Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN itu berlangsung panas. Di sebuah rumah di Kemang, Jakarta Selatan, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali didampingi Ketua Majelis Syariah KH Noer Mohammad Iskandar S.Q. berhadap-hadapan dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya, Letnan Jenderal (Purnawirawan) Prabowo Subianto dan sejumlah pimpinan partainya.
Saat itu, Ahad 10 Mei 2009, sepekan menjelang waktu pendaftaran calon presiden berakhir. Kubu Prabowo memang tengah gonjang-ganjing. Renca-na mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu untuk jadi calon RI-1 terancam gagal. Pencalonannya bergantung pada dukungan suara dari Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan belasan partai kecil. Gerindra, yang dalam pemilihan umum legislatif hanya meraup 4,5 persen, tak kuat mengusung Prabowo sendirian.
Dalam rapat itu, para pemimpin teras PPP terus terang mengaku tidak bisa lagi bersama Gerindra. Seorang sumber Tempo bercerita, saat itu Prabowo murka dan langsung mengacungkan telunjuk. Ia menuding Suryadharma Ali pengkhianat. Noer Iskandar mengakui sempat terlontar kata-kata keras dalam rapat, namun dia enggan memerinci lebih detail. ”Kalau Pak Prabowo kecewa, ya wajar,” kata Noer Iskandar, yang dihubungi pekan lalu. Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, malah membantah ada amarah dalam pertemuan tersebut. ”Kok, seperti sinetron saja,” katanya tertawa.
Sejak pertemuan itu PPP pamit mundur dari koalisi penyokong Prabowo dan merapat ke Cikeas. Tanpa dua pendukung utamanya, PAN dan PPP, Prabowo seperti anak ayam kehilangan induk. Partai kecil yang semula dirangkul Prabowo semburat ke segala penjuru: ada yang masuk koalisi Partai Demokrat, ada yang memilih bergabung dengan Golkar.
Dari semula 20 partai, pendukung Prabowo menyusut jadi tinggal tujuh. Mereka lalu dibawa Gerindra berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Jumat dua pekan lalu, sehari sebelum tenggat pendaftaran calon presiden. Hasil yang tak menggembirakan bagi Prabowo: ia harus turun kelas hanya menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri (lihat ”’Fifty-Fifty’ Dua Sejoli”).
SEHARI sebelum pemilihan umum 9 April lalu, koalisi pengusung Prabowo mulai digagas. Ketika itu pemimpin kunci dari 14 partai politik berkumpul di Gedung Bimasena, Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Judul resmi pertemuan itu adalah Forum Silaturahmi Partai Politik Peserta Pemilu 2009. Kepada khalayak ramai, mereka mengaku berkomunikasi untuk menyamakan persepsi mengenai persiapan pemilihan umum serta berbagi tugas mengawasi proses pemungutan dan penghitungan suara keesokan harinya.
Prabowo Subianto jadi bintang malam itu. Ketika rehat rapat, dia tampak sibuk berbincang ke sana-kemari. Di sekelilingnya, tokoh partai lain senantiasa merubung. Menurut Sekretaris Jenderal Partai Merdeka Muslich Z.A., pertemuan semacam itu sudah kedua kalinya diadakan. Motor utamanya, selain Partai Merdeka, adalah Partai Buruh dan Partai Persatuan Daerah.
Meski di atas kertas bicara tentang persiapan pemilihan umum, Sekjen Partai Buruh Sonny Pudjisasono saat itu mengakui ada udang di balik batu. Pertemuan Dharmawangsa, menurut dia, hanya pintu masuk untuk membahas rencana partai-partai untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Dalam rapat selama dua jam malam itu, aspirasi mereka kian mengerucut.
Sumber Tempo yang ikut dalam pertemuan tertutup itu membenarkan. Malam itu, dia menuturkan, Gerindra dan 13 partai lain sebenarnya sudah sepakat bekerja sama. Perkiraan perolehan suara pun mulai dibahas. Namun ada ganjalan. ”Mereka tidak mau menandatangani pernyataan tertulis dukungan resmi ke Prabowo,” kata anggota Dewan Pembina Gerindra, Permadi.
Karena itu, kata Permadi, dia mencurigai ketulusan dukungan partai-partai itu. ”Ada kesan, mereka hanya mengincar siapa yang memberikan tawaran lebih tinggi saja,” katanya. ”Tawaran” yang dimaksud apa lagi kalau bukan soal fulus. ”Dana seperti itu saya kira wajar saja,” kata Permadi datar. Tapi dia mengaku tidak tahu berapa duit yang dikucurkan Prabowo untuk belasan partai gurem itu.
Ketua Umum Partai Buruh, Muchtar Pakpahan, membantah menerima duit Gerindra. ”Kami berkomitmen secara ideologis,” katanya. Ketua Partai Nasionalis Benteng Kerakyatan Indonesia, Erros Djarot, juga membantah. ”Kami tidak dagang sapi,” katanya.
Apa pun alasannya, ketika itu Prabowo sedang di atas angin. PPP dan PAN diam-diam sudah sepakat masuk barisan. Menurut Permadi, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali sendiri yang datang, bersama sejumlah pengurus daerah, menawarkan dukungan. Adapun PAN memberikan komitmen lewat ketua umumnya, Soetrisno Bachir.
RAPAT Pimpinan Nasional PAN di Yogyakarta awal Mei lalu adalah awal rontoknya koalisi penyokong Prabowo. Dalam rapat itu, Soetrisno Bachir tak kuasa membendung tuntutan pengurus-pengurus daerah yang dimotori Ketua Dewan Pertimbangan Partai Amien Rais untuk merapat ke Susilo Bambang Yudhoyono. Biduk PAN pun berganti haluan.
Perubahan sikap PAN berimplikasi besar. PPP menilai, tanpa PAN dukungan terhadap Prabowo bakal sia-sia. ”Secara teknis, suara pendukung Prabowo yang tersisa tak cukup untuk mengusung dia menjadi calon presiden,” kata Wakil Ketua Umum PPP Chozin Chumaidy.
Partai berlambang Ka’bah itu sebenarnya sudah sepekan lebih dulu menggelar rapat pimpinan di Bogor, Jawa Barat. ”Waktu itu kami terbelah dua: ada yang mendukung Prabowo, ada yang ke SBY,” kata Chozin. Rapat lalu memberikan mandat kepada Ketua Umum PPP untuk menjalin ”komunikasi politik” dan memutuskan akan bermitra dengan siapa.
Atas dasar itulah pada 1 Mei 2009 Suryadharma memenuhi undangan Yudhoyono untuk bertemu di kediaman pribadinya di Cikeas. ”Saat itu, secara terbuka, kami mengkritik buruknya komunikasi antara SBY dan Pak Suryadharma,” kata Chozin. Kepada Yudhoyono, Suryadharma sendiri sempat berujar, ”Karena Bapak terus ke kanan, saya pun jadi ke kiri, akhirnya makin jauh kita,” katanya seperti ditirukan Chozin seraya terbahak.
Sepekan setelah itu, PPP resmi mendukung Demokrat. Dalam rapat konsultasi nasional yang dihadiri semua pengurus partai di pusat dan daerah, Suryadharma mengumumkan sikap partainya mendukung Yudhoyono. Setelah itulah, pertemuan panas di rumah Prabowo digelar.
Lebih dari seorang sumber Tempo mengaku mendengar kabar bahwa PPP sudah menerima Rp 20 miliar untuk mendukung Prabowo. Fulus itulah yang membuat tensi rapat jadi tinggi. Akhirnya disepakati, dana harus dikembalikan. Namun Chozin membantah isu itu. ”Kok, saya justru tidak dengar,” katanya.
Apalagi, menurut Chozin, beberapa jam sebelum deklarasi Yudhoyono-Boediono di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Jumat dua pekan lalu, Suryadharma sempat bertemu lagi dengan Prabowo di Hotel Intercontinental MidPlaza, Jakarta. ”Di sana mereka saling mengikhlaskan untuk berpisah,” katanya. ”Semua sudah clear. Hubungan kami dengan Prabowo tetap baik.”
Lepasnya PPP dan PAN membuat partai lain ikut balik kanan. ”Kami mendukung Prabowo sebagai calon presiden, kalau tidak ya kami tidak ikut,” kata Choirul Anam, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional Ulama, yang kini menjadi tim sukses Jusuf Kalla-Wiranto. Hal yang sama ditegaskan Erros Djarot.
”Begitu dia merapat ke Teuku Umar, kami menangkap gejala Prabowo hanya bakal jadi nomor dua,” kata Erros Djarot. ”Kalau begitu, buat apa?” Satu demi satu mereka pun pergi. Permadi menyesalkan perpisahan itu. ”Seharusnya mereka pamit baik-baik, bukannya pelan-pelan menjauh,” katanya kesal.
Wahyu Dhyatmika, Munawwaroh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo