Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pena, Megafon, dan SEMERU

Perjuangan mahasiswa bukan sekadar menurunkan harga bensin, tapi juga menegakkan keadilan dan kejujuran. Jika mahasiswa mundur dalam pergulatan sekarang, maka akan kalah untuk selama-lamanya.
— Catatan Seorang Demonstran, 13 Januari 1966

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengkritik Keras Bung Besar

Muak terhadap perilaku korup, dia kerap mengecam Presiden Sukarno dan para menterinya. Menuding sebagai pengkhianat kemerdekaan.

SOE Hok-gie berdiri sambil menggenggam megafon. Bersama ribuan mahasiswa dari Jakarta, siang pada Sabtu, 15 Januari 1966, dia berdemonstrasi di Istana Bogor. Cornelis Joost Katoppo, yang hadir dalam peristiwa itu, melihat Hok-gie datang dengan rombongan mahasiswa Fakultas Sastra dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Josi—panggilan Cornelis—mengatakan demonstrasi berlangsung ketika Presiden Sukarno memanggil sejumlah pemimpin gerakan mahasiswa ikut rapat Kabinet Dwikora. "Bung Karno memanggil aktivis KAMI dan beberapa mahasiswa dari GMNI," kata Josi, yang ditemui Tempo di Jakarta pada pertengahan September lalu. KAMI adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, sedangkan GMNI singkatan dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.

Lelaki 75 tahun ini berkawan dengan Hok-gie. Ketika itu, Josi bekerja sebagai wartawan United Press International, agensi berita yang berpusat di Amerika Serikat. Ia adik jurnalis senior Aristides Katoppo, juga sahabat Hok-gie. Kini Josi bekerja sebagai penerjemah di Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.

Josi menggambarkan, hari itu sejumlah pentolan KAMI, di antaranya Cosmas Batubara dan Sofjan Wanandi, diundang masuk ke Istana Bogor. Sedangkan Hok-gie memilih berdemonstrasi di jalanan, di luar Istana. Belakangan, Cosmas tiga periode masuk kabinet Presiden Soeharto. Sedangkan Sofjan menjadi pengusaha dan kini Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Mendapatkan undangan Sukarno, pemimpin KAMI membawa mahasiswa dari Jakarta berdemonstrasi ke Istana Bogor. Empat hari sebelumnya, Senin, 10 Januari 1966, mahasiswa saban hari berunjuk rasa di jalanan Jakarta. Ke Bogor, Hok-gie bersama rombongan mahasiswa Sastra dan Psikologi berangkat dari kampus mereka, ketika itu masih berada di Rawamangun, Jakarta, yang sekarang menjadi kampus Universitas Negeri Jakarta.

Begitu masuk Bogor, rombongan Hok-gie menyanyikan lagu Padamu Negeri. Di daerah pecinan Bogor, Hok-gie berteriak di corong megafon. "Di sini suara mahasiswa Indonesia," ujar Hok-gie dalam catatan hariannya. Dia menyuarakan tiga tuntutan rakyat yang telah mereka tuntut kepada Bung Karno sejak demonstrasi Senin di Jakarta. Pertama, pembubaran Partai Komunis Indonesia. Kedua, pemerintah menurunkan harga barang dan, ketiga, pemerintah mencopot menteri-menteri korup.

Rupanya, sidang Kabinet Dwikora di Bogor mengecewakan mahasiswa. Sidang malah menjadi monolog, mendengarkan Bung Karno berpidato. Tak satu pun keluar pernyataan mengutuk apalagi membubarkan PKI dari Sukarno. Menurut Josi Katoppo, ketika itu orang tak berani kepada Bung Karno. "Kalau menyebut Bung Karno harus komplet gelarnya, Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Penyambung Lidah Rakyat," katanya. Menurut Josi, dalam pidatonya, Bung Karno marah terhadap gerakan mahasiswa yang berniat mendongkelnya.

Seusai rapat, Cosmas keluar dari Istana menemui mahasiswa di gerbang barat depan Kantor Pos Besar Bogor. Dia mengajak Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto menemui mahasiswa. Cosmas naik pagar Istana, disusul Soeharto. "PKI sudah saya bubarkan. Kalian silakan pulang," ujar Soeharto seperti ditirukan Cosmas. Yel-yel "Hidup Soeharto" pun bergema. Enam puluh hari sejak demonstrasi Senin itu, terbit Surat Perintah 11 Maret 1966. Isinya memuat peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Banyak pendapat mengatakan Supersemar merupakan kudeta.

Dalam catatannya, Hok-gie menilai demonstrasi mahasiswa itu cermin pertentangan dari kekuatan-kekuatan politik di Indonesia. Dia melihat ada dua blok besar. Kelompok Menteri Keamanan Nasional Jenderal Abdul Haris Nasution-Soeharto melawan kubu Wakil Perdana Menteri Subandrio-Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh. Posisi Sukarno condong ke Subandrio dkk. PKI, yang sebelumnya bisa mengimbangi Angkatan Darat, tak bertaji lagi. "Sukarno berangsur-angsur kehilangan kekuatan karismatiknya," kata Hok-gie.

Posisi Hok-gie memang pengkritik keras Sukarno. Sebagai mahasiswa, ia telah tiga kali bertatap muka dan berdiskusi dengan Bung Karno. Ketika itulah Hok-gie melihat polah menteri-menteri yang ia nilai suka menjilat kepada Bung Karno. Setiap keluar dari Istana, Hok-gie sedih dan kecewa. Sebelum jadi mahasiswa, pada 30 Maret 1962, ketika masih di sekolah menengah atas, ia membuat catatan berisi kritik pedas terhadap Bung Karno.

Hok-gie meradang menyaksikan seorang pria yang tak bertampang pengemis kelaparan. Lalu lelaki itu mengisi perutnya yang kosong dengan kulit mangga yang dibuang orang lain. Sebenarnya hal tersebut bukan hal yang luar biasa pada masa itu, ketika jumlah penduduk miskin sangat tinggi. Hanya, Hok-gie geram karena menyaksikan orang kelaparan itu cuma dua kilometer dari Istana. Bagi dia, Istana merupakan pusat pesta dan kemewahan. Dalam catatan hariannya, Hok-gie menyebutkan perjamuan makan di Istana tak kenal siang dan malam. Paduka kita, menurut Hok-gie, mungkin sedang tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik.

Benih kritis terhadap Bung Karno dan tokoh segenerasi diungkapkan Hok-gie sejak berusia 17 tahun. Pada 10 Desember 1959, dia membuat catatan bahwa saat itu yang berkuasa adalah orang-orang yang dibesarkan di zaman Hindia Belanda: Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Ia menganggap Sukarno, yang berjulukan Bung Besar, telah berkhianat pada kemerdekaan. Generasi Hok-gie merasa mendapat tugas memberantas generasi tua, yang dia tuding sebagai pengacau. "Kami generasi yang akan memakmurkan Indonesia," kata Hok-gie.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum