferdiantono di Rumah Susun Wonocolo, Sidoarjo. Keesokan harinya, Tri Murtono bersama istri dan tiga anaknya meledakkan diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Ketiga orang ini dicurigai ikut dalam pengajian Khalid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khalid sebenarnya sudah pernah masuk radar aparat. Pada 2017, dia mencoba menyeberang ke Suriah. "Dia mencoba masuk ke Suriah, tapi ditangkap di Turki," kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian. Menurut Tito, ada setidaknya 15 orang yang ketika itu mencoba masuk ke Suriah bersama Khalid.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengatakan, setiba di Indonesia, Khalid dan rombongannya singgah di panti sosial di Bambu Apus, Jakarta Timur. Di tempat inilah BNPT memonitor para deportee. "Di situ, Khalid dibina selama sebulan sebelum dikembalikan ke kampung halamannya," ujar Suhardi.
Kepolisian mencatat, sampai pertengahan 2017, ada lebih dari 1.100 warga negara Indonesia yang pernah ke Suriah. Sebagian besar di antaranya mendukung gerakan Daulah Islamiyah, nama lain ISIS. Hingga kini, 500 orang masih di sana, 103 di antaranya meninggal, dan sisanya dideportasi atau memutuskan kembali ke Tanah Air.
Suhardi Alius mengakui tak mudah mengajak bekas calon jihadis itu mengikuti program deradikalisasi. Alasannya, mereka masih memiliki semangat tempur yang tinggi. Selain itu, memaksakan mengikuti program deradikalisasi bisa dianggap melanggar hak asasi.
Untuk mengawasi para narapidana teroris yang bebas, deportee, atau mereka yang kembali ke kampung halaman, BNPT menggandeng Kementerian Dalam Negeri. Sebab, lembaga itu memiliki tenaga hingga ke tingkat rukun tetangga. "Personel kami kurang, maka kami minta lembaga lain ikut mengawasi."
Direktur Kewaspadaan Nasional Kementerian Dalam Negeri, Akbar Ali, mengatakan ada beberapa poin kerja sama dengan BNPT. Misalnya, BNPT bisa memanfaatkan data kependudukan untuk pengawasan di bidang intelijen dan penanganan tindak pidana terorisme. Selain itu, BNPT bisa meminta tolong Kementerian Dalam Negeri agar mengerahkan aparatnya di daerah untuk mengawasi pergerakan para bekas narapidana teroris, deportee, serta mereka yang baru kembali dari Suriah.
Toh, kerja sama ini baru berjalan sejak nota kesepahaman antara BNPT dan Kementerian Dalam Negeri ditandatangani pada awal Maret lalu. Akbar menolak berkomentar tentang pengawasan lembaganya terhadap Khalid. "Itu melebihi kewenangan saya," katanya. "Yang jelas, kami memang diminta BNPT melakukan pengawasan di daerah. Mungkin memang ada satu-dua yang bisa lolos dari pantauan."
Kepala Polri mengatakan tak mudah mengawasi para terduga teroris. Sebab, mereka bergerak secara sembunyi-sembunyi dan tersamar untuk menghindari pantauan polisi. Tito mencontohkan, polisi sempat memantau pergerakan Dita selama lebih-kurang tiga bulan. "Tapi dianggap biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, terus dilepas," ujarnya.
Menurut Tito, para pelaku teror makin canggih dalam mengecoh polisi. Mereka pun memiliki buku petunjuk yang berisi berbagai tip agar tak terdeteksi. Dalam wawancara dengan majalah Tempo setelah ledakan bom di Kampung Melayu awal tahun lalu, Tito bercerita, para teroris sudah pintar mengecoh anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror yang membuntuti mereka. "Pernah ada anggota yang membuntuti mereka di jalan tol. Tiba-tiba mereka berbelok ke kiri. Petugas tidak mungkin ikut berhenti mendadak," tutur mantan Kepala Detasemen Khusus ini.
Para teroris, kata Tito, juga sudah mengembangkan komunikasi yang lebih tertutup dan susah ditembus. Tujuannya tentu untuk menghindari penyadapan. Salah satu caranya adalah memanfaatkan teknologi terbaru berupa aplikasi percakapan yang terenkripsi. Mereka juga menambahkan aplikasi lain sehingga jejaknya makin sulit terlacak.
Seorang perwira menengah di kepolisian yang mengetahui pola komunikasi teroris menyebutkan pelaku teror di Surabaya berkomunikasi lewat permainan Mobile Legends. Ini adalah permainan adu strategi yang menggunakan telepon seluler. Permainan bergenre multiplayer online battle arena ini memang sedang digandrungi. Sumber itu juga mengatakan jaringan Dita ditengarai berkomunikasi lewat permainan Dota yang dijalankan dengan komputer.
Kedua permainan virtual tersebut memang menyediakan fasilitas percakapan antarpemain. Tidak hanya dalam bentuk percakapan tertulis, obrolan di dalam Mobile Legends dan Dota juga bisa langsung menggunakan suara. Sumber yang sama menuturkan jaringan Surabaya diduga pernah menghubungi ISIS pusat di Suriah menggunakan fasilitas tersebut.
Pola komunikasi antarteroris menggunakan game bukan hal baru. Pada medio 2015, milisi ISIS menyerang stadion nasional Prancis yang sedang menggelar pertandingan persahabatan Prancis-Jerman. Sekitar 130 orang tewas dan 350-an luka-luka. Keesokannya, Kepolisian Belgia menangkap empat warga negaranya yang diduga terlibat penyerangan tersebut. Di rumah pelaku, polisi menyita konsol PlayStation 4 yang diduga menjadi alat komunikasi di antara mereka.
Tito mengatakan tidak mengetahui detail perkembangan di lapangan tentang jenis aplikasi percakapan yang digunakan Khalid dan jaringannya. Namun ia mensinyalir serangan di Surabaya merupakan instruksi dari ISIS pusat. "Sebab, ISIS internasional sudah disudutkan pasukan dari Amerika dan Rusia," ujarnya. "Jadi mereka memerintahkan afiliasi mereka di luar negeri agar bergerak."
Menurut Tito, sebenarnya polisi sudah memegang struktur jaringan teroris JAD yang terafiliasi dengan ISIS, termasuk jaringan di Surabaya. Ia mengibaratkan para teroris ini sebagai ikan di dalam akuarium. "Polisi bisa melihat pergerakan dan tahu siapa saja mereka," kata Tito. "Tapi mereka tidak bisa disentuh sebelum berbuat macam-macam."
Syailendra Persada, Linda Trianita, Raymundus Rikang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo