Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apsanti Djokosujatno
PRAMOEDYA Ananta Toer memang tidak ha-nya- menulis roman sejarah, tetapi genre itulah- yang telah membuktikannya sebagai penga-rang- mumpuni dan militan, yang sangat lang-ka- di negeri ini. Dari beberapa pengarang ro-man- sejarah kita yang dapat dihitung dengan jari, di-a juga yang paling menonjol dan mendunia.
Di tangannya berbagai rangkaian peristiwa seja-rah- yang pernah dialami bangsa ini menjadi hidup dan- me-ngesan. Sekali kita membaca katrologi—se-bu-ah is-ti-lah yang saya usulkan untuk tipe prosa fik-si yang terdiri atas empat buku, yang lebih kon-sis-ten dengan tri-logi dari segi etimologi maupun bunyi—Bumi Manu-sia seumur hidup kita tak akan lupa pada masa ke-bangkitan nasional di Indonesia, pa-da Revo-lu-si- Prancis yang apinya menyambar seluruh- du-nia.
Melalui roman sejarah ia melestarikan dan men-de-kat-kan kita secara afektif dengan masa lalu yang ke-ron-tang dan hambar dalam buku-buku sejarah kita. I-a- memperkenalkan kita pada sosok-sosok pejuang (intelektualis) kemerdekaan yang dilupakan, pada pa-ra pengarang, pada Jakarta yang masih berhutan-hu-tan dengan kehidupan penduduknya yang multiras dan multietnis dalam buda-ya- yang tak terbayangkan o-leh generasi mu-da kita, sampai pada riwayat kuncir- Cina.
Sejumlah gubernur jenderal Belanda pada masa Hin-dia Belanda ia susun menjadi sosok yang bisa berwujud di pikiran kita. Di tangannya roman sejarah menjadi sarana multifungsi untuk menyampaikan banyak hal: impiannya, keyakinannya, kecemas-annya, pendidikan, seluruh pengetahuannya dalam gulungan cinta yang besar kepada bangsanya.
Dengan roman sejarah ia memperingat-kan bahaya-bahaya eksternal dan internal yang dihadapi oleh bangsa ini; khususnya yang terakhir, yang merupa-kan ancaman paling berpotensi untuk menghancurkan diri sendiri. Kebencian Minke kepada ayahnya adalah kebencian kepada kelemahan bangsanya, tepatnya budaya Jawa yang kaku, angkuh, hierarkis, dan mampat, yang tak memungkinkan bangsa ini berkembang mengikuti derap kemajuan bangsa lain di era industri yang bersaing dan dinamis.
Dalam katrologi Bumi Manusia, ia juga mengingat-kan bahwa bahasa adalah faktor penting, sarana efektif untuk mencerdaskan bangsa. Emansipasi nasional, impian utama Pram yang tak kunjung henti didengungkan Minke, berkaitan dengan pilihan bahasa Melayu yang merupakan sarana komunikasi yang digunakan pribumi pada masa itu. Dalam kait-an dengan bahasa, melalui sejumlah tokohnya, ia menegaskan bahwa menulis adalah senjata untuk menghancurkan penjajahan.
Pram juga percaya pada emansipasi wanita, begitu percaya hingga menyatakan bahwa kemajuan bangsa (kita) terletak di tangan wanita. Tak ada Majapahit yang jaya tanpa Gayatri, dan Nyai Ontosoroh sebagai tokoh penting dalam katrologi Bumi Manusia adalah perwujudan wanita tercerahi yang paling utuh dan mengesankan. Ia bahkan mewakili secara umum sosok manusia Indonesia modern yang diimpikan Pram, yang berpikir dan bersikap bebas, terbuka, selalu siap belajar, pekerja keras, dan berani. Di mata Pram semua wanita agung dan dimuliakan, seperti Maxim Gorky, pengarang besar Rusia, yang menulis Ibunda dengan penuh cinta dan kelembutan.
Kreativitas Pram dalam penulisan roman sejarah juga sangat menonjol. Tokoh-tokoh dengan berbagai watak dan perilaku, dari berbagai lapisan masyarakat dan masa, bersilangan secara fungsional dan masuk akal. Ia juga tak pernah mengulang bentuk atau warna yang sama dalam karya-karya sejarahnya. Bahkan keempat roman yang membentuk katrologi Bumi Manusia memperlihatkan variasi yang menarik dalam hal struktur dan tema.
Ada sentuhan percintaan dan suspens dalam roman yang pertama, penonjolan masalah-masalah sosial dengan penceritaan yang berlapis-lapis dalam yang kedua, penekanan perkembangan organis-asi pribumi dalam Jejak Langkah, dan Rumah Kaca me-rupakan paduan roman sejarah dan roman psikolo-gis yang kuat.
Masalah yuridis dan politis juga dijalin dalam komposisi yang serasi dengan tema-tema lain. Namun karya besar ini sebenarnya mengandung lebih banyak segi yang khas dan dalam menyangkut kehidupan individual, sosial, budaya, ekonomi, dan politik awal abad XX di kawasan Hindia Belanda dan di belahan dunia lain yang tak cukup dijelaskan dalam tiga empat buku kritik. Kita akan selalu menemukan hal baru dalam roman bengawan monumental itu.
Sementara Arok Dedes yang penuh intrik pol-itik lebih merupakan usaha untuk memahami situasi sosial politis masa pemerintahan Soeharto, dengan Empu Gandring yang ditampilkan sebagai pemasok senjata pasukan Singasari dan Dedes sebagai wanita muda penuh dendam dan siasat. Roman itu juga menggambarkan kehidupan religi Bugdha dan Hindu dengan berbagai sektenya yang saat itu masih rukun. Adapun Mangir, sebuah lakon sejarah yang langka, menonjolkan kesewenangan seorang raja Jawa yang tidak mempedulikan aspirasi rakyatnya.
Pram telah mampu menyublimasikan pengalaman hidupnya yang sangat kelam dalam ramuan dengan pengalaman sejarah bangsanya yang juga tak kalah gulita menjadi karya sastra mengagumkan yang diakui dunia. Saya percaya bahwa ia meninggalkan kita dengan perasaan damai karena telah menunaikan tugas duniawinya dengan menulis semaksimal mungkin, memberikan seluruh pengetahuan dan hidupnya bagi bangsanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo