Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Dekade Jalan di Tempat

Segudang masalah masih menghambat pengembangan energi panas bumi. Rendahnya harga jual listrik dan izin lahan jadi pokok persoalan.

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT tahun sudah Donny Frenky ditempatkan di Desa Silangkitang, Kecamatan Pahae Jae, Sumatera Utara. Selama itu pula tugasnya sebagai Manajer Hubungan Eksternal dan Pembebasan Lahan PT Medco Geothermal Indonesia tak berubah: menyiapkan lapangan Silangkitang, salah satu dari empat lapangan di wilayah kerja panas bumi Sarulla.

Hampir tiap akhir pekan dia me­ngunjungi desa-desa di sekitar lokasi pengembangan untuk mensosialisasi energi geotermal. Bersamaan dengan itu, ia menawar lahan yang akan dipakai sebagai jalur pipa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla. Donny telah berhasil membebaskan lahan 3 hektare dengan panjang lebih dari 1,3 kilometer. Namun proyek itu ternyata tak kunjung dimulai. "Seharusnya tahun ini sudah jalan, tapi belum juga," kata Donny, Kamis dua pekan lalu. "Masyarakat sudah bertanya-tanya."

Sarulla, yang disebut-sebut sebagai wilayah kerja panas bumi dengan potensi 330 megawatt atau terbesar di Indonesia, telah menanti digarap sejak dua dekade silam. Lapangan ini pertama kali dikembangkan oleh Unocal North Sumatera Geothermal (kini Chevron) pada awal 1990-an. Namun tak ada hasil.

Nasibnya hingga kini tak berubah. Padahal, sejak 2007, pengelolaannya telah berpindah tangan ke penggarap baru, yaitu kontraktor kerja sama operasi PT Pertamina Geothermal Energy dengan konsorsium Medco Geothermal, Ormat Technologies, Itochu Corporation, dan Kyuden International Corporation.

Awalnya, konsorsium Medco berencana mengetes produksi Sarulla pada 2008, setelah berhasil membersihkan dua dari lima sumur peninggalan Unocal di Silangkitang. Dari uji coba itulah proses pembangunan pembangkit, termasuk pembiayaannya, bisa dimulai. Dengan asumsi pembangunan pembangkit memakan waktu 30 bulan, PLTP Sarulla seharusnya sudah terbangun dan mulai memasok listrik tahun ini.

Tapi semua itu baru sebatas rencana. Direktur Utama PT Medco Geothermal Indonesia, Aries Pardjimanto, mengatakan hingga saat ini pengetesan belum bisa dimulai karena negosiasi dengan Pertamina Geothermal dalam hal status kepemilikan aset pembangkit belum tuntas.

Japan Bank International Corporation dan Asian Development Bank, yang berminat membiayai proyek ini, baru mau meneken perjanjian kredit jika negosiasi tersebut rampung. "Kami berharap semuanya beres tahun ini, jadi tahun depan bisa langsung uji coba produksi," kata Aries. Jika semuanya lancar, konsorsium baru bisa merealisasi pembangunan PLTP Sarulla pada 2013-2014.

Sarulla hanyalah satu dari ­puluhan proyek pengembangan energi panas bumi di Indonesia yang sudah tiga dekade terakhir seperti jalan di tempat. Dua tahun lalu, pemerintah telah mencanangkan program percepatan pembangunan pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan, terutama panas bumi.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat, sumbangan geotermal masih relatif kecil: hanya 1.189 megawatt, yang disetor oleh enam dari 50 wilayah kerja panas bumi di Indonesia. Padahal Indonesia dikenal sebagai "Bagdad-nya" geotermal, karena menyimpan potensi terbukti panas bumi 29 ribu megawatt alias terbesar di dunia.

Indonesia bahkan tertinggal dibandingkan dengan Filipina, yang kini telah memproduksi 1.970 megawatt dari potensi 3.000 megawatt yang mereka miliki. Masalah negosiasi kontraktor dengan pemilik wilayah kerja, seperti di Sarulla, adalah contoh dari setumpuk persoalan dalam pengembangan energi alternatif ini.

Dalam sepuluh tahun terakhir, yang menjadi permasalahan utama adalah tarif penjualan listrik panas bumi kepada PT PLN yang dinilai para pengembang kelewat rendah, yakni US$ 4,5-5 sen per kilowatt jam (kWh).

Pemerintah sebenarnya telah mengatasi masalah ini dengan menerbitkan aturan tarif baru pada 2009, yang mematok harga tertinggi US$ 9,7 sen per kWh. Tapi belakangan batas atas harga jual ini pun dinilai tak ekonomis untuk diterapkan di beberapa wilayah kerja yang memiliki tingkat kesulitan tinggi.

Lapangan Lahendong milik Pertamina Geothermal yang bersifat asam, sehingga mempercepat kerusakan alat produksi, merupakan salah satu contohnya. Medco Geothermal juga pernah urung menggarap wilayah kerja Sipaholon, Sumatera Utara, karena hasil kajiannya menunjukkan lapangan tersebut didominasi air panas. "Teknologinya lebih mahal," kata Aries, "harga 9,7 sen saja tak cukup."

Bagi pengembang, harga jual listrik sangat penting karena bisnis geotermal padat modal dan penuh risiko. Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Slamet Riyadi mencontohkan, tahap eksplorasi berupