Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Amien Rais Siap Dibui

21 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Sikap ini diperlihatkan bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais dalam perkara dana nonbujeter yang melibatkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Amien mengaku siap menjalani hukuman penjara lantaran menerima Rp 400 juta dari Rokhmin pada masa kampanye pemilihan presiden tiga tahun silam.

“Kalau kesalahan saya dianggap berat dan memenuhi standar korupsi, kemudian dipenjarakan 10 tahun, misalnya, ya, tidak ada masalah,” ujarnya dalam konferensi pers di Yogyakarta, Selasa pekan lalu.

Akhir tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kasus dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rokhmin didakwa melakukan korupsi dana tersebut sebesar Rp 15 miliar.

Dari persidangan terungkap bahwa sejumlah tim kampanye calon presiden pada Pemilu 2004 juga menerima dana dari Rokhmin. Miliaran rupiah yang lain mengalir ke kantong anggota Dewan Perwakilan Rakyat, partai politik, dan organisasi kemasyarakatan.

Berdasarkan data itu, Amien meminta tokoh politik lain yang menerima dana nonbujeter mengaku secara terbuka. “Saya tidak menantang dan sok pahlawan, tapi mari tegakkan hukum bersama-sama,” katanya.

Pekan Sanksi IPDN

Panen sanksi terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dalam sepekan kemarin. Lembaga pendidikan bagi pegawai negeri itu menghukum sejumlah praja dari berbagai tingkat dalam upacara di Lapangan Parade Kampus IPDN, Jatinangor, Jawa Barat, Senin dan Rabu pekan lalu.

Surat keputusan tentang sanksi tersebut telah diteken I Nyoman Sumaryadi, semasa menjadi rektor, 21 Maret lalu. “Saya nggak tahu ada pertimbangan apa sehingga belum dilaksanakan,” kata Johannis Kaloh, Pelaksana Tugas Rektor IPDN.

Senin pekan lalu, ia menjatuhkan sanksi untuk 33 praja. Lima di antaranya dipecat dengan hormat, sedangkan sisanya turun pangkat. Dua hari berselang, 13 praja lain mendapat giliran. Tiga praja dipecat karena kasus asusila, sedangkan sisanya lantaran meninggalkan kampus lebih dari tujuh hari. “Tindakan ini untuk pekan disiplin. Ke depan juga akan dilakukan untuk kasus lain,” katanya.

Peningkatan disiplin di IPDN terkait erat dengan kasus terbunuhnya Cliff Muntu, seorang madya praja, pada 2 April lalu. Beberapa praja kemudian menjadi tersangka. Ikut dicokok pula beberapa anggota staf pengajar. Dari perkara ini terungkap sejumlah borok lain di IPDN. Di antaranya kasus praja Wahyu Hidayat yang terbunuh pada 2003.

Pontjo Bela Diri

Babak baru pengadilan perkara Pontjo Sutowo--pemilik Hotel Hilton, yang sekarang berubah nama menjadi Hotel Sultan--mulai bergulir. Sebelumnya jaksa membacakan tuntutan, sedangkan kini giliran Pontjo membela diri. Dalam nota pembelaan pribadi yang dibacakannya 15 Mei lalu, Presiden Direktur PT Indobuildco ini mengatakan tak mengerti kenapa sampai menjadi terdakwa korupsi. “Setelah sidang berjalan enam bulan, saya bertanya kepada diri saya, di mana kesalahan saya.”

Jaksa Ali Mukartono menuduh Pontjo memperpanjang hak guna bangunan (HGB) Hotel Hilton pada 2000 tanpa seizin pengelola Gelora Bung Karno sebagai penguasa lahan kawasan Senayan. Pontjo menjaminkan sertifikat HGB itu ke Bangkok Bank cabang Hong Kong senilai US$ 60 juta atau setara dengan Rp 540 miliar. Akibat tindakan tersebut, negara diduga merugi Rp 1,9 triliun.

Maka jaksa yakin Pontjo melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan menuntut hukuman tujuh tahun penjara. Tak cuma itu, jaksa pun menuntut pencabutan HGB atas nama PT Indobuildco. Sebaliknya, Pontjo berdalih posisinya dalam perkara ini hanya pemohon HGB. “Otoritas yang berwenang adalah BPN,” katanya.

Namun jaksa tak mau kalah langkah. Mereka juga menggiring bekas Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta, Robert J. Lumampauw, dan mantan Kepala BPN Jakarta Pusat, Ronny Kusuma Yudistira, ke meja hijau. Keduanya dituntut enam tahun penjara. Bahkan Ali Mazi, yang ketika itu bertindak selaku kuasa hukum PT Indobuildco, ikut diseret ke pengadilan. Dia dituntut tujuh tahun penjara.

Dukungan Amendemen Gembos

Belum sepekan amendemen konstitusi kelima diusulkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, jumlah pendukungnya terus menyusut. Setelah dua pekan lalu pengusul dari Fraksi Partai Demokrat mencabut dukungan, kini giliran pendukung dari Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.

Ihwal surutnya semangat pengusul dari Fraksi Partai Golkar ternyata lantaran terbitnya surat instruksi dari Dewan Pimpinan Pusat Golkar kepada semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Beringin untuk mencabut dukungan atas perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Pada hari yang sama, tindakan serupa dilakukan Dewan Pimpinan Pusat Partai Ka’bah. Alasan kedua fraksi ini seragam: usul amendemen kelima perlu dikaji secara hati-hati. Amendemen ini ditujukan untuk memperluas wewenang legislator dalam memutuskan pola hubungan pusat-daerah, anggaran pendapatan dan belanja, dan lainnya.

Toh, Dewan Perwakilan Daerah, yang menjadi motor amendemen, pantang mundur. “Kami tidak plinplan,” kata Sekretaris Kelompok DPD di MPR, Ichsan Loulembah. Wakil Ketua DPD La Ode Ida berkomentar senada. “Kami prihatin pada sikap penyelenggara negara yang tidak konsisten,” katanya. Adapun Ketua MPR Hidayat Nur Wahid cuma berjanji membahas kelanjutan nasib usul amendemen dalam rapat antarlembaga tinggi negara Selasa pekan ini.

Kasus Tommy Dibuka Lagi

Kejaksaan Agung berjanji membuka kembali sejumlah kasus dugaan korupsi yang melibatkan putra mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra. Penegasan itu disampaikan Jaksa Agung Hendarman Supandji pekan lalu. “Begitu kami mendapat informasi yang kuat, penyidikan akan dimulai,” katanya.

Hutomo alias Tommy Soeharto pernah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi tukar guling Badan Urusan Logistik dan PT Goro Batara Sakti. Untuk kasus itu, pada 2001, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara untuk putra kinasih Keluarga Cendana itu. Tak terima dengan vonis itu, Tommy melarikan diri.

Sedangkan kasus korupsi lain yang diduga melibatkan Tommy, seperti kasus mobil nasional produksi PT Timor Putra Nasional dan kasus monopoli cengkeh oleh Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh, sampai sekarang belum tuntas diselidiki.

Kejaksaan mengaku masih membutuhkan sejumlah data tambahan untuk memperkuat dakwaan. Saat ini Kejaksaan Agung dan Tommy Soeharto berhadap-hadapan di pengadilan Guernsey, Inggris, memperebutkan hak atas dana Rp 432 miliar di rekening Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas.

Ombak Naik di Pesisir Selatan

Warga yang tinggal di pesisir Laut Selatan pada Jumat pekan lalu dilanda panik. Penyebabnya adalah adanya ombak-ombak yang mencapai ketinggian hingga 2-3 meter di sejumlah lokasi. Puluhan rumah di pantai Kwaru, Samas, Pandansimo, dan Parangtritis--semua di Kabupaten Bantul, Yogyakarta--hancur diterjang dan diseret gelombang laut. Peristiwa serupa dilaporkan terjadi di Surabaya, Jawa Timur, dan di Garut, Jawa Barat.

Menurut ketua paguyuban nelayan setempat, Rudjito, tanda-tanda naiknya gelombang laut sudah terasa sepekan terakhir. “Sejak itu, tidak ada nelayan yang berani melaut.” Badan Meteorologi dan Geofisika Yogyakarta memastikan kenaikan gelombang laut itu dipicu oleh musim pancaroba.

“Kecepatan angin di Jawa dan Sumatera meningkat, sehingga gelombang laut naik,” kata Agus Triyanto, anggota staf lembaga tersebut. Efek pemanasan global yang sering dikaitkan dengan kenaikan tinggi permukaan laut tidak disebut-sebut sebagai pemicu gelombang pasang di pesisir selatan Jawa ini.

Gus Dur Menggugat Kalla

Ancaman mantan presiden Abdurrahman Wahid untuk menggugat Wakil Presiden Jusuf Kalla diwujudkan Selasa pekan lalu. Gus Dur, panggilan Abdurrahman, menggugat Kalla ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar membayar Rp 1,1 triliun. “Kasusnya pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan,” kata Ikhsan Abdullah, kuasa hukum Gus Dur.

Gugatan ini bermula dari pernyataan Jusuf Kalla dalam acara pengaderan fungsional mahasiswa yang diadakan Partai Golkar di Cibubur pada 9 April lalu. Ketika itu, Kalla berkata, saat menjabat presiden, Gus Dur pernah meminta sejumlah uang kepada dirinya sebagai Kepala Bulog. Kalla menolak permintaan itu dan akibatnya ia dicopot. “Saya dipecat jadi selamat,” katanya, “kemudian Gus Dur juga dipecat karena kasus Bulog. Satu sama.”

Pada 16 April silam, Gus Dur sudah mensomasi Kalla karena ucapan tersebut. Kemudian ia melaporkan perkara ini ke kepolisian Jakarta. Jusuf Kalla berkilah bahwa ucapannya bukan bermaksud menyinggung Gus Dur. “Yang saya nyatakan itu apa adanya saja,” ujarnya. Namun dia siap menghadapi langkah hukum Gus Dur. Kalla tak merasa perlu bertemu dengan Gus Dur untuk menyelesaikan masalah ini. “Seperti Gus Dur suka bilang, gitu aja kok repot,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus