KAPAN Burung Gereja, Sparrow Units, ambil bagian dalam terorisme di Manila, sulit ditentukan. Tak cuma terbangnya dari Davao susah dilacak, persiapan sarang-sarangnya pun tampaknya tak mudah dicium. Yang jelas, dalam sebuah wawancara khusus dengan Manila Chronicle belum lama ini, Sergio Romero, wakil komandan oerasi dari Brigade Alex Boncayao mengakui bahwa kelompoknya bebas terbang dari satu ke sarang yang lain di sejumlah permukiman di sudut-sudut Manila. Brigade tersebut adalah cakal-bakal Sparrow Units di Manila. Adapun nama Brigade, mengabadikan nama tokoh buruh rekan Benigno Aquino Jr., Alex Boncayao, yang terbunuh pada 1982. Dari Romero itulah, terungkapkan betapa persiapan kelompok ini tidak sembarangan. Burung Gereja yang bergerak dalam kelompok tiga sampai lima orang itu ternyata didukung oleh satu organisasi yang bertruktur militer. Ada bagian intelijen, logistik, keuangan, propaganda, dan pendidikan. Di Manila, lebih daripada di Davao, mereka dibagi dalam wilayah: Manila bagian barat, timur, selatan, dan utara. Tiap wilayah dibagi lagi dalam tiga sampai lima subwilaah, menurut luas daerah dan tersedianya pasukan. De la Paz, dalam wawancara terpisah, menjelaskan, sementara kelompok-kelompok kecil bergerak di tengah kota, basis terbesar mereka tetap tinggal di luar kota. Berapa persisnya jumlah Burung Gereja di Manila, baik Romero maupun De la Paz tak menyebutkannya. Menurut Kolonel Emiliano Templo, wakil komandan pertahanan kota di Manila, ada sekitar 100 gerilyawan kota bersenjata di Metro Manila. Yang tak jelas, tak diketahui persis apakah semuanya gerilyawan kiri anggota Sparrow Units, atau bukan. Dan baru dalam wawancara dengan Romero inilah diketahui adanya Burung Gereja wanita. Kelompok ini, seperti namanya, Burung Gereja, bergerak dengan sangat gesit. Hubungan dengan Sparrow di Davao, diduga hanya hubungan organisasi. Sebagian besar Burung Gereja di Manila memang anak-anak Ibu Kota itu sendiri. Itu bukan soal pembagian daerah, melainkan persyaratan teknis. Yakni, dibutuhkan orang-orang yang benar-benar mengenal liku-liku jaringan jalan besar dan jalan tikus di Manila. Gebrakannya menyurutkan nyali, namanya membuat keder warga kota, tapi menurut Romero, dalam kehidupan sehari-hari anggota Burung Gereja dikenal sebagai anak-anak muda pemalu. Mungkin inilah salah satu sebab, aparat keamanan agak sulit melacak para penembak gelap, meski mereka bergerak hanya beberapa menit setelah korban jatuh. Diakui baik oleh De la Paz maupun Romero, efek teror mereka kini tak seperti yang diharapkan. Itu bila dibandingkan dengan hasil pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan Burung Gereja di Davao, sewaktu zaman Marcos. Yakni, simpati masyarakat kepada gerakan teror kini makin berkurang. Dulu, begitu seorang polisi atau tentara jadi korban, ada semacam rasa bersyukur diam-diam dari massa. Umpamanya, mereka akan melindungi si pembunuh, setidaknya cukup menggelengkan kepala bila polisi menanyakan ciri-ciri pelaku. Kini, semangat itu tak ada lagi. Mungkin, pemerintahan Cory Aquino punya andil dalam mengurangi rasa simpati massa terhadap teroris. Kebijaksanaannya untuk berpihak pada rakyat kecil -- misalnya landreform sekarang ini -- memang berbeda dengan sikap Marcos. Tercatat, enam bulan setelah April 1986, jatuh 23 korban Burung Gereja, yang sebagian besarnya anggota polisi. Setelah itu gerakan kelompok teroris ini muncul-tenggelam, tak terduga kapan beraksi, kapan menghilang. Tapi April yang lalu, dalam waktu kurang lebih empat minggu Burung Gereja menyikat 20 korban, polisi dan warga sipil. Mungkin itu salah satu reaksi atas ditembakinya para petani yang mendatangi Istana Malacanang untuk minta segera dilaksanakannya landreform -- waktu itu, sekitar awal tahun, 15 petani tertembak, mati. Tanpa menyebutkan tempat-tempatnya, Romero bercerita bahwa anggota NPA yang dipandang layak direkrut, dilatih selama enam bulan sebagai gerilyawan kota. Mereka ditempa segala macam taktik membuat kerusuhan, bagaimana harus survive di tengah kota. Lebih dari Burung Gereja yang bersarang di Davao, Burung Gereja di Manila mendapat pula indoktrinasi politik perang. Setelah itu masih ada masa percobaan enam bulan lagi, langsung praktek di kota. Bila mereka lulus, resmilah mereka sebagai Burung Gereja, ditempatkan di lokasi-lokasi tertentu, diharuskan waspada setiap saat, menunggu tugas. Yang tak dijelaskan dalam wawancara itu, dari mana mereka memperoleh biaya. Mestinya, sebagaimana terjadi di Davao, ada sejumlah donatir sukarela, di samping orang-orang yang diperas. Membandingkan hasil studi Brigjen Dionisio S. Tan-Gatue tentang Sparrow Units di Davao dengan hasil wawancara Manila Chronicle, tampaknya memang ada perbedaan antara Burung Gereja Davao dan Manila. Selain yang telah disebutkan, dalam menentukan korbannya, Burung Gereja Manila tak sembarangan. Menurut Romero, daftar nama korban lama dipertimbangkan sebelum keputusan membunuh dijatuhkan. Ada pertimbangan dari kader-kader organisasi yang mengumpulkan informasi tentang calon korban. Keterangan itu sendiri dikumpulkan dari masyarakat lingkungan calon korban tinggal. Dilihat dari daftar korban, pasukan Burung Gereja di Manila memang sekilas mengesankan sebagai "pelindung rakyat". Di Davao daftar korban sebagian besar polisi dan tentara. Di Manila, tutur Romero, para bos bandit, germo, dan tukang perkosa, termasuk musuh Burung Gereja. Toh, simpati yang mereka peroleh tak sebesar di masa Marcos. Tak ada lagi demonstrasi massa yang memberikan simpati ketika seorang pemimpin Burung Gereja ditangkap atau ditembak. Hilangnya simpati itu antara lain karena pada 1985 di Davao jatuh 40 korban yang semuanya warga sipil, dan Burung Gereja menyatakan merekalah pelakunya. Adapun sebab mereka dibantai, ke-40 orang itu dituduh sebagai informan. Ternyata, setelah diadakan pengusutan, sebagian besar korban orang yang tak punya sangkut-paut secuil pun dengan polisi dan tentara. Burung Gereja bisa jadi akan dianggap kelompok penjahat biasa, bila misi mereka tak lagi diterima masyarakat. Kemiskinan memang ladang subur bagi komunisme. Tapi sikap pemerintah yang bersimpati kepada rakyat kecil dengan jujur tampaknya bisa menjadi benteng ampuh. Burung Gereja mungkin tak akan bisa lagi bersarang di rumah-rumah penduduk, mungkin mereka terpaksa terbang menghilang, bersembunyi di hutan-hutan dan berubah jadi burung buas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini