Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANGKAPAN Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri Kayong Utara, Kalimantan Barat, pekan lalu gara-gara komentar miringnya di media sosial soal aksi terorisme adalah tindakan yang berlebihan. Sebagai aparat sipil negara, guru itu memang sepantasnya mendapat sanksi etik dan administratif atas opininya yang tak berdasar. Namun menyeret perempuan berinisial FSA itu ke meja hijau dengan ancaman pidana sama saja memberangus kebebasan berekspresi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di era media sosial seperti sekarang, nyaris tak mungkin mengendalikan komentar dan opini jutaan warganet. Setiap orang bebas berpendapat apa saja, tentang apa saja. Selama ekspresi warga tidak menganjurkan kebencian dan mengajak orang melakukan kekerasan, tidak ada alasan untuk membatasi kebebasan itu. Apalagi menjebloskan pelakunya ke bui.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di akun media sosialnya, FSA menuding aksi pengeboman tiga gereja di Surabaya sebagai rekayasa polisi belaka. Tanpa menyertakan bukti apa pun, dia menuding pengeboman itu bertujuan mencoreng nama Islam, mencairkan dana antiteror triliunan rupiah, dan mengalihkan isu pergantian presiden pada 2019. Pengguna Internet yang rasional bisa mengukur sejauh mana akurasi komentar FSA yang mengada-ada itu.
Polisi seharusnya cukup menangkis kabar kibul yang disebarkan FSA dengan fakta. Dibantu jejaring aktivis media sosial antihoaks, komentar FSA dan semua yang senada dengan dia bisa dimentahkan dengan menyajikan data. Komentar miring dibalas dengan komentar yang meluruskan, begitu seharusnya aturan permainan di arena demokrasi. Melawan opini ngawur dengan penangkapan bagaikan menangkap nyamuk dengan meriam.
Tak bisa dimungkiri, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik memang menyediakan amunisi untuk membidik orang seperti FSA. Pasal 28 ayat 2 aturan itu melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Masalahnya, definisi tindak pidana di pasal itu amat longgar dan rawan dipelintir sesuai dengan kepentingan polisi.
Kegeraman publik membaca berbagai komentar di media sosial yang permisif bahkan mendukung aksi terorisme bisa dipahami. Siapa pun yang memiliki akal sehat dan rasa kemanusiaan pasti tersentuh menyaksikan penderitaan korban aksi terorisme di Markas Komando Brigade Mobil di Kelapa Dua, Depok; di tiga gereja dan markas polisi di Surabaya; serta di markas polisi di Pekanbaru. Namun mengerahkan polisi untuk mengenakan sanksi pidana pada setiap komentar bodoh tak akan menyelesaikan masalah. Bisa-bisa penjara penuh oleh warganet yang nyinyir dan tak bisa mengendalikan jempolnya.
Riuh rendah di media sosial kebanyakan dipicu oleh rendahnya tingkat literasi digital warga. Lompatan teknologi yang cepat tidak dibarengi transformasi perilaku dan cara berpikir. Walhasil, banyak orang masih gagap memilah apa yang boleh dan tak boleh disampaikan di media sosial.
Karena itu, pemerintah seharusnya lebih aktif menggandeng elemen masyarakat sipil untuk mendidik warga agar bijak dan lebih santun berkomunikasi di media sosial. Media arus utama juga seyogianya bekerja lebih keras menyebarkan informasi yang kredibel dan terverifikasi. Tanpa itu, ancaman hoaks akan terus jadi momok yang meresahkan ruang publik kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo