DUA pemuda dengan pistol di tangan meloncat entah dari mana. Mayor Polisi Felicisimo del Rosario mengerem mobilnya. Ketika itulah terdengar tembakan, lalu Rosario terhenyak di belakang setir tak sempat kaget: peluru-peluru itu bersarang dalam tempurung kepalanya. Secepat kilat dua pemuda itu menghilang dengan membawa pistol kaliber 45 milik korban. Pagi itu, komandan distrik Catitipan, Davao, Filipina, dalam perjalanan menuju kantor. Di sebuah jalan sempit Sersan Praxedes Villanueva merosot dari tempat jok depan jipnya, setelah kepalanya ditembus peluru. Si penembak menghilang dengan membawa pistol Villanueva. Tiga remaja belasan tahun tiba-tiba saja muncul dari pinggir jalan. Dan bagaikan koboi, serentak dan cepat mereka menarik pistol masing-masing, lalu blam . . . blam. . . blam. Sersan Alvin Aquino tak sempat melawan. Darah mengucur dari lehernya. Ia tewas di tempat. Tiga koboi pun raib, juga beserta senjata korban. Sejumlah nama bisa dideretkan: Mayor Angkatan Darat Salvador B. Domogho, Sersan Polisi Evencio Teves, Kopral Polisi Aniceto Berdan. Semuanya saja kehilangan senjatanya setelah ditembak, biasanya, pada kepala. Itulah Davao, kota terbesar di Pulau Mindanao, pulau terbesar setelah Luzon, di Filipina. Kota rusuh, tempatorang jual-beli senjata seolah berdagang keperluan rumah tangga, tempat penyelundupan merajalela, sejumlah transmigran gelap -- termasuk dari Indonesia -- konon, berdesak-desakan. Nama-nama yang telah disebutkan itu termasuk dalam daftar 115 korban penembak gelap dalam enam bulan terakhir ini. Mereka terdiri dari 55 aparat keamanan, tujuh pegawai pemerintah, dan sisanya warga negara sipil -- jadi sasaran penembak tepat NPA (New People's Army), tentara pemberontak kiri. Para penembak tepat itulah yang belakangan ini dikenal sebagai Sparrow Units, Kelompok Burung Gereja. Burung-burung Gereja itu bergerak dalam kelompok tiga atau lima orang atau kurang dari itu. Inilah pasukan teroris dari pemberontak komunis Filipina, yang mulai mengharu-biru Davao di akhir 1982, ketika Filipina masih di bawah rezim Marcos. Cara Burung-burung itu menyerang, mematuk korbannya di daerah kota, dan lalu menghilang tanpa jejak -- mirip teknik pengacauan dan pembunuhan yang dipakai oleh teroris Brigade Merah atau sejenisnya -- menyebabkan mereka disebut gerilyawan kota. Untuk apa itu semua? Pada mulanya orang Filipina sendiri tak paham. Hanya ada dugaan, gerilyawan komunis sedang meningkatkan aksinya. Kemudian banyak hal terungkapkan dari studi Brigjen Dionisio S. Tan-Gatue, Wakil Komandan Kepolisian Distrik Crame, Davao, yang punya pengalaman bertahun-tahun memimpin perang melawan teror Burung Gereja. Pertengahan 1983 aksi teror di Davao tercatat paling merusuhkan. Hampir menjadi berita rutin, bahwa dua atau tiga polisi tewas, digasak gerilyawan kota. Dan selalu, senjata mereka ikut lenyap. Surat-surat kabar lokal nyaris menjadi harian berdarah hampir tiap hari halaman pertama memuat korban penembak gelap. Tak jarang dalam daftar korban terdapat pula wartawan. Sebagian yang kcut pindah ke lain kota. Nyata kemudian bahwa pembunuhan-pembunuhan itu merupakan cara mereka menyatakan kehadiran kepada warga kota, cara agar mereka masuk media massa. Dari "perjuangan bersenjata kaum proletar" itulah propaganda Burung Gereja. Teror terhadap kaum buruh, mahasiswa, dan generasi muda, kaum profesional dan gereja, diupayakan untuk memperoleh pengikut. Dan tujuan besarnya, pelan-pelan membuat semangat pemerintah dan rakyat Filipina