Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Vespa tua tidak hanya sebagai hobi, tapi bisa menjadi bisnis yang lumayan.
Sejumlah anak muda berinvestasi dan berjual-beli skuter buatan Italia itu.
Bisnis itu juga memperluas relasi yang memberikan keuntungan bagi pekerjaan utama.
Vespa Super rilisan 1973 menjadi skuter pertama Yohanes Wisnu setelah menabung uang jajannya selama satu tahun. Kendaraan berkelir hijau itu ia beli dari pamannya pada 2008 seharga Rp 2,7 juta. Saat itu Wisnu masih duduk di SMA. Kerap melihat skuter tersebut nangkring di rumah sang paman, Wisnu pun jatuh cinta pada pandangan pertama. “Vespa yang saya beli itu yang saya pengin dulu,” ujarnya kepada Tempo, Senin, 7 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi ia kemudian menjual Vespa itu seharga hampir Rp 6 juta. Ia untung 100 persen. Setelah itu, sejak 2012, pria berusia 30 tahun ini justru ketagihan membeli Vespa lawas dan mengoleksinya. Ia lantas memburu Vespa lawas dari bengkel ke bengkel dan mendapat informasi dari teman sepermainannya. Kini, ia dengan mudah mendapatkan informasi penjualan sepeda motor dari Italia itu di media sosial dan marketplace. Vespa yang sudah keluar-masuk garasinya dari seri 1960 sampai 2000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir 10 tahun bergelut di bisnis tersebut, Wisnu mengatakan permintaan tertinggi terhadap Vespa klasik justru baru terasa pada awal masa pandemi Covid-19. “Banyak orang tiba-tiba nyari Vespa,” kata warga Duren Sawit, Jakarta Timur, itu.
Menurut Wisnu, tingginya minat orang terhadap Vespa karena para pemengaruh atau influencer yang kembali mempopulerkannya. Selain itu, kehadiran Vespa membangkitkan memori masa kecil para pembelinya. Akhirnya, banyak orang membeli dan menjadikan sepeda motor produksi Piaggio itu sebagai ajang nostalgia.
Banyaknya permintaan terhadap Vespa klasik membuat harganya melambung di pasaran. Wisnu menceritakan, pada 2015, ia pernah ditawari untuk membeli Vespa Super Sprint atau SS 90 seharga Rp 150-180 juta. Sepeda motor itu, kata Wisnu, kini dihargai Rp 500-800 juta.
Selama melakoni penjualan Vespa bekas sebagai usaha sampingan, Wisnu mengaku tak satu kali pun merugi. Rata-rata keuntungannya 30-50 persen. Meski jarang mengunggah Vespa-nya untuk dijual lewat media sosial, Wisnu tak kesulitan mendapatkan konsumen. “Lebih banyak untung ketika kita enggak masarin, tahu-tahu ada yang datang nanya.”
Meski terlihat mudah, Wisnu mengatakan investasi Vespa membutuhkan kecerdikan dan ketelitian. Ada sejumlah hal yang ia jadikan indikator ketika membeli barang lawas itu. Pertama, kondisi barangnya masih orisinal. Artinya, cat dan part-nya masih bawaan pabrik.
Kedua, surat-surat kendaraan harus lengkap. Wisnu masih bisa menoleransi jika pajak kendaraan tersebut mati karena masih bisa diurus. “Kalau surat tidak lengkap tapi kondisi bagus, ketika ingin jual pasti lebih susah,” ucapnya.
Tak hanya mendapat keuntungan dari kegiatan jual-beli. Kegiatan itu juga mendatangkan keuntungan lain, yakni jejaring. Ia mengaku sering mendapatkan proyek berkaitan dengan profesinya sebagai konsultan arsitek dari relasinya di bisnis Vespa.
Vespa Sprint 1978 dan Vespa GSvs3 1958 dijual dalam showroom 21 Garage milik Nanda Aditya. Dok. 21 Garage
Tidak hanya Wisnu, Vespa lawas juga menyihir Nanda Aditya. Melihat teman-temannya bermain dengan Vespa jadul, Nanda membeli Vespa Special 90 berwarna merah milik temannya pada 2012. Padahal saat itu ia sudah memiliki Vespa matic pemberian ayahnya.
Tak puas hanya punya satu unit, Nanda kemudian mengoleksi Vespa berbagai seri. Pada 2014, warga Kemang, Jakarta Selatan, ini membeli Vespa secara serabutan. Setiap dijual, selalu cepat laku. Dari situ, Nanda pun melihat Vespa sebagai instrumen investasi yang menjanjikan.
Pria yang berprofesi sebagai kontraktor ini juga membuka showroom bernama 21 Garage di Tebet, Jakarta Selatan. Tak hanya Vespa, Nanda menjual aksesori, part, hingga jasa restorasi skuter tersebut. “Jadi hobi saya ter-cover dengan usaha Vespa ini. Jadi mandiri, tidak mengganggu pengeluaran dapur,” kata pria berusia 32 tahun itu.
Menekuni bisnis sampingannya sejak 2017, Nanda menceritakan koleksinya yang laku dengan harga tertinggi adalah Vespa Racing SS 90. Skuter tersebut ia beli pada 2018 dengan harga Rp 160 juta. Dua tahun kemudian terjual seharga Rp 500 juta.
Koleksi Nanda lainnya, Vespa SS 80, yang dibeli seharga Rp 50 juta pada 2015, juga terjual tahun lalu senilai Rp 250 juta. Total sudah 85 Vespa yang pernah dikoleksinya. “Kalau sekarang, tinggal 13 motor,” ujarnya.
Menurut Nanda, ada sejumlah keuntungan yang bisa diperoleh dari hobinya itu. Selain mendatangkan keuntungan, penggunaan Vespa klasik mempererat persaudaraan di antara sesama pengendaranya. “Misalnya (Vespa) kita mogok, ada yang bantuin. Jadi, persaudaraannya kuat.”
Presiden Vespa 946 Owners Club Indonesia, Dodit Redjasa dan koleksi motor Vespa klasik miliknya di kediamannya di Jakarta. Dok. Pribadi
Tren anak muda berbisnis Vespa tua tak lepas dari pengaruh media sosial. Presiden Vespa 946 Owners Club Indonesia, Dodit Redjasa, melihat banyak orang mulai mengumpulkan Vespa tua, memperbaiki, lalu mengunggah fotonya di media sosial. Foto itu, kata dia, akhirnya menginspirasi para anak muda untuk ikut tren.
Menurut Dodit, banyak anak muda yang kini sukses dari menekuni jual-beli Vespa klasik. Mereka menganalisis bahwa harga Vespa terus terapresiasi sehingga terlihat peluang untuk berinvestasi di sana. “Jadi, mereka beli Vespa tua yang unrestored, masih kondisi kurang bagus. Dibikin bagus pelan-pelan. Kemudian mereka tawarkan di media sosial,” katanya.
Dodit juga melihat peluang tetap terbuka bagi anak muda yang baru terjun dalam investasi Vespa tua. Sebab, harga Vespa klasik saat ini tidak memiliki batas atas. Hal yang penting, kata penggiat skuter ini, anak muda mempelajari jenis, model, dan part Vespa secara detail. “Kalau benar-benar mengerti pervespaan itu, saya yakin bisa sukses.”
Hobi otomotif dan membisniskan koleksinya juga dilakoni Dipayana Hilman, 37 tahun, sejak 2002. Hobi itu menetes dari orang tuanya yang gemar mengumpulkan aneka mobil Volkswagen. Hobi koleksi itu sejalan dengan minat besarnya untuk membangun kembali atau merestorasi mobil-mobil lawas dan Vespa. Di bengkel miliknya, aneka kendaraan itu dibentuk lagi seperti aslinya dengan komponen yang orisinal.
Dipayana Hilman dan koleksi kendaraan tuanya. Dok. Dipayana Hilman
Selama hampir dua dekade ini, total mobil koleksinya sekitar 30 unit. Sebanyak 20-an mobil di antaranya telah dijual. Tidak selalu untung, dua mobil di antaranya terpaksa dijual rugi. “Karena bosan dengan mobilnya,” kata dia, Rabu, 9 Februari 2022. Kini mobil tua di garasi milik karyawan sebuah perusahaan media di Bandung itu tinggal delapan unit. Salah satunya Toyota Corona 1980-an yang sudah dibangun ulang dua kali.
“Itu tidak akan dijual sampai kapan pun karena sejarahnya lebih mahal daripada harga mobilnya.” Mobil itu warisan dari kakeknya.
Rintisan bisnis koleksinya berawal dari sebuah VW Beetle 1953 dan VW Dakota. Kedua mobil itu merupakan pemberian orang tuanya yang direstorasi. Orang tuanya dulu membeli VW Dakota seharga Rp 2,5 juta. Sekitar 2003-2004, Dipa—nama panggilan Dipayana Hilman—melepasnya seharga Rp 100 juta. “Sekarang VW Dakota harganya bisa sampai Rp 1 miliar lebih,” ujarnya. Dia mengaku tidak menyesal karena saat menjualnya dulu telah mendapat keuntungan lumayan.
Menurut dia, barang vintage harganya semakin lama akan semakin mahal. Potensinya sudah bisa diketahui bahkan ketika mobil lawas mulai dibangun. “Dan orang sekarang sudah mengerti itu adalah investasi,” kata dia.
Sekarang Dipa masih berburu mobil-mobil dan sepeda motor yang unik sambil merestorasi sebuah VW Safari. Tidak hanya di Bandung, perburuannya juga sampai ke Jakarta. Mobil yang dianggap aneh atau jarang, menurut dia, punya nilai yang harganya tidak akan turun.
Biasanya, setelah didapat, mobil atau sepeda motor itu dikembalikan seperti kondisi awalnya dulu, kemudian dipakai. Jika ada yang menawar dan mendapat untung, baru Dipa menjualnya. “Kalau ada yang nawar, suka berat melepasnya. Tapi dilepas juga untung. Selalu ada perasaan seperti itu.”
Selama ini bisnisnya tidak terhambat dan tidak pernah tertipu karena Dipa paham soal otomotif. Pengetahuan itu menjadi dasar untuk investasi kendaraan. Kadang dia membantu temannya yang ingin berinvestasi mobil dengan membeli Mercedes Benz Tiger 1986 matic seharga Rp 135 juta. Mobil itu diperkirakan akan naik sekitar 2-3 tahun kemudian. “Sekarang harganya Rp 200-250 juta. Memang kalau main mobil hobi harus sabar,” ujarnya.
Keuntungan dari penjualan mobil koleksinya, kata Dipa, sebesar 30-50 persen. Namun, pada sepeda motor jenis Vespa, persentasenya bisa lebih besar. Dari penjualan Vespa New PX 160 keluaran 2000-an, misalnya, harga belinya Rp 14,5 juta. Sekarang harganya Rp 70-80 juta.
Pernah juga dia menjual Vespa matic pertama seharga Rp 35 juta, dan sekarang harganya Rp 100-an juta.
FRISKI RIANA | ANWAR SISWADI
Keterangan:
Artikel ini telah diperbarui pada Minggu, 13 Februari 2022 pukul 10.57 WIB dengan merevisi atribusi Dodit Redjasa. Sebelumnya tertulis sebagai Founder Vespa Club Indo menjadi Presiden Vespa 946 Owners Club Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo