Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan Ham Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan, masyarakat adat kurang dilibatkan dalam pembentukan Rancangan Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana RUU KUHP yang telah disahkan menjadi UU KUHP, terutama soal living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Apakah masyarakat (adat) setuju? Pertanyaannya, memang masyarakat dilibatkan dalam proses perumusan KUHP?," ujar Arman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arman menyatakan seringkali dalam proses hukum yang hadir itu justru dijadikan alat kolonisasi kepada masyarakat adat, dan biasanya hukum yang lahir itu sebagai jalan tengah antara kekuasaan dan pemodal.
"Biasanya ini bertemu ruang kekuasaan dan modal," kata dia.
Menurut Arman, juga peraturan-peraturan yang diskriminatif bagi masyarakat adat itu lahir dari orang yang terpelajar, sehingga, dari situ nantinya menurut Arman masyarakat adat akan hilang suatu saat nanti.
"Dan itu dibangun dari suatu asumsi bahwa suatu saat nanti masyarakat adat itu akan hilang," ujar Arman.
Arman menyebut, ada argumentasi yang sering disampaikan pemerintah, jika mau disebut masyarakat adat, apakah masyarakat adat itu memiliki Peraturan Daerah (Perda) pengakuan dari pemerintah daerah atau tidak. Namun, menurut Arman, konstitusi mengatakan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat adat.
"Yang agak fatal, menurut saya justru di KUHP (baru) ini karena sudah harus diakui dengan Perda, harus diverifikasi," kata dia.
Koordinator Bidang Pembahasan RUU sekaligus Dirjen PP Kemenkum HAM RI, Muhammad Waliyadin menyatakan pemerintah akan membuat strategi baru agar mempercepat identifikasi masyarakat adat.
Hal ini, kata dia adalah kerja besar, sehingga perlu melibatkan pemangku kepentingan yang di dalamnya yaitu masyarakat adat itu sendiri dengan tujuan untuk memberikan data dan informasi kepada pemerintah.
"Termasuk di dalamnya yaitu masyarakat hukum adat sendiri yang memberikan informasi, data, dan sebagainya,"
Waliyadin menyatakan tugas negara memberi pengakuan kepada masyarakat adat dan memberinya validasi atas keberadaanya, sehingga dari situ mudah bagi negara untuk memberi kebijakan yang nantinya akan berkontribusi baik kepada masyarakat hukum adat.
"Kalau gitu kita bisa petakan masyarakat Indonesia itu atau bangsa Indonesia itu, bisa jadi masyarakat yang pluratistik, kemudian ada masyarakat yang cukup kental itu, yang kita kenal namanya masyarakat hukum adat," ujar Waliyadin.
Menurut dia hukum adat itu secara geografi lebih mengarah ke daerah setempat sehingga dari situ diputuskan bahwaa turannya lebih dekat ke Peraturan daerah (Perda). "Instrumen hukumnya itu adalah peraturan daerah," papar dia.
MOCHAMAD FIRLY FAJRIAN