menjadi bengkok. Berdasarkan studi panjang oleh polisi yang ikut terjun dalam kancah pertempuran itu, diketahuilah taktik para perusuh. Mereka biasanya menyerang aparat keamanan di waktu-waktu mereka lagi santai. Di pasar swalayan ketika seorang serdadu sedang mengantarkan keluarganya berbelanja. Ketika korban sedang menyemirkan sepatu di pinggir jalan. Ketika seorang polisi sedang dalam perjalanan pulang atau menuju kantor. "Memang, ketika para polisi berangkat ke kantor, saat pulang dari kantor, merupakan saat yang rawan," tulis studi tersebut. "Para pembunuh itu tahu benar bahwa para polisi pulang dari kantor dalam kondisi capek. Itulah saat maut bagi mereka, dan sebaliknya waktu yang menguntungkan bagi pembunuh." Salah satu kesatuan yang terkenal berani menghadapi Burung Gereja dipimpin oleh Letnan Polisi Francisco Villaroman (kini ia Kapten), komandan kesatuan Polisi 431. Anak buah Villaroman-lah yang berhasil membekuk si Kumander Django, salah satu Burung Gereja pembunuh paling menakutkan. "Suatu ketika anak buah saya memblokir jalan dekat kuburan Cina, dan tembakmenembak dengan anak buah si Django tak terelakkan lagi," tutur Villaroman. "Si Django ternyata sehari-hari dikenal sebagai Carlito Remolleno. Sebagai pemimpin Sparrow Units ia punya banyak julukan, 'Brando', 'Texas', antara lain." Django berada dalam mobil sewaan ketika polisi memblokir jalan. Ia tak mau berhenti, malah melepaskan tembakan. Gaudioso Morgia, anggota kesatuan Polisi 431, tersungkur. Ia kena di dada. Tiba-tiba sebuah granat dilemparkan, meledak, dan Ricardo Torrendon, seorang petugas keamanan, terluka. Tapi mereka terdesak, dan rupanya Django -- nama itu tentu diambil dari nama jago tembak fiktif ciptaan orang Italia -- tak menyiapkan rencana pelarian. Seorang polisi berhasil menewaskan seorang pengawal Django ketika ia mencoba melarikan diri. Django pun terpaksa menerima beberapa peluru, dan tamatlah riwayatnya. Si jagoan inilah ternyata yang membantai Mayor Felicisimo del Rosario. Peluru pistol kaliber 45-nya persis sama dengan yang menewaskan komandan polisi distrik Catitipan beberapa lama sebelumnya. Dalam saku si pemimpin teroris juga ditemukan kertas-kertas yang membuktikan adanya hubungan antara mereka dan sindikat perjudian. Sindikat ini tiap triwulan menyumbangkan dana sebesar 60.000 peso, atau sekitar Rp 5 juta. Matinya Django membuat kelompok Burung Gereja kehilangan kekuatan. Semangat para teroris jadi loyo. Ternyata, si jagoan, yang bisa menembak dengan dua pistol sambil mengendarai sepeda motor dan tepat mengenai sasaran yang bergerak, bukan apa-apa. Dalam waktu beberapa bulan setelah Django mati, 40-an Burung Gereja ditangkap atau ditembak. Jepitan ketakutan yang mencengkeram Davao mulai kendur. Polisi-polisi yang selalu mimpi buruk memperoleh peluru di kepalanya, atau para pengusaha yang selalu cemas digulung bom waktu, mulai agak santai. Kesatuan Villaroman telah membuktikan bahwa teroris tidak semenakutkan yang mereka bayangkan selama ini. Dari pengusutan Brigjen Tan-Gatue, diketahui, Burung Gereja bergerak dengan sangat teliti. Mereka mengamati korbannya tak kurang dari sebulan dengan sangat saksama. Pertama-tama sebuah tim kecil akan menyelidiki lingkungan sosial tempat tinggal korban. Mereka mencatat dan menandai rumah tentara, polisi, dan anggota milisia yang berada di daerah itu. Lalu mereka merekrut beberapa warga masyarakat -- tentu, terlebih dahulu ada penyelidikan seberapa jauh mereka bisa dipakai -- untuk melaporkan kebiasaan-kebiasaan korban sampai sekecil-kecilnya. Mereka, orang yang direkrut itu, diminta akrab dengan korban. Target mereka, mengetahui pukul berapa korban pergi dari dan datang di rumah. Apa saja yang dilakukan korban bila berada dirumah, berapa lama, ditemani oleh siapa. Kapan korban membawa senjata, kapan tidak. Bahkan perlu juga dicatat, siapa yang suka berada di sekitar rumahnya. Apakah korban mengetuk pintu terlebih dahulu bila mau masuk rumah? Atau ia langsung memutar pegangan pintu? Atau ia membawa kunci sendiri? Bila membeli rokok dekat rumahnya, korban membawa senjata tidak? Dan bagaimana pula kebiasaannya membawa senjata: diselipkan di pinggang, dimasukkan ke dalam saku? Saku yang mana pula? Apakah ia punya kebiasaan siap menembak bila ia keluar dari rumah? Kewaspadaannya ini seberapa jauh? Apakah korban keluar rumah dengan pengawal? Berapa banyak? Bersenjata apa mereka? Apakah korban seorang penjudi, di mana pula biasanya ia bertaruh? Punya simpanan perempuan? Di mana, di hari apa, pukul berapa biasanya ia mengunjunginya? Apakah ia mengantarkan sekolah anak-anaknya? Jalan mana saja yang biasa ia tempuh? Di mana ia berputar? Dari semua informasi itu lalu ditentukan di mana korban akan dibantai. Lokasi itu, tentu saja, diselidiki dengan amat cermat pula. Di mana si penembak bersembunyi, di mana pula penembak cadangan bila bantuan diperlukan. Liku-liku jalan untuk melarikan diri, dan waktu yang dibutuhkan untuk semua operasi itu, selalu dicek. Terakhir, beberapa menit menjelang pelaksanaan rencana, mengecek segala sesuatu, jangan-jangan ada yang berubah. Tim pelaksana terdiri dari tiga sampai lima oang, dipimpin oleh si algojo sendiri. Di sini ada disiplin ketat, hanya orang yang ditunjuk yang boleh menembak. Hanya dalam keadaan sangat terpaksa, anggota lain boleh meletuskan senjata, terutama ditujukan pada pengawal atau teman korban. Senjata yang dipakai biasanya pistol kaliber 45 dengan magazin cadangan. Total, setiap pistol bisa memuntahkan 21 peluru -- masih ditambah sebuah granat. Korban bisa ditembak selagi ia di luar rumah, bila bisa situasi memungkinkan si Burung Gereja menyelinap tanpa diketahui. Atau ia dihabisi selagi menunggu kendaraan, atau waktu ia turun dari mobil. Bila diputuskan menembak korban di dalam mobilnya di dalam mobil memang kondisi paling rawan bagi calon korban -- ia akan dicegat di jalan ketika biasanya mobil itu berjalan agak pelan. Atau dicegat di tikungan -- tempat ideal untuk melakukan penembakan dan tempat yang memungkinkan pelarian diri berjalan gampang. Setelah korban tewas, mereka secepat mungkin harus menjauhkan diri dari tempat kejadian, mengambil arah berbeda-beda. Di tempat yang telah ditentukan, beberapa kilometer dari tempat mereka membunuh, mereka akan bertemu kembali, ganti baju, lalu mereka menyebar, berlindung di rumah-rumah yang sudah ditentukan. Rute jalan dan lorong pelarian diri itu sudah ditentukan, dan di rute itu pula sudah siap sedia orang yang akan menyembunyikan pistol mereka. Terbongkarnya sistem operasi Burung Gereja memudahkan operasi antiterorisme. Dan inilah salah satu sebab, di tahun lalu, Burung-burung Gereja keluar sarang. Membuat sarang baru di kota-kota yang lebih kecil. Yang meresahkan kini, sebagian terbang ke Manila, dan siap mengguncang ibu kota itu. Enrile, tatkala masih sebagai menteri pertahanan, pernah memperingatkan bahwa Sparrow Units siap melakukan terornya di Manila. Dan itu benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini