Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Amarah di Sarang Wanra

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOBIL yang kami tumpangi berusaha menepi ketika mendadak sontak seorang pria bertubuh kurus berteriak-teriak. ”Stop, stop, setoop...,” katanya seraya menghampiri. ”Turun, turun…,” terdengar perintah seorang lainnya dengan nada galak. Ia membawa handy talkie. Matanya melotot tajam ke arah kami. Giginya terdengar bergemeretak. Sembari menuding-nuding, ia memamerkan amarah.

Pria ini mengenakan jaket hitam. Dari balik jaket, tersembul seragam hansip. Entah karena saya kian menyelidik, matanya makin melotot pula. Terus terang nyali kami ciut juga. Jangan-jangan dia Komandan Perlawanan Rakyat atau Wanra di sini. Mereka merupakan orang-orang sipil yang berhimpun—bahkan punya senjata rakitan dan amunisi—untuk siap tempur melawan GAM.

”Apa maksud kedatanganmu ke sini?” tanya mereka. Kami cuma semeter di mukanya. Ia seperti orang yang tengah dilanda angkara murka. Sedikit takut-takut, saya lalu memperkenalkan diri. Hari itu, Senin dua pekan lalu, saya berniat masuk ke Desa Blang Jorong, hendak meliput apel siaga ribuan sipil bersenjata yang katanya akan digelar secara besar-besaran. Apel ini bagian dari persiapan warga di Kecamatan Bandar, Kabupaten Aceh Tengah, untuk menghadapi pasukan GAM yang kini sedang genting berperang dengan TNI.

Setelah melihat kartu identitas saya, ekspresi pria itu berubah total. Ia lalu meminta saya masuk ke pos. Namanya Khalid, orang Aceh asli. Ia mengaku menaruh dendam terhadap GAM. ”Sebab, pasukan gerakan itu terus-terusan merusak tanah Gayo,” katanya. Khalid adalah pimpinan lapangan Wanra di Desa Sidodadi, yang bersebelahan dengan Desa Blang Jorong. Mereka dikenal punya keberanian ekstra menghadapi GAM. Warga di sini, katanya, pernah sukses memukul mundur pasukan yang ingin memerdekakan Aceh itu. Perlawanan seperti ini tumbuh subur di lima kecamatan Aceh Tengah.

Sejak meletus perang antara TNI dan GAM, anggota Wanra siaga saban hari. Di Desa Sidodadi itu terlihat banyak pos jaga. Pos-pos itu menjamur di sepanjang jalan, mulai dari pintu masuk desa sampai perbatasan desa berikutnya. Di depan pos pertama—pos pintu masuk desa ini—mereka memasang barikade dari pohon kelapa. Jumlah polisi tidur—badan jalan yang ditinggikan—diperbanyak untuk menghambat laju kendaraan. Mobil kami menepi setelah susah payah melewati gundukan besar di depan pos pertama itu.

Pos penjagaan berupa sebuah rumah tenda mirip lapak. Di situ terdapat sejumlah penjaga pos yang ikut mendengarkan pembicaraan saya dengan bos mereka. Sejenak Khalid terlihat sibuk berbicara dengan sejumlah orang via handy talkie itu. Lalu, ”Kami tidak menginginkan Anda masuk,” katanya. Ia juga menambahkan bahwa di Desa Blang Jorong tidak ada apel siaga. Walau tak percaya dengan keterangannya itu, tak ada pilihan lain bagi saya. Saya putuskan menetap di pos jaga itu.

Selain Khalid, banyak juga anggota Wanra yang memegang handy talkie itu. Menurut sejumlah orang di sana, alat komunikasi sudah menjamur di berbagai tempat di Aceh Tengah. Karena tak boleh ke Blang Jorong, kami lalu saling bercerita di pos itu. Beberapa anggota Wanra tampak menyimak pembicaraan ini.

Warga Desa Sidodadi menyimpan dendam terhadap GAM. Sebab, tahun lalu puluhan anggota GAM membumihanguskan sejumlah rumah di situ dan membunuh sejumlah warga. Aparat keamanan tak berdaya sama sekali karena jumlahnya tak seberapa. Akhirnya, warga sipillah yang melawan. ”Daripada tewas tanpa berbuat apa-apa, lebih baik mati melawan,” ujar Khalid, menirukan tekad warga desa.

Warga lalu membentuk organisasi. Semula bernama Komando Jihad, yang belakangan berganti nama menjadi Wanra. Hampir semua warga membekali diri dengan aneka jenis senjata, mulai dari pisau tajam hingga senjata api rakitan. Aktivitas mempersenjatai diri itu pernah dilarang oleh penguasa di Aceh. Sebagian senjata di sini pernah dimusnahkan aparat. ”Tetapi bukan berarti habis, karena beberapa warga bisa kembali membuatnya,” kata Khalid.

Seluruh warga menjaga wilayahnya masing-masing. Hampir tiap malam ratusan pemuda berkumpul di dalam pos jaga. Makanan akan disediakan oleh penduduk. ”Siapa pun orang asing yang ’mengetuk’ desa di atas pukul 20.00, kalau tidak jelas, kami bantai,” Khalid menjelaskan. Instruksi ini telah disebarkan di seluruh desa di Kecamatan Bandar.

Ia mengaku bahwa aparat keamanan kerap memberikan instruksi soal pengaman desa. Koordinasi dengan petugas oke-oke saja. Apel siaga juga kerap digelar. ”Tapi kami tidak pernah dipersenjatai oleh aparat,” Khalid menegaskan. Gerakan sipil yang bangkit melawan GAM ini, katanya, terjadi secara alami. ”Aparat keamanan tinggal memolesnya,” kata Khalid.

Cahyo Junaedy (Aceh Tengah)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus