Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERANG tak hanya terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tentara. Di Takengon, Aceh Tengah, warga yang kebanyakan transmigran mengorganisasi diri dalam wadah perlawanan rakyat atau Wanra. Dengan senjata rakitan, mereka bertempur dengan GAM yang lari ke daerahnya setelah dipukul mundur dari Aceh Timur dan Utara.
Dampaknya mengejutkan. Tercatat ada sekitar 1.000 warga sipil yang tewas dalam pertarungan dahsyat di beberapa desa di Kecamatan Syah Utama, Bandar, dan Timang Gajah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia khawatir jika perang bisa memasuki fase baru: konflik horizontal antar-warga sipil, GAM versus Wanra.
Benarkah aparat keamanan berada di balik lahirnya wadah perlawanan rakyat itu? Berikut penuturan Komandan Kodim Aceh Tengah, Letnan Kolonel Inf. Amrin, kepada Cahyo Djunaedi dari TEMPO, di kantornya di Takengon pada Sabtu pekan lalu.
Bagaimana awal mula kelahiran Perlawanan Rakyat (Wanra)?
Sejak muncul isu referendum, warga di sini tak setuju. Sementara pasukan terbatas dan dibatasi kewenangannya, warga mengorganisasi diri untuk menjaga keamanannya secara mandiri. Saat itu mereka mulai menggelar apel kesiagaan. Kekuatan ini muncul karena tuntutan keadaan.
Benarkah gerakan mereka sebelumnya disebut Komando Jihad?
Ya. Terutama di Kecamatan Bandar, Desa Pondok Baru. Namun, saya lebih condong memberi semangat. Tapi tidak melegalisasi. Kini namanya mereka ganti dengan Wanra. Anggotanya sama.
Wanra juga menggunakan radio komunikasi. Benarkah Anda ikut mengkoordinasi?
Selama ini tidak pernah dikoordinasi. Kami juga baru menghitung kekuatan Wanra itu setelah darurat militer. Radio handy talkie yang mereka pakai juga sedang kami inventarisasi.
Sejauh mana TNI membina kekuatan sipil ini?
Selalu ada pertemuan di tingkat desa, kecamatan, setiap bulan. Pertemuan menggunakan organisasi informal, musyawarah pimpinan kecamatan, tokoh masyarakat, wakil etnis, mungkin termasuk wakil Wanra. Kami mengarahkan mereka, memotivasi semangat kepada mereka. Mana yang menjadi wewenang mereka, mana yang bukan.
Jika terjadi kontak senjata dengan GAM, apakah Wanra memberi tahu aparat?
Ada juga. Beberapa kali mereka terlibat kontak dengan GAM, kami selalu mendapat kabar. Tapi, biasanya, saat kami datang ke lokasi, mereka sudah bertempur terlebih dulu.
Kapan kontak senjata terakhir TNI dengan GAM di sini?
Di Desa Pasir Putih, Syah Utama, pada 2 Juni 2003 lalu. Daerah itu hampir masuk Aceh Timur. Saat kejadian, seorang warga sipil tewas dan beberapa lainnya masuk rumah sakit. Di luar itu memang ada perampokan atau penculikan warga, tetapi tidak besar. Peristiwa paling besar terjadi setelah darurat militer dilaksanakan.
Mengapa wilayah ini akhirnya menjadi ladang pertempuran warga sipil dengan GAM?
Selama Operasi Pemulihan Keamanan, Juni 2001, di Aceh Tengah kekurangan pasukan. Padahal di Aceh Utara dan Timur TNI sedang melakukan gerakan mendesak GAM. GAM yang terjepit lari ke selatan menuju Aceh Tengah. Saat itulah terjadi bentrokan hebat antara GAM dan warga sipil, terutama di Kecamatan Bandar dan Timang Gajah, yang berbatasan dengan Aceh Utara dan Timur.
Berapa korban dari warga sipil selama pertempuran?
Banyak. Karena itu, lahirlah kekuatan perlawanan sipil. Kekuatan semakin mengental saat pasukan TNI berbaur dengan sipil memerangi GAM. Jumlah warga sipil yang tewas selama 2001 hingga 2003 mencapai 1.000 jiwa. Jumlah anggota GAM di sekitar Takengon kini diperkirakan 200 anggota. Personel TNI di Aceh Tengah ada sekitar 1.000, sedangkan polisi 800 personel
Seperti apa kewenangan Wanra yang Anda maksud?
Lapor secepatnya kepada kami (kalau bertemu GAM). Kalau ada anggota keluarganya yang terlibat GAM, kami harapkan dapat menarik mereka. Tetapi memang bisa saja terjadi kewenangan mereka berlebih. Misalnya, ada juga beberapa anggota GAM yang terbunuh dulu oleh masyarakat, baru dilaporkan kepada aparat keamanan.
Benarkah ada permintaan senjata dari warga sipil kepada aparat?
Ada. Beberapa kali, saat petinggi TNI datang ke Kecamatan Bandar, warga langsung mendatangi dan meminta senjata api. Mereka juga mengatakan, kalau aparat memberi senjata, rakyat akan memburu GAM hingga ujung dunia. Tetapi kami tidak mungkin memberi mereka senjata.
Tapi, bukankah aparat juga memberi latihan perang kepada warga sipil?
Kami tidak mau itu terjadi. Kami takut dipelesetkan orang, TNI mengambil keuntungan. Sebenarnya kami bisa melakukannya, apalagi semangat warga sangat tinggi.
Bagaimana Anda mengontrol senjata rakitan mereka?
Tahun lalu kami kumpulkan, jumlahnya mencapai 1.347 pucuk. Seluruhnya kami bakar.
Kabarnya, mereka mendapat peluru dari aparat?
Saya belum tahu soal itu. Kalau ada, pasti saya larang. Itu melanggar hukum. Aparat yang memberi akan kami tindak.
Apakah ada senjata rampasan dari GAM?
Mungkin saja ada. Saat kami mengambil senjata rakitan saja sangat sulit sekali. Warga memang sengaja menyembunyikannya, tidak mau dikumpulkan aparat. Sekarang, saya tak bisa menggaransi warga tidak memiliki senjata rakitan lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo