Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUBRIK Bahasa! tampil di Tempo sejak setahun terakhir. Pembaca setia rubrik ini pasti segera tahu bahwa ada yang salah dalam kalimat pembuka itu. Sebab, Bahasa! sudah tampil di majalah ini sejak Oktober 2005. Namun, saya yakin, tak semua pembaca sadar bahwa ada yang keliru dengan keterangan waktu ”sejak setahun terakhir”. Bentuk semacam ini sudah lazim muncul dalam media massa kita. Misalnya, ”Asap tebal menyelimuti Pekanbaru sejak sepekan terakhir”.
Keterangan waktu dalam kalimat di atas memakai pilihan kata yang tak tepat. Seharusnya yang digunakan bukan kata penghubung sejak, melainkan kata dalam atau selama. Sebab, sejak merupakan kata untuk menandai waktu mulai berlakunya suatu peristiwa, sementara dalam dan selama dipakai buat menandai waktu dalam jangka tertentu. Kalimat perbaikannya yang bisa diterima nalar akan seperti ini: ”Asap tebal menyelimuti Pekanbaru dalam sepekan terakhir” atau ”selama sepekan terakhir”. Tapi kata sejak pun sebenarnya dapat dipertahankan. Itu bila kata terakhir dalam kalimat tersebut diganti dengan lalu—menjadi ”sejak sepekan lalu”.
Masih soal waktu, ada satu bentukan kata yang sangat produktif beberapa tahun belakangan ini, yaitu terkini. Di media elektronik dan media cetak, hampir setiap hari kita dengar dan kita baca ”berita terkini”, ”peristiwa terkini”, dan lain-lain. Terkini pun menjadi lazim. ”Ter” pada kata itu tentu bermakna ”paling”. Apakah paling kini terterima oleh nalar kita? Apakah kini bisa digradasikan seperti halnya baru menjadi lebih baru dan paling baru atau terbaru? Tentu tidak. Jadi, bentuk terkini yang sudah lazim itu sesungguhnya tak masuk nalar.
Bicara soal lazim, saya berasumsi bahwa bentuk mempunyai, alih-alih memunyai, pun sebuah kelaziman. Tapi kelaziman yang satu ini tak sampai menabrak nalar. Persoalannya hanya pada tidak luluhnya fonem ”p”. Beberapa pengamat bahasa punya argumen masing-masing untuk mempertahankan bentuk mempunyai ini. Namun argumen mereka selalu membuka peluang untuk disanggah. Ada yang mengatakan bahwa memunyai layak ditolak karena ada rentetan bunyi sengau pada kata itu. Tapi bukankah lidah orang Indonesia umumnya tak mengalami kesulitan untuk melafalkan, misalnya, meminyaki dan memonyongkan? Ada pula yang menyebutkan bahwa mempunyai terbentuk bukan dari kata dasar punya, melainkan dari empunya. Kalau benar begitu, mengapa turunannya bukan mengempunyai?
Jadi, daripada susah-susah mencari pembenaran, mari kita sepakat saja menerima mempunyai sebagai bentuk ”menyimpang” yang lazim. Toh, tak satu pun kamus dan media massa yang secara tegas melafalkan memunyai.
Tentu saja sesuatu yang lazim bisa menjadi tak lazim di kemudian hari atau yang tak lazim justru menjadi lazim. Sejak dulu kita lazim memakai praktek, tapi kini ada ”pesaing”-nya: praktik (dari kata Belanda praktijk atau Inggris practic), yang merupakan hasil upaya meluruskan bentuk serapan agar sesuai dengan kaidah pembentukan kata. Propinsi, sebagai contoh lain, makin jauh tergeser oleh provinsi (dari kata Belanda provincie atau Inggris province).
Sebuah koran daerah bertiras besar secara konsisten memakai telefon (dari kata Belanda telefoon atau Inggris telephone), bukan telepon seperti yang lazim digunakan di semua media cetak nasional. Bukan tidak mungkin, pada masanya nanti telefon akan lebih produktif dan menjadi lazim. Koran yang sama (juga banyak media lain) memilih bentuk memerhatikan, bukan memperhatikan. Alasannya sederhana: kata dasarnya perhati, bukan hati. Rupanya, memperhatikan dianggap sekadar kelaziman, bukan bentuk yang taat kaidah, sehingga harus dikoreksi.
Dalam kasus ini, saya setuju dengan pendapat bahwa ”p” tak boleh luruh dari memperhatikan. Sebab, memperhatikan itu sudah taat kaidah: dari kata dasar hati terbentuk perhatian dan kemudian memperhatikan, seperti halnya dari satu menjadi persatuan lalu terbentuk mempersatukan. Apa boleh buat, asumsi ini harus berseberangan dengan, antara lain, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) karya Pusat Bahasa dan Tesaurus Bahasa Indonesia (2006) karya Eko Endarmoko. Kedua buku yang laris itu mencantumkan memerhatikan di bawah entri perhati.
Ada satu contoh lagi bentukan kata yang lazim dalam bahasa Indonesia yang menurut beberapa pengamat bahasa mesti dipertahankan: ”memenangkan pertandingan”. Di media-media Malaysia, bentuk yang lazim justru ”memenangi perlawanan”. Itu pula yang dibakukan Kamus Dewan (1991). Di bawah lema menang ada memenangi: ”beroleh menang (dlm perlawanan dll), berhasil atau berjaya mengalahkan…, mendapat kejayaan atau hadiah dlm pertandingan (peraduan dll)…”. Adapun memenangkan: ”menyebabkan (menjadikan) menang…, menganggap satu pihak saja yang menang, memihak (menyebelah) kpd”.
Sekarang banyak media massa Indonesia memakai bentuk memenangi pertandingan. Rupanya, media kita ”mengacu” kepada media di negeri jiran. Jika dipaksa untuk memilih mana ”yang baik dan benar” antara memenangi dan memenangkan pertandingan, saya akan berlindung di balik pernyataan klise ini: bahasa berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Tapi, kalau boleh menambah opsi, saya punya pilihan yang sama sekali tak mengganggu nalar: menang dalam pertandingan.
Editor bahasa Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo