Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA pun yang terpilih sebagai gubernur baru Jakarta, Agustus mendatang, satu pekerjaan kolosal telah menunggu: menanggulangi banjir. Ini sungguh berat. Terutama lantaran sebagian penyebab banjir tidak berada di wilayah Ibu Kota, tapi di kawasan Puncak, yang masuk wilayah administrasi Bogor dan Jawa Barat.
Tiga banjir besar Jakarta dalam 11 tahun terakhir jelas menunjukkan Puncak sebagai hulu masalah. Kita tahu, tata ruang kawasan itu kacau dan tidak pernah sungguh-sungguh dibenahi. Selama Puncak tetap semrawut, menyelesaikan persoalan di hilir—membuat bendung Ciawi, membangun kanal banjir timur, merapikan bantaran Kali Ciliwung—tidak banyak mengurangi kiriman air bah untuk Jakarta.
Yang harus dicegah adalah susutnya hutan lindung dan kebun teh di Puncak seperti yang terjadi sepuluh tahun terakhir. Sangat disayangkan, yang tumbuh mengganti kehijauan alam adalah vila-vila tempat tetirah kaum berpunya. Makin hari makin rapat saja vila di sana, sampai-sampai menjarah tempat tertinggi, misalnya Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua. Dua desa itu sekarang dikepung lebih dari 600 vila. Jangan kaget: semua vila dibangun di atas tanah negara dan tidak dilengkapi izin mendirikan bangunan.
Sepertinya tak ada yang menghiraukan hukum di atas sana: ratusan bungalow itu tegak di atas lahan yang sama sekali harus bebas dari bangunan. Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999 dan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor yang mengatur tata ruang kawasan itu dianggap mati. Aturan jelas melarang, pembangunan vila jalan kencang, bebas hambatan. Bisa diduga, penegak hukum jeri pada penggede sipil dan militer yang memiliki vila itu, misalnya di Blok Citamiang, Tugu Utara.
Mengurus Puncak tidak bisa dilakukan layaknya mengurus pedagang kaki lima seperti selama ini. Pemerintah daerah setempat acuh tak acuh melihat vila bertumbuh, dan baru bertindak kalau ada banjir besar di Jakarta. Cara kerja seperti ini--yang terjadi pada 1996, 2002, dan Februari lalu--bukan hanya merupakan ancaman serius bagi Jakarta, melainkan juga untuk kawasan yang rawan longsor itu sendiri. Yang lebih mengkhawatirkan, bahkan setelah Wakil Presiden pun memerintahkan pembongkaran vila, pemerintah daerah setempat terkesan kurang sigap.
Ratusan pemilik vila dikirimi surat, diminta membongkar sendiri bangunannya, tanpa tenggat jelas. Sudah barang tentu dengan cara lembek begini tak satu pun pemilik vila merobohkan tempat tetirahnya. Pemerintah Kabupaten Bogor kabarnya siap menghantam rontok 1.162 unit vila. Tapi 21 unit bungalo tahap pertama yang mestinya digusur pekan lalu masih kukuh berdiri. Bahkan Tempo melihat pembangunan bungalow di Tugu Utara jalan terus. Hukum benar-benar ditelikung.
Sebenarnya menertibkan vila liar bukan soal sulit. Aturan hukum terang benderang, sehingga mudah saja menunjuk yang melanggar. Vila-vila liar itu pun tidak “kabur” ke Singapura seperti konglomerat hitam, misalnya. Jadi, kalau mau, tak susah membongkar bangunan yang jelas menyalahi aturan. Soalnya mungkin keberanian untuk bertindak, terutama menghadapi para pemilik bungalow, orang-orang yang pernah punya pengaruh besar di republik ini.
Pemerintah Kabupaten Bogor tidak bisa beranggapan bahwa masalah banjir bukan masalah mereka. Mereka juga tidak boleh menutup mata bahwa sebagian banjir Jakarta adalah akibat kiriman daerahnya. Lagi pula, sebagian penduduk Bogor mencari penghidupan di Jakarta. Kalau tak mau menimbang banjir kiriman, bencana longsor bisa dimasukkan sebagai alasan menertibkan Puncak. Fakta menunjukkan longsor sudah terjadi secara sporadis di sejumlah tempat di Puncak, seperti di Megamendung atau Cisuren, Tugu Utara.
Sebelum longsor makan korban, pembongkaran vila mesti disegerakan. Tidak cukup sampai di situ. Pemerintah harus menghijaukan kembali kawasan itu agar fungsi konservasinya pulih. Ini tidak gampang karena hampir semua vila itu dibangun permanen dengan fondasi yang dalam. Butuh waktu bertahun-tahun serta tenaga dan biaya yang besar untuk menghutankan kembali Puncak. Tak mungkin semua biaya itu dibebankan kepada pemerintah Bogor. Rasanya masuk akal jika pemilik vila juga ikut bertanggung jawab menghijaukan kembali area yang sempat dijarahnya.
Penjarahan kawasan Puncak sudah meminta korban, berupa longsor dan banjir di Jakarta. Biong alias makelar tanah, aparat desa, kecamatan, sampai para pejabat dinas di Kabupaten Bogor yang terlibat perlu diperiksa. Praktek membiarkan pelanggaran, dengan dalih apa pun, merupakan kesalahan yang mestinya mendatangkan sanksi hukum.
Setelah itu, solusi menyeluruh perlu dipikirkan. Siapa tahu konsep megapolitan Jakarta adalah jawabannya. Yang pasti, jika penyelesaiannya parsial, jangan harap Jakarta bebas dari ancaman banjir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo