Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Marsito Mertoredjo, Ketua Puja Kesuma Tanah Gayo: ”Satu Peluru untuk Satu Musuh”

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Walau berusia 69 tahun, Marsito Mertoredjo masih bernyali penuh. Suaranya keras, lantang, laiknya para komandan di pertempuran. Awal tahun 2000 lalu, saat sekelompok orang yang disebut-sebut sebagai tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) membakar rumah-rumah warga di sejumlah desa di Ta- kengon, Aceh Tengah, Marsito menggugah warga supaya bangkit melawan. Karena keberaniannya itu, ia didaulat warga duduk di posisi Ketua Organisasi Puja Kesuma Tanah Gayo, yang didirikan bersama puluhan tokoh masyarakat lainnya, setelah penyerbuan GAM itu.

Menurut Marsito, organisasi ini bertujuan menciptakan kedamaian. Ia menggalang Perlawanan Rakyat (Wanra) untuk menghadapi apa yang disebutnya pengacau keamanan. Mereka membekali diri dengan senjata rakitan aneka jenis dan handy talkie untuk berkomunikasi. Peluru tajam diperoleh dari banyak tempat, di antaranya dari Medan, Sumatera Utara.

Berikut petikan Cahyo Junaedy dari TEMPO dengan Marsito di rumahnya di Takengon dua pekan lalu.

Bisa Anda ceritakan awal mula perlawanan sipil di sini?

Perlawanan bermula awal tahun 2000 ketika GAM bergerak ke wilayah Aceh Tengah. Entah kenapa mereka sangat membenci pendatang, mereka lalu membunuh beberapa pendatang. Saat itu pasukan TNI tidak bisa berbuat banyak karena jumlah GAM sangat banyak.

Setelah pembunuhan itu, warga resah. Banyak warga yang datang ke rumah saya dan berkeluh-kesah. Ada juga yang ingin berdiskusi bagaimana mengatasi ancaman GAM itu. Setelah pertemuan-pertemuan kecil, lalu direncanakan pertemuan para tokoh masyarakat dari sembilan kecamatan. Yang hadir saat itu lima kecamatan, yaitu Bukit, Permata, Bandar, Timang Gajah, dan Syah Utama. Saya ditunjuk menjadi ketua.

Bagaimana cara dan bentuk perlawanan yang Anda instruksikan?

Karena saat itu situasinya genting, saya memberi instruksi kepada pemimpin wilayah perlawanan sipil seperti Wanra untuk menjaga keamanan desa. Tidak boleh keluar desa di atas pukul 18.00 WIB. Selain itu, setiap pria harus membawa senjata apa saja. Kalau bisa, buat senjata rakitan. Pos juga harus dibangun di sudut-sudut desa. Siapa pun yang masuk tanpa identitas harus dibunuh. Malahan saya mengeluarkan instruksi untuk memberi hadiah siapa yang dapat membunuh anggota GAM.

Pernah bertempur berhadap-hadapan dengan GAM?

Pertama kali terjadi di Desa Pondok Kresek, Sidodadi, di Kecamatan Bandar, 2 juli 2002. Pasukan GAM berusaha masuk ke desa itu, tapi gagal karena warga di sana melawan. Keberhasilan itu membakar semangat warga lainnya.

Ada perajin khusus pembuat senjata rakitan?

Tidak ada yang khusus. Tapi memang banyak warga yang turun-menurun membuat senjata untuk berburu. Harganya Rp 100 ribu hingga 200 ribu. Bahan dasarnya menggunakan pipa sepeda motor. Hanya, akurasinya belum dapat dipastikan. Walau begitu, senjata ini dapat memompa semangat seluruh warga, dan GAM jadi takut.

Organisasi Anda ini identik dengan milisi. Tanggapan Anda?

Milisi itu adalah militerisasi yang artinya kami diberi senjata, dilatih, dan diberi seragam. Nah, kalau milisi dalam arti seperti itu, tidak ada. Jangankan dikasih senjata otomatis, dimintai peluru saja TNI tidak memberi. Tetapi memang kami sering membantu aparat berpatroli di hutan.

Bagaimana hubungan organisasi Anda ini dengan TNI? Betulkah mendapat latihan dari pasukan Indonesia?

Kami selalu melakukan kontak dengan aparat keamanan. Apalagi sekarang sudah banyak warga sipil mempunyai handy talkie (HT). Hal itu penting karena wilayah di Aceh Tengah cukup rawan.

Siapa yang menyediakan HT itu?

Dibeli dengan cara urunan. Biasanya dikoordinasi oleh pimpinan lapangan dengan meminta sumbangan sekitar Rp 10 ribu setiap warga desa. Saat ini banyak HT yang beredar dan paling banyak di Kecamatan Bandar dan Syah Utama, karena di kecamatan tersebutlah konflik banyak terjadi. Setiap desa memiliki beberapa HT, dipegang oleh pimpinan Wanra dan koordinasinya melalui saya atau aparat.

Sering melakukan kontak dengan GAM lewat HT?

Ya, sering sekali. Kadang kita mengobrol dan meminta mereka menyerah, tapi tidak jarang juga banyak yang memaki kami.

Katanya, Wanra itu asal-usulnya adalah Komando Jihad?

Ya, memang ada Komando Jihad, tetapi saat ini melebur dalam Wanra. Komando Jihad memang cukup menonjol karena sangat berani menentang GAM.

Bagaimana Anda mendapatkan dana?

Saya menerbitkan kartu anggota Puja Kesuma Tanah Gayo. Mereka harus mengeluarkan dana Rp 10 ribu untuk satu kartu. Saya juga mengeluarkan instruksi, hanya anggota yang memiliki kartu yang dapat membuat senjata rakitan, supaya betul-betul teridentifikasi. Data pemilikan senjata ini hanya dimiliki oleh saya, tidak diketahui aparat keamanan.

Dari mana warga mendapatkan peluru?

Ada yang pernah ke Medan dan mendapatkan peluru tajam, asli seperti aparat keamanan. Jumlahnya juga sangat terbatas. Jadi, penggunaannya juga harus efisien. Satu peluru harus membunuh satu musuh.

Sebagai pimpinan, Anda mestinya tahu penjual di Medan itu?

Saya tidak tahu itu.

Harganya?

Persisnya saya tidak tahu, tapi lumayan mahal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus