Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARTAI-partai itu bergerak nyaris tanpa pola. Sebentar ke utara, sebentar ke selatan, lompat ke timur—atau menikung ke barat daya. Bahkan ketika pendaftaran calon presiden dan wakilnya ditutup Komisi Pemilihan Umum, Sabtu dua pekan lalu —tanda koalisi partai final terbentuk—mereka tetap menggelinjang. Bak air raksa di dalam cawan, posisi mereka tak bisa dihentikan di satu titik.
Partai Amanat Nasional, yang resminya berada di belakang pasangan Yudhoyono-Boediono, kini pasang kuda-kuda mendukung Kalla-Wiranto. Ditolaknya kader PAN Hatta Rajasa menjadi calon wakil presiden membuat partai matahari biru itu main mata dengan partai lain.
Golkar, yang resmi mendukung ketua umumnya, Jusuf Kalla, sebagai calon presiden, juga dirundung konflik akut. Sejumlah politikus Beringin kini bersiap menggelar musyawarah luar biasa sebelum hari pencontrengan—entah putaran pertama atau kedua. Skenario mereka: menjatuhkan Kalla dari kursi ketua umum sehingga Beringin bisa mudah berbelok ke kubu pemenang jika saudagar Bugis itu mental dari arena.
Sebelumnya, kita dengar juga kabar tentang Prabowo Subianto yang terpontal-pontal menggalang dukungan. Dengan modal hanya 4,5 persen suara dalam pemilu legislatif, ia harus bekerja ekstrakeras.
Partai kecil yang dirangkulnya pasang harga tinggi, bahkan lompat perahu ketika tahu bekas tentara itu hanya jadi orang nomor dua. Di sini cerita tentang politik uang terdengar—meski tak pernah bisa benar-benar dibuktikan.
Politik memang bisa mempesona, atau menyimpan durjana. Pemilu presiden 2009 adalah cawan besar yang menyimpan merkurium yang menggeliang itu.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo