Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA datang berbondong-bondong dengan puluhan truk dan kendaraan bak terbuka dari berbagai desa. Kepala mereka diikat dengan kain merah-putih. Berpuluh spanduk dibentangkan. Isinya mendukung masuknya kawasan mereka ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia—istilah yang kerap dipakai aparat militer dengan singkatan NKRI. Sejumlah orang tampak memegang handy talkie mengatur ribuan orang yang memadati lapangan Gelanggang Musara Alun, Takengon, Aceh Tengah, Kamis pekan lalu.
Apel kesetiaan, begitulah permakluman acara kumpul-kumpul yang kini dirutinkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam itu. Seusai upacara, beberapa pemuda berseragam biru tua membakari bendera merah-hitam dan simbol bintang milik Gerakan Aceh Merdeka. Di belakang baju mereka tertulis ”Wanra 2003” dengan gambar sayap membentang. Wanra dimaksud singkatan dari perlawanan rakyat. Sekelompok pemuda bagian dari rombongan massa itu membawa bambu runcing. Mereka memakai kaus. Tampak pada bagian depan bendera merah-putih kecil dan simbol sebuah baret dengan tulisan di bawahnya: Batalion Infanteri Lintas Udara (Yonif Linud) 431.
Ikrar serupa berkumandang sampai ke Sigli, Pidie. Pada saat bersamaan, Kamis pekan lalu, bendera merah-putih ditancapkan di mana-mana. Lagu-lagu perjuangan terus berkumandang. Ikrar kesetiaan dimaksudkan sebagai simbol: rakyat Tanah Rencong masih ingin bersatu dalam Republik Indonesia. ”Substansi apel ini adalah munculnya pengakuan yang sebenar-benarnya dari lubuk hati bahwa kami merupakan bagian dari NKRI,” kata Bupati Aceh Tengah, Mustafa M. Tamy, kepada massa.
Tafsir lain terhadap ikrar serentak itu bermunculan. Menurut Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, apel unjuk kekuatan semacam itu adalah bentuk dukungan rakyat Aceh kepada TNI untuk melawan GAM. Ada pula yang malah minta dipersenjatai guna memerangi gerakan yang bercita-cita memerdekakan Aceh itu secara fisik. Rabu dua pekan lalu, lima wakil masyarakat dari lima kabupaten, Aceh Tengah, Gayo Luwes, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Tamiang, bertemu dengan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil di Jakarta. Mereka minta senjata untuk bertempur.
Tanpa diminta pun, senjata sudah banyak beredar di lima kabupaten itu. Ada yang rakitan sendiri atau senjata organik milik TNI. Begitu juga pelurunya. Madin, 37 tahun, warga Desa Pondok Baru, Takengon, mengaku membuat sendiri senjata rakitan miliknya. Larasnya dari pipa sepeda. Amunisinya dari bahan pemantik korek api untuk membakar. ”Namun, karena amunisinya kurang punya daya bunuh, aparat keamanan menyediakan peluru asli,” kata ayah dari dua orang anak itu.
Senjata rakitan? Sipil bersenjata, rakyat melawan, atau inikah ”milisi” yang sengaja dibikin untuk menumpas GAM? Menurut Komandan Distrik Militer Aceh Tengah, Letnan Kolonel Amrin, rakyat mulai bersenjata melawan GAM karena mereka diganggu. Kisahnya bermula pada pertengahan tahun 2001, saat sekelompok orang bersenjata memasuki wilayah Aceh Tengah. Rupanya mereka GAM dari Aceh Utara dan Timur yang terdesak TNI. Warga yang ndilalah kebanyakan pendatang dari Pulau Jawa itu merasa terancam. Mereka lalu menggunakan berbagai senjata untuk menghadang.
Belakangan aparat mendukung gerakan perlawanan bersenjata rakitan itu. Lumayan, bisa jadi bala bantuan menghadapi pasukan GAM. ”Sehingga ikatan antara sipil dan militer semakin kuat,” kata Letkol Amrin kepada TEMPO (lihat ”Kekuatan ini Muncul karena Tuntutan Keadaan”).
Tak aneh kalau di sepanjang jalan antara Bireuen dan Takengon, yang berjarak 102 kilometer, saat memasuki wilayah Aceh Tengah di kilometer 33, banyak dijumpai pos jaga sipil. Bangunannya menyerupai pos militer. Barikade tumpukan pasir dalam kantong plastik atau dinding kayu tebal yang memagari pos jamak terlihat. ”Banyak pos jaga warga yang dibangun bersama antarwarga dengan bantuan TNI,” ujar Letkol Amrin, yang sudah dua tahun bertugas di Takengon (lihat Amarah di Sarang Wanra).
Di Kecamatan Bandar, dari persimpangan Desa Teritit terpampang spanduk besar bertulisan ”Kami Tetap Setia pada NKRI.” Spanduk ditulis dalam dua warna, merah dan putih, menyerupai bendera nasional. Jargon kesetiaan itu terbentang teratur hingga ke pintu gerbang kecamatan, tempat pos kesatuan Yonif 431. Dua puluh lima meter dari markas TNI-AD itu terdapat pos jaga sipil. Pos mirip lapak kaki lima ini punya berikade khusus berupa batu pasir dalam kantong pasir besar tersusun rapi. ”Setiap malam tidak kurang dari 100 orang berjaga di pos ini,” kata Khalid, 34 tahun, salah seorang komandan lapangan.
Di Desa Teritit, hampir setiap rumah mengibarkan bendera merah-putih—bukan lagi kalau ada kontes parade bendera atau saat menyambut datangnya pejabat penting dari Jakarta. Tak hanya bendera, di atas hampir semua rumah warga terdapat papan kecil yang dicat seperti bendera merah-putih. ”Kami bangga menjadi bagian Indonesia,” ujar Ahmadi, 45 tahun, salah seorang penduduk.
Desa Teririt termasuk salah satu desa ”pemasok” milisi binaan TNI. Selain melawan kalau diserang GAM, tugasnya ikut apel kesetiaan, menyambut pemimpin TNI, atau menjalankan agenda yang sudah ditentukan ”komandan-komandan” mereka. Azhari, seorang milisi dari Desa Bandar Klipah, mengaku selama setahun tugasnya membantu aparat berkeliling untuk berpatroli di sekitar desa. Ia berperan sebagai penunjuk jalan bagi aparat keamanan. ”Kadang-kadang saya boleh memegang dan membawa senjata milik aparat keamanan, misalnya M-16 dan AK-47,” katanya bangga.
Kritik datang dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Jakarta. Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, jumlah warga sipil yang direkrut menjadi milisi di Aceh cukup besar. Selain di Aceh Tengah, pelatihan dilakukan di Aceh Timur. Mulanya yang direkrut para pendatang. ”Tapi kini sudah berubah polanya. Penduduk lokal juga direkrut,” kata Usman. Setiap kampung di wilayah itu harus menyediakan 10 orang pemuda untuk dilatih bela diri militer.
Mereka lalu dilatih merakit dan menggunakan senjata api. Juga menembak sasaran dengan senjata beneran. Dari ratusan tenaga yang diseleksi, akhirnya diambil sebagian untuk dijadikan milisi. Fungsinya sebagai mata-mata tentara. Pelatihan dilakukan di posko-posko TNI. ”Awalnya tidak ada pemaksaan, berdalih bela diri militer. Beberapa lama kemudian mulai dipaksakan, sehingga ada yang dilatih lari ke Jakarta,” ujar Usman.
Berdasarkan temuan Kontras di lapangan, milisi ini tak ubahnya tenaga bantuan operasi (TBO) yang direkrut TNI pada masa daerah operasi militer di Aceh. Kini mobilisasinya lebih besar. Praktek ini juga dilakukan TNI di Papua, seperti terungkap dalam kasus Timika. Cara yang sama diterapkan di Timor Timur. ”Mereka ikut langsung membantu TNI/Polri dalam operasi, pakai seragam, tapi tutup muka dan senjatanya sama, SS-1,” kata Usman. Milisi di Aceh juga membantu TNI menyerang masyarakat sipil seperti dalam kasus Pepedang pada tahun 2001 dan penyerangan sebuah pesantren di Kecamatan Timanggajah. ”Ada yang selamat dan menyaksikan bahwa yang membunuh itu anggota milisi,” ujar Usman.
Kontras juga mendapat informasi tak sedap ihwal gerakan milisi di Aceh. Mereka diduga kuat terlibat peristiwa penyerbuan kantor Joint Security Committee di Takengon tempo hari. ”Aksi ini diprovokasi oleh milisi. Berdasarkan temuan kami, ada beberapa ratus orang yang terlibat,” kata Ori Rachman, anggota Tim Ad Hoc Pemantau Operasi Militer Aceh. Ketua Tim Pemantau Operasi Militer Aceh dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, M.M. Billah, menyebutkan ada kelompok penduduk sipil yang dilatih, bersenjata rakitan, untuk mengamankan desanya. ”Mereka dilatih oleh tentara. Milisi namanya. Namun tentara mengatakan itu sebagai Pam Swakarsa. Tapi basic-nya sama,” kata Billah.
Pemerintah dan tentara berkeberatan dengan sebutan ”milisi”. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono buru-buru mengingatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia agar berhati-hati menggunakan istilah itu. Yudhoyono berdalih, pelatihan masyarakat oleh aparat keamanan itu sesuai dengan konstitusi tentang doktrin pertahanan rakyat semesta. Masyarakat di Aceh Tengah merasa terus diserang GAM, jadi harus membentuk pengaman swakarsa. ”Ini harus dilihat sebagai kewajiban rakyat sesuai dengan sistem dan doktrin yang bersumber dari UUD 1945,” kata Yudhoyono.
Juru bicara Komando Operasi TNI, Letnan Kolonel Ahmad Yani Basuki, juga membantah jika pihaknya dituding melatih milisi di Aceh. Milisi ini bertujuan membantu TNI melawan GAM dan membuat konflik horizontal menjadi konflik vertikal. ”Tidak ada TNI melatih milisi. Yang ada hanyalah perlawanan rakyat terhadap GAM,” kata Letkol Yani.
Ahmad Taufik, Cahyo Junaedy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo