Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Arsitek Bersarung Kesayangan Soekarno

Orang yang mengenalnya jarang yang keliru melihat penampilan Friedrich Silaban (1912–1984). Ia tidak pernah berubah. Silaban identik dengan celana panjang kedodoran yang dipadu kemeja lengan panjang yang terurai lepas. Pipa rokok hampir selalu menempel di tangannya, meskipun kosong. Bila di rumah, Silaban suka sekali bersarung. Bermain catur adalah hobinya.

Sebagai arsitek, ciri karya Silaban juga mudah dikenali: fungsional, kuat, dan sangat peduli pada iklim. Dia Kristen, namun karya puncaknya adalah Masjid Istiqlal. Mantan presiden Soekarno menyebutnya By the Grace of God. Kelompok Modern Asian Architecture Network sedang menginventarisasi karya-karya Silaban dan akan membuat buku tentang dia.

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”I am an architect, but not the ordinary one.”

PERNYATAAN gagah itu menjadi pembuka surat Friedrich Silaban kepada Alvaro Ortega, Kepala Penasihat Bangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Wilayah Asia pada 1968. Lewat surat lima halaman itu, Silaban menawarkan jasanya sebagai arsitek.

Silaban memang bukan arsitek biasa. Menurut Yuswadi Saliya, arsitek senior dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Silaban merupakan arsitek Indonesia generasi pertama yang paling banyak karyanya. Beberapa di antaranya adalah gedung Bank BNI 46 di daerah Kota, Jakarta, gedung Bank Indonesia, dan Markas TNI Angkatan Udara di Pancoran, Jakarta, gedung Bank Indonesia di Surabaya, dan Gereja HKBP di Medan.

Puncak kejayaannya bisa dilihat di Masjid Istiqlal, Jakarta. Masjid ini, sesuai dengan namanya, dirancang mewakili nilai-nilai kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. ”Istiqlal adalah karya ayah saya yang paling dia banggakan,” kata Panogu Silaban, anak keenam Silaban.

Lewat Istiqlal pula, Silaban menjadi sohib Presiden Soekarno. Meskipun, dia sudah kenal dengan Bung Karno sejak awal 1940-an ketika menjabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Bogor. Soekarno menyebut sahabatnya itu By the Grace of God.

Arsitek senior Han Awal punya cerita tentang ”kebesaran” Silaban. Pada setiap hari pertama mengajar salah satu mata kuliah arsitektur untuk mahasiswa tingkat pertama, Han selalu memberikan pertanyaan: siapa arsitek Indonesia yang paling dikenal oleh mahasiswanya. ”Hampir selalu setiap mahasiswa menempatkan Silaban pada urutan pertama,” kata Han.

Sayang, dokumentasi karya-karya Silaban sebagai pelopor arsitektur modern Indonesia tak lengkap. Bangunan-bangunan yang disebut di atas hanyalah karya yang sudah menjadi pengetahuan umum. Seperti yang tertulis pada kata pengantar buku F. Silaban dalam Konsep dan Karya, informasi dan tulisan mengenai pandangan dan konsep perancangan Silaban masih sangat sedikit. Buku terbitan 1992 yang dibuat berdasarkan diskusi Program Studi Arsitektur Pascasarjana Institut Teknologi Bandung tentang konsep dan karya Silaban, bisa dikatakan sebagai dokumentasi tentang Silaban yang terlengkap hingga saat ini.

Untung saja masih ada usaha melengkapi dokumentasi tentang salah satu pendiri Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) ini. Modern Asian Architecture Network (MAAN), kelompok arsitek Indonesia dan mancanegara, yang punya perhatian menginventarisasi dan mengkaji arsitek ternama dan karyanya, menggelar diskusi tentang Silaban pada Juli lalu. Hal ini dilakukan setelah setahun David A. Sagita, salah seorang koordinator proyek inventarisasi karya-karya Silaban, melakukan riset. Dia juga menemukan puluhan gambar asli karya Silaban di loteng rumahnya di Bogor. MAAN kini sedang menyiapkan buku yang lebih komprehensif tentang Silaban.

Harus diakui informasi tentang Silaban memang minim, misalnya tidak ada bukti apa sebenarnya karya pertama Silaban. Menurut Yuswadi, karya arsitektur Silaban pertama yang benar-benar dibangun adalah gedung Sekolah Pertanian Menengah Atas (sekarang Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian) di Cibalagung, Bogor, yang rampung pada 1951.

Namun, David meragukannya, karena belum semua gambar dari loteng rumah Silaban dibuka dan ditelaah. Dari gulungan itu, tim MAAN menemukan beberapa karya yang selama ini belum pernah terungkap, seperti sebuah masjid di Poso. ”Kalau semua gambar itu sudah dibuka, baru kami benar-benar yakin mana karya Friedrich yang pertama,” katanya.

l l l

Friedrich Silaban Ompu ni Maya—menurut Panogu, nama ayahnya yang ”berbau” Jerman ini dipengaruhi seorang misionaris Jerman yang bertugas di Tapanuli—lahir sebagai anak Jonas Silaban-Noria boru Simamora pada 16 Desember 1912 di Bonandolok, Sitahuis, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. ”Daerah itu benar-benar kampung banget, di pinggir hutan. Ayah saya lahir sewaktu nenek saya sedang mencuci di empang,” kata Panogu.

Silaban menamatkan sekolah dasar HIS di Narumonda, Tapanuli, pada 1927 dan melanjutkan ke sekolah teknik menengah Koningen Wilhelmina School di Batavia (Jakarta). Setelah tamat pada 1931, dia bekerja sebagai juru gambar bangunan di kantor Kotapraja Jakarta.

Pada masa itulah dia mulai belajar arsitektur dengan magang di biro arsitek milik warga Belanda, J.H. Antonisse. ”Bahkan ayah saya diangkat anak oleh Antonisse,” katanya. Antonisse inilah arsitek Pasar Gambir (sekarang menjadi kawasan Monumen Nasional). Merasa belum memadai, pada malam hari Silaban masih mengikuti kursus arsitektur bersama calon arsitek generasi pertama Indonesia seperti Soedarsono dan Suhamir.

Menurut cerita arsitek senior Suwondo Bismo Tedjo, Silaban bilang, jika punya uang banyak, dia akan kuliah arsitektur. Pernyataan itu dia dengar ketika dia masih remaja tanggung dan tinggal di rumah pamannya di Bogor. Kebetulan sang paman adalah teman main catur Silaban. Suwondo sendiri mengaku menjadi arsitek karena Silaban. Pada kenyataan, Silaban tak pernah kuliah.

Itulah sebabnya Silaban dipuji sebagai seorang arsitek handal meskipun tidak mengenyam pendidikan formal. Teknik arsitekturnya banyak dia pelajari baik dari Antonisse maupun literatur di masa itu yang berciri gaya internasional, mazhab yang muncul sejak 1920-an di dunia Barat bersama dengan arus modernisasi dan industrialisasi. Guru arsitek di masa itu, seperti Le Cobusier dan Frank Lloyd Wright, kuat dengan paham fungsionalisme: bentuk geometris, ornamen berkurang—ornamen merupakan ciri gaya sebelumnya, seperti neoklasik dan gotik—dan prinsip bentuk mengikuti fungsi (forms follow function). ”Dia itu penerjemah gaya fungsionalis yang sangat jujur, konsisten, taat, bahkan cenderung naif,” kata Yuswadi.

Selain itu, menurut buku F. Silaban, masih ada unsur-unsur nonarsitektur yang mempengaruhi Silaban, yaitu peristiwa dan kondisi ketika itu. Kedekatannya dengan Soekarno dan pemahamannya atas keinginan Soekarno mengubah citra bangsa dari kuli Belanda menjadi bangsa mandiri sangat mempengaruhinya. Beberapa karya Silaban dilengkapi motto, seperti ”Kemakmuran” pada gambar kantor Bank Indonesia di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, ”Bhineka Tunggal Ika” pada rancangan Monumen Nasional atau Monas.

Silaban juga sangat sadar dengan kondisi alam Indonesia yang tropis. Dalam setiap karyanya, dia benar-benar memperhitungkan arah datangnya cahaya matahari, angin dan hujan. ”Karena, menurut dia, hujan itu merusak bangunan, maka gedung harus diberi ”topi”,” kata Yuswadi. Atap menjadi bagian yang sangat penting pada setiap karyanya.

Agar bagian dalam bangunan tetap dingin, cahaya matahari tidak boleh langsung menerobos, tapi angin harus tetap bebas mengalir. Seperti yang diterapkan di rumahnya, supaya cahaya tidak langsung masuk ke dalam rumah, dia membuat teritis-teritis lebar. Angin bebas mengalir lewat bukaan ventilasi yang berderet di bagian muka dan belakang rumah. Dialah yang mulai mempopulerkan kerawang beton cor, yang mampu menahan cahaya, tapi meloloskan angin.

Kesetiaan pada fungsi, selain dia terjemahkan sesuai iklim, juga pada detail. Untuk rumahnya, Silaban memperhitungkan posisi tempat setrikaan dan mezanin yang dapat dipakai melihat seluruh bagian rumah. Silaban juga memperhitungkan jarak antara tempat duduk di Stadion Bung Karno cukup lebar, sehingga bila penonton perempuan Indonesia yang berkonde duduk di tempat itu, tidak tersenggol kondenya oleh penonton lain yang berjalan di belakangnya—namun usul ini tidak dilaksanakan.

Silaban juga dikenal berprinsip kuat. Menurut Suwondo, karya arsitektur bagi Silaban adalah penciptaan, sehingga harus kuat, ”tahan hidup 1.000 tahun”. Bahan-bahan harus bagus dan kuat, sehingga mahal. Seperti gedung BI di Thamrin, atapnya adalah genting Belgia dan talangnya tembaga. Karena mahal, rancangan Silaban sering tidak dapat direalisasi.

l l l

Ketika Silaban bersurat kepada Ortega pada 1968, karirnya sebagai arsitek sedang di ujung tanduk. Sebagai ”arsitek Bung Karno”, kejatuhan Soekarno berimbas kepadanya. Setelah menjadi arsitek yang paling produktif, proyek-proyek arsitektur mulai ”alergi” menghampirinya. Padahal, dia harus menghidupi istrinya, Letty Kievits, dan 10 anak. ”Bapak itu buta politik,” kata Panogu.

Bagi Silaban, Soekarno memang bukan sekadar pemimpin, tapi juga kawan. Entah apa yang membuat keduanya cocok, meski mereka tak jarang cekcok. Soekarno meminta Silaban belajar arsitektur negara-negara lain ketika dia ikut serta dalam lawatan ke luar negeri. Setiap kali Soekarno bertandang ke Istana Bogor, Silaban selalu diundang untuk sekadar sarapan bersama atau menonton film.

Suatu ketika Bung Karno berniat menunjukkan calon lokasi stadion olahraga. Bertiga: Bung Karno, Silaban, dan pilot helikopter Letnan Kolonel Sumarsono, terbang berkeliling Jakarta. Saat melintas di kawasan Dukuh Atas, Soekarno mengatakan di situlah bakal dibangun stadion olahraga.

Silaban tidak setuju dengan ide Bung Karno. Menurut dia, pembangunan kawasan olahraga di Dukuh Atas bakal membuat Jalan Sudirman macet total. Dia juga meramalkan, masalah banjir tidak akan teratasi. Tanpa ragu dia mengutarakan ketidaksetujuannya kepada Bung Karno. ”Kalau Presiden mempertahankan lokasi Dukuh Atas itu, saya khawatir kelak anak-anak Guntur (putra Presiden Soekarno) akan nyeletuk: Kok kakek kami bodoh amat membuat kompleks stadion begitu,” kata Panogu mengutip ayahnya.

Ternyata Bung Karno tidak tersinggung. ”Ya, Presiden Soekarno yang salah dan Silaban benar.” Menurut Panogu, sikap Bung Karno itulah—suka pada orang jujur dan terbuka—salah satu yang dikagumi ayahnya. Terbukti kemudian, Soekarno mengikuti saran Silaban membangun kawasan olahraga di Senayan.

Kedekatan Silaban dengan Bung Karno terus bertahan, bahkan saat Soekarno diasingkan rezim Orde Baru. Hanya karena takut menyeret keluarga Sil—panggilan Bung Karno kepada Silaban—saja yang membuat Bung Karno tidak mau menemuinya.

Perkawanan Sil dengan Bung Karno ini mirip dengan hubungan arsitek Kamboja, Vann Molyvann, dengan Raja Norodom Sihanouk. Sama seperti Sil, Vann adalah arsitek istana. Vann juga pelopor arsitektur modern Kamboja, lepas dari gaya arsitektur tradisional. Dialah yang merancang Monumen Kemerdekaan, Stadion Olimpiade Gargantuan, dan Chaktomuk Theater.

Untung Silaban tak perlu mengungsi ke luar negeri seperti Vann setelah Khmer Merah berkuasa. Bahkan sebelum meninggal pada 14 Mei 1984, Silaban sempat melihat adikaryanya, Masjid Istiqlal, diresmikan presiden ketika itu, Soeharto, sehingga Panogu tidak merasa ayahnya menjadi ”korban” Orde Baru. Kalau ada yang disesalkan Panogu, satu-satunya putra Silaban yang menjadi arsitek, adalah dia tidak sempat berkolaborasi dengan ayahnya, yang bukan arsitek biasa itu.

Sapto Pradityo, Deffan Purnama (Bogor)


Karya-karya Friedrich Silaban

  • Gedung Sekolah Pertanian Menengah Pertama, 1951
  • Kantor Dinas Perikanan Bogor, 1951
  • Rumah Dinas Walikota Bogor, 1952
  • Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata, 1953
  • Masjid Istiqlal, 1955
  • Monumen Nasional, 1954-1960 (tidak terbangun)
  • Rumah Pribadi Friderich Silaban, 1958
  • Bank Indonesia, Jalan Thamrin, Jakarta, 1958
  • Gedung BLLD, Bank Indonesia, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, 1960
  • Gedung BNI 1946, Jakarta, 1960
  • Menara Bung Karno, Jakarta, 1960-1965 (tidak terbangun)
  • Gedung BNI 1946, Medan, 1962
  • Markas TNI Angkatan Udara, Jakarta, 1962
  • Gedung Pola, Jakarta, 1962
  • Monumen Pembebasan Irian Barat, Jakarta, 1963
  • Rumah A Lie Hong, Bogor, 1968
  • Gedung Universitas Nommensen, Medan, 1982

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus