Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"YA…, daripada main cewek? Gunung dinaikin enggak bakalan bunting, tahu enggak lu," kata Herman Onesimus Lantang terkekeh. Itulah alasan sahabat Soe Hok-gie di Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang kini berusia 76 tahun itu tentang mengapa dia memilih mendaki gunung. Alasan lain, itu cara mengusir kejenuhan atas konflik antarorganisasi kemahasiswaan onderbouw partai politik di kampusnya pada 1960-an.
Sama dengan Herman, Hok-gie juga muak terhadap iklim politik kampus. Dalam benaknya muncul ide membentuk wadah untuk menampung mahasiswa yang ogah digolong-golongkan ke dalam partai politik tertentu dan lebih senang berkegiatan di alam bebas.
Gagasan Hok-gie itu disambut rekan-rekannya di Fakultas Sastra. Dia kemudian memimpin rapat pembentukan organisasi pendaki gunung di Ciampea, Bogor, 11 Desember 1964. Dan, tepat tengah malam hari itu juga, Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Prajnaparamita Fakultas Sastra UI, cikal-bakal Mapala UI, resmi berdiri.
Nama "Prajnaparamita" diusulkan Moendardjito, dosen Fakultas Sastra UI. Dalam tulisan Luki Sutrisno Bekti di buku Jejak Kampus di Jalan Alam: 40 Tahun Mapala UI, nama itu diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti Dewi Pengetahuan. Kebetulan saat itu lambang Senat Mahasiswa Fakultas Sastra adalah Prajnaparamita. Dan, Mapala Prajnaparamita berada di bawah senat. "Gue ketua senatnya. Jadi gue juga yang melantik anggota-anggota Mapala itu," kata Herman pada pertengahan September lalu.
Pelantikan anggota baru berlangsung lima bulan setelah Mapala Prajnaparamita berdiri. Hok-gie kebagian nomor 007. Menurut Herman, nomor itu bukan Hok-gie yang pilih. Kebetulan saja. Tidak ada hubungannya dengan James Bond, agen rahasia rekaan Ian Fleming.
Tapi peran Hok-gie di Mapala boleh dibilang mirip dengan mata-mata Inggris fiktif itu. Setidaknya dalam soal penampilannya yang meyakinkan dan otaknya yang brilian—inilah senjata yang digunakan Hok-gie untuk meluluhkan hati para orang tua agar mengizinkan anaknya naik gunung. "Hok-gie orangnya sangat santun," kata Herman. "Dia juga pintar ngomong. Jadi, untuk merayu orang-orang kaya di Menteng yang anaknya mau diajak naik gunung, Hok-gie sama gue yang maju."
Herman akan menjamin anak-anak yang mereka ajak itu sungguh-sungguh dijaga dan Hok-gie akan memaparkan alasan-alasan mendasar mengapa seorang mahasiswa perlu naik gunung. "Apa yang diomongin Hok-gie persis seperti yang ada di tulisan 'Bersama Mahasiswa UI Mengikuti Kembali Jalan yang Sudah Hilang di Pangrango'," kata Herman.
Itu adalah tulisan Hok-gie yang dimuat di majalah Bara Eka Nomor 13 Tahun III, Maret 1966. Artikel itu bercerita tentang pengalamannya mendaki Gunung Pangrango bersama mahasiswa Fakultas Sastra UI pada 27-31 Desember 1966. Kisah ini dimuat secara lengkap di buku Soe Hok-gie… Sekali Lagi (2009). Pengalaman itu digunakan Hok-gie untuk menjelaskan perihal Mapala dan tujuan kegiatan mereka.
"Tujuan Mapala ini adalah mencoba membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah, air, rakyat, dan almamaternya," ujar Hok-gie, yang sempat menjadi Ketua Mapala UI periode 1967-1968, dalam tulisannya.
"Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil," tulis Hok-gie. "Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik."
Hok-gie menggunakan gagasan-gagasan itu tidak hanya untuk meluluhkan hati orang tua, tapi juga si mahasiswa sendiri. Julianti Taluki Bekti, anggota Mapala nomor 021 dan junior Hok-gie di Fakultas Sastra, adalah salah satu "korban".
Perempuan yang biasa disapa Luki itu mengenal kegiatan pendakian gunung karena Hok-gie. Sebagai mahasiswa baru di Fakultas Sastra, dia wajib ikut perjalanan ke Gunung Gede-Pangrango di Kabupaten Bogor yang dirancang Hok-gie sebagai acara inisiasi. Awalnya, Luki tidak bisa ikut karena sakit. Tapi dia ikut hadir di kampus untuk mengantar teman-teman yang berangkat pada perjalanan pertama itu. "Nah, saat itulah Hok-gie berjanji merancang perjalanan khusus bagi mereka yang tidak bisa ikut pada perjalanan pertama," tutur Luki, Kamis pekan lalu.
Hok-gie memenuhi janjinya. Dia mengajak Luki dan teman-teman lain yang belum sempat mendaki Gede-Pangrango. Ini menjadi perjalanan naik gunung pertama buat Luki, yang kemudian membuatnya terus-menerus ingin naik gunung.
Luki bertutur, dia ketagihan naik gunung karena mendapatkan sensasi bisa mengalahkan diri sendiri. "Setelah bisa naik yang ini, ingin naik yang itu, kemudian yang lain," ujarnya.
Lebih lagi, perjalanan ke gunung di bawah bimbingan Hok-gie memberi berbagai pengalaman yang sama sekali baru buat Luki. Sebagai anak kota yang cenderung eksklusif, kata Luki, dia belajar bagaimana berinteraksi dengan penduduk desa di gunung yang ia naiki—orang-orang yang jarang ia temui sebelumnya. "Hok-gie memperkenalkan kami dengan lurah dan anak-anaknya, serta mengajak kami tinggal di sana."
Selama perjalanan ke gunung itu, menurut Luki, Hok-gie juga banyak mengungkapkan pemikirannya tentang hal-hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan. "Saya jadi tahu banyak hal yang sebelumnya tidak saya pedulikan," ujarnya.
Dari Hok-gie pula Luki belajar menghormati orang lain meskipun mereka berbeda pandangan. Contohnya, setelah turun dari Gunung Slamet di Jawa Tengah, Hok-gie dan kawan-kawan tidak akan masuk ke rumah warga setempat. Mereka baru boleh masuk rumah mereka saat Lebaran. Ini adalah kepercayaan yang dipegang masyarakat sekitar Gunung Slamet.
"Beberapa dari kami tidak percaya hal-hal seperti itu," kata Luki. "Tapi kami tetap menghargai kepercayaan warga dengan tidak melanggar aturan itu. Hok-gie akan sangat marah kepada anggota yang membandel terhadap larangan-larangan semacam itu."
Luki juga mengenal sosok Hok-gie yang sering menaja kegiatan pendakian gunung. Dia, kata Luki, rela memberikan honor tulisannya di koran-koran untuk perjalanan-perjalanan itu. Kalaupun sebuah pendakian butuh dana besar, menurut Luki, Hok-gie akan menjadi pencari dana yang sukses.
Selain sebagai inisiator, organisator, dan sponsor, Hok-gie punya peran lain di Mapala. Dia pandai bercerita. Hok-gie bisa membius orang dengan obrolannya. "Kalau Hok-gie sudah bercerita, teman-temannya bakal diam mendengarkan," tutur Herman. "Bukan karena disuruh, tapi karena isi pembicaraannya memang menarik. Apa saja dia bisa omong: seni, sejarah, politik, bahkan teori tentang cinta."
Cerita-cerita itu biasanya disampaikan Hok-gie saat berkemah malam hari. Herman menuturkan, wawasan yang luas dan kepiawaian dia bercerita itulah yang membuat Hok-gie tidak perlu sampai mengagitasi seseorang untuk diajak naik gunung.
Menurut Cornelis Joost Katoppo, rekan Hok-gie sesama pendaki, Hok-gie juga suka mengajarkan lagu perjuangan kemanusiaan yang sedang populer saat itu. Misalnya We Shall Overcome dari Peter Seeger, musikus Amerika Serikat yang terkenal dengan lagu-lagu bertema protes sosial. "Suaranya fals. Tapi dia hafal liriknya dan bisa menjelaskan cerita di balik lagu itu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo