TELUR Burung Gereja bernama ACPU, Armed City Partisan Unit atau Kelompok Partisan Kota Bersenjata. Pemberontak Komunis menciptakan kelompok ini dengan tujuan jelas. Menyiapkan satuan-satuan gerilyawan kota dengan tugas melakukan sabotase bangunan-bangunan vital, menyerang dan menghancurkan pos-pos polisi dan militer, memecah belah solidaritas masyarakat, melakukan aksi mata-mata. Sementara itu, untuk menyiapkan sarang buat si Burung, kawasan miskin di tengah perkotaan mereka garap agar pro kepada mereka. Pokoknya, daerah miskin itu diusahakan menjadi semacam asrama buat angota-anggota ACPU. Di situ mereka bisa aman, tersembunyi dari kejaran aparat keamanan. Tujuan akhir teror ini adalah huru-hara. Terjadinya pemberontakan dan demonstrasi-demonstrasi massa menentang pemerintah. Sasaran pertama mereka pada aparat keamanan itu, polisi dan tentara, untuk meneguhkan citra di masyarakat bahwa mereka CPP Partai Komunis Filipina beserta sayap organisasinya NDF, Front Demokrasi Nasional dan sayap militernya NPA, tentara pemberontak komunis -- lebih jago daripada polisi dan militer pemerintah. Jika mereka membantai juga orang-orang sipil, selalu terlebih dahulu orang-orang itu mendapat cap tertentu. Pegawai pemerintah "pemeras rakyat", pemimpin masyarakat yang "dibenci", atau si kayayang"dekaden". Bila korbannya rakyat kecil, penjelasannya, misalnya, "Oh, tukang es itu 'kan informan polisi?" Atau, "pemilik toko kelontong itu bukankah musuh masyarakat?" Bukan jatuhnya korban itu sendiri sebenarnya yang mereka tuju. Akan tetapi efek dari itu, yakni memppulerkan gerakan perlawanan kota. Dan untuk tiap darah yang tetes, selalu kemudian diumumkan bahwa yang mereka bunuh memang harus membayar utang nyawa kepada rakyat. Selalu ada pembenaranpembenaran, dengan tujuan agar masyarakat membenarkan teror mereka, bukannya mengutuk pembunuhan-pembunuhan itu. Biasanya, untuk sementara setidaknya, massa memang tak bersikap simpatik terhadap sorang kopral atau sersan yang tergeletak dan kepala berlubang. Omongan yang beredar kemudian, "Oh, ia memang sersan yang simpatik di kampung kami, tapi ia memang seorang fasis." Tapi menurut catatan Brigjen Tan-Gatue, yang melakukan studi tentang gerilyawan kota Filipina ini, ternyata banyak sekali korban sampingan. Maksudnya, yang dibunuh bukanlah sasaran sebenarnya. Itu sebuah kekeliruan. Umpamanya istri seorang pemilik toko kelontong suatu hari ditembak mati oleh ACPU. Alasannya, kemudian diketahui, ia menolak memberikan "sumbangan" 20 peso (sekitar Rp 1.600), sepasang sandal karet, dan beberapa helai celana dril. Tapi kemudian anggota NPA yang tertangkap, Carding Villaflor, menyatakan bahwa pembunuhan terhadap istri pemilik toko itu salah. "Mereka membunuh tanpa banyak pertimbangan. Doktrin partai telah membuat orang-orang itu menjadi berdarah dingin, mesin pembunuh tanpa otak," kata Villaflor. "Dan sekali mencicipi bau darah, mereka akan ketagihan, dan tak apa pun yang bisa mencegahnya." Diketahui kemudian orang NPA yang buka suara itu mati ditembak Sparrow Units. Bagi organisasi ini, itulah memang yang diharapkan. Dengan cara itu mereka menteror masyarakat hingga memudahkan organisasi memungut "dana" buat "perjuangan". Dengan cara itu pula ingin diketahui oleh gerakan kiri ini, siapa pro kepada mereka dan siapa yang menentang -- antara musuh dan kawan bisa jelas dibedakan. Yang tak jelas hingga kini yakni kapan persisnya telur ACPU itu menetas. Kapan sebenarnya Burung Gereja pertama kali memperdengarkan cicitnya. Sejauh yang bisa dilacak oleh Brigjen Tan-Gatue, organisasi ini (CPP beserta sayap-sayapnya) berbasiskan para petani. Dari merekalah lalu dibentuk kelompok milisia, diorganisasi dan dilatih perang gerilya. Sejumlah milisia petani yang bisa diandalkan lalu dimasukkan dalam NPA. Sari pati NPA itulah, yakni mereka yang tergolong pemberani dan jago-jago tembak, yang menjadi anggota Sparrow Units, yang lebih bertugas di kota-kota daripada di pedesaan. Satu contoh bagaimana gerakan ini sukses membentuk opini masyarakat, bahwa "perjuangan" mereka benar, yakni ketika Celso Maghanoy ditembak mati polisi. Maghanoy, dikenal dengan nama "Kumander Bondying", diduga komandan ACPU di Davao yang pertama. Kematiannya, Agustus 1983, menimbulkan demonstrasi yang memprotes polisi sebagai sewenang-wenang. Para demonstran menamakan diri mereka "kelompok hak asasi". Eddie Solis, yang dijuluki si "Busur", wakil Maghanoy, kemudian memimpin ACPU. ACPU, lebih tepat Sparrow Units, memiliki daftar korban yang dibagi menjadi sasaran utama dan kedua. Yang utama, para anggota polisi dan tentara ditambah siapa saja yang terlibat dalam kesatuan antipemberontak komunis. Sasaran kedua, orang pemerintah yang berkaok-kaok menyerang gerakan komunis, wartawan yang propemerintah, dan orang-orang sipil yang diduga menjadi informan polisi. Di samping itu masih ada sasaran ketiga, yakni para kapitalis, tua tanah, dan yang mereka sebut sebagai kaum borjuis. Di atas semua itu, sasaran pembunuhan paling utama adalah para pembelo anggota organisasi yang kemudian propemerintah, atau mereka yang tertangkap polisi dan diduga akan buka suara. Yang mengerikan adalah siapa saja anggota organisasi berhak mencantumkan nama dalam daftar yang akan mereka habisi. Ketua CPP memutuskan apakah nama yang diusulkan diterima atau tidak. Sang ketua-lah yang kemudian memberikan kuasa kepada kesatuan Sparrow Units di daerah korban bertempat tinggal, untuk melaksanakan pembantaian. Dari semua informasi itulah akhirnya kesatuan anti-Sparrow Units Davao mampu mencerai-beraikan Burung Gereja. Umpamanya kemudian ada recruitment polisi dan militer yang dilatih intensif untuk menghadapi perkelahian tanpa senjata, tapi yang juga sanggup dalam sekejap menarik pistol dan menembak tepat pada sasaran. Mereka juga disiapkan untuk menghadapi perkelahian satu lawan tiga sampai lima orang. Dan guna melacak anggota Burung Gereja, kesatuan ini menggunakan cara yang sama: mendekati masyarakat, menugasi mereka menjadi pengamat daerahnya. Satu hal yang kemudian sangat efektif, anggota kesatuan diminta selalu siap siaga tanpa menunggu komando, mereka, secara beregu atau sendiri, mesti kreatif: cepat bergerak bila ada korban Burung Gereja jatuh. Satu mekanisme yang diterapkan, dalam radius dua kilometer dengan titik pusat tempat kejadian harus segera dijaga. Repotnya, Manila bukan Davao, dan telah ada jarak waktu antara munculnya Burung Gereja di kawasan Filipina Selatan dan menyebarnya mereka di Manila. Tentunya, gerilyawan militan itu bisa juga mengubah taktik operasi mereka. Dan bila metode teror yang baru yang mereka terapkan di Manila, tentu aparat keamanan ibu kota Filipina itu bakal repot. Jatuhnya sekian puluh korban hanya dalam beberapa bulan, dan hanya beberapa anggota Burung Gereja yang bisa ditahan, bukan mustahil memang Burung Gereja telah mengubah cara terbang dan cara mematuk. Akankah mereka ambil bagian dalam pelaksanaan undang-undang land reform mulai pekan ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini