Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gie ala Mira-Riri

Nicholas Saputra dinilai kurang pas memerankan sang aktivis mahasiswa dalam film Gie. Meniru gaya berjalannya.

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 2005, saat film Gie dirilis, Rudy Badil, sahabat Soe Hok-gie, menyayangkan peran aktor Nicholas Saputra. Menurut Badil, Nicholas terlalu ganteng untuk memerankan Hok-gie yang sederhana. Mata Nicholas juga kurang sipit untuk seorang pemuda Tionghoa seperti Hok-gie. "Nicholas itu salah casting," kata Badil, awal September lalu.

Badil juga mempertanyakan Nicholas yang dalam film arahan sutradara Riri Riza itu terlihat serius dengan tatapan tajam dan kurang humoris. Ia mengingat Hok-gie suka bercanda. Sahabatnya itu juga suka meledek teman-temannya. Hok-gie bahkan terkenal sangat cerewet. "Ini orang ngobrol melulu. Kami sampai bingung ini orang kapan ngasonya," ujarnya.

Herman Lantang, sahabat Hok-gie lainnya, juga mempertanyakan postur para pemain di film produksi Miles Films itu. Menurut Herman, yang dalam film itu diperankan Lukman Sardi, postur Hok-gie lebih pendek daripada dia. "Tapi, di film, gue yang kecil, Hok-gie malah yang besar, ha-ha-ha...," katanya.

Adik perempuan Soe Hok-gie, Jeanne Sumual, mengatakan Hok-gie memang tidak seganteng Nicholas Saputra. Tapi kakaknya itu baby-faced. Karakter dingin seperti Nicholas dalam film tersebut lebih cocok untuk kakak Jeanne lainnya, Arief Budiman. "Gie tidak cool seperti Nicholas. Ia ekspresif, suka mengobrol, dan cerewet," ujar Jeanne.

Produser film Gie, Mira Lesmana, menjelaskan beberapa perbedaan Hok-gie di dunia nyata dan layar lebar. Menurut Mira, bagi pembuat film, mereka bisa melakukan adaptasi dengan pelbagai cara. Ada yang merefleksikan dalam filmnya dengan autentik atau sama persis dengan kenyataan, ada pula yang menyuguhkan pemikiran sang tokoh. "Yang penting apa yang hendak kami sampaikan, yaitu pola pikir Gie serta kondisi politik saat itu, tersalurkan," katanya.

Dari segi fisik, Mira dan tim sudah mencoba mencari kemiripan wajah dan postur Hok-gie. Namun ia tidak mau mengorbankan kemiripan wajah dengan kemampuan seni peran sang aktor. "Kalau dapat mirip tapi tidak bisa akting, bisa hilang semua roh Soe Hok-gie," ujarnya.

Perempuan 52 tahun itu "tergila-gila" pada Hok-gie sejak membaca Catatan Seorang Demonstran. Buku yang dibacanya berkali-kali sejak usia 21 tahun itu membuat dia berfantasi bahwa Hok-gie adalah orang yang dingin, tidak banyak omong. Mira pun membayangkan Hok-gie adalah orang yang sering membuat perempuan "meleleh" dengan puisi-puisi cinta dalam buku hariannya.

Hok-gie yang dingin, pandai, pendiam, romantis, dan kutu buku, dalam imajinasi Mira, sebenarnya ditampilkannya pada tokoh Rangga dalam film dia sebelumnya, Ada Apa dengan Cinta?, yang dirilis pada 2002. Rangga juga sempat hendak ditampilkan memiliki hobi fotografi. "Tapi, karena saya sangat kagum pada Soe Hok-gie, sosok Rangga pun diubah jadi senang menulis puisi," kata Mira, yang menyelipkan adegan Rangga sedang membaca buku harian Soe Hok-gie, Catatan Seorang Demonstran, dalam film tersebut.

Niat Mira untuk memfilmkan Hok-gie langsung diwujudkannya setelah proses pembuatan Ada Apa dengan Cinta? selesai. Setelah dia mendapat restu dari kakak Hok-gie, Arief Budiman, persiapan pembuatan film pun berlangsung. "Persiapannya sekitar tiga tahun."

Salah satu persiapan yang sulit adalah pemilihan tokoh utama. Butuh waktu kira-kira setahun bagi Mira dan Riri untuk bersepakat bahwa Nicholaslah orang yang tepat. Sejak bekerja sama dengan Nicholas di film Ada Apa dengan Cinta?, Mira sebenarnya sudah yakin Nicholas orang yang tepat untuk memerankan Hok-gie. Namun Riri masih ingin berusaha mencari figur lain.

Tim itu sudah melakukan casting terbuka, dari seleksi foto dan video sampai seleksi langsung. Mereka pun sudah blusukan ke kawasan pecinan, seperti Glodok, Jakarta, untuk mencari orang dengan wajah mirip Hok-gie. "Memang ada beberapa yang wajahnya mirip, tapi sulit mencari yang bisa akting," ucap Mira.

Saat Mira dan timnya hampir putus asa, asisten sutradara film Gie, Edwin, menyandingkan foto Hok-gie dengan foto Nicholas yang paling mirip. Melihat perbandingan kedua foto itu, Riri pun luluh. "Sorot mata intelektual Niko membuat kami yakin ia bisa menyampaikan pesan kami," ujar Mira, merujuk pada nama panggilan Nicholas.

Bersamaan dengan pencarian tokoh utama Hok-gie, wawancara dengan 30-an kerabat, sahabat, dan keluarga pun dilakukan untuk mengetahui gambaran Hok-gie secara utuh. Wawancara yang dilakukan hingga ke Australia dan Eropa itu membuyarkan fantasi Mira tentang Hok-gie. "Mulai terkuak, sedikit-demi sedikit, Hok-gie kayak apa. Ternyata dia anak gaul," kata putri musikus Jack Lesmana ini.

Mira dan timnya juga berkonsultasi dengan seorang peneliti dari Australian National University, John Maxwell, untuk menggali sejarah Hok-gie. Berkat Maxwell pula Riri mendapatkan sebuah video dokumenter tentang transmigrasi Indonesia, House in the Jungle, yang menampilkan Hok-gie.

Nicholas Saputra yang paling terbantu dalam hal riset visual dengan film dokumenter itu. Hok-gie tampil selama 10 menit dalam film berdurasi sekitar 30 menit itu. Dia muncul dalam adegan yang memperlihatkan kehidupan aktivis mahasiswa, pesta ulang tahun, berjalan keluar dari rumah, lalu menaiki bus.

Film dokumenter itu membantu Nicholas mencontoh gaya jalan Hok-gie. Nicholas banyak mendapat pujian atas gaya jalan itu. "Hebat, deh, Nicholas bisa tiru gaya jalan Gie yang agak dibuang-buang itu," kata Jeanne Sumual. Herman Lantang dan Rudy Badil sependapat dengan Jeanne.

Nicholas mengatakan niat dia mencontoh gaya jalan Hok-gie itu datang tiba-tiba saat hari pertama syuting di Lapangan Banteng, Jakarta. "Saat itu adegannya memang jalan jauh sekali. Saya jadi teringat gaya jalan Gie saat ke luar rumah di film dokumenter itu," kata aktor yang terpilih sebagai Aktor Terbaik dalam Festival Film Indonesia melalui film Gie tersebut.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, yang menulis artikel "Gie, Mengenang Rasa Malu" dalam buku Soe Hok-gie: Sekali Lagi, mengerti bila ada orang yang kecewa terhadap tokoh Hok-gie dalam film itu. Menurut Hilmar, Gie adalah tokoh ideal bagi para pembaca Catatan Seorang Demonstran yang memiliki harapan segunung. "Sayang, review yang semestinya membuat penonton atau calon penonton mengerti malah jadi ajang pamer pengetahuan (dan ketidaktahuan) dalam film dan sejarah," ujarnya.

Bagi Hilmar, yang juga sejarawan, Gie yang sudah tayang di pelbagai festival film nasional dan internasional itu membawa kenangan pada rasa malu yang sudah lama hilang. "Rasa malu yang mendorong selama bergenerasi bergerak membuat perubahan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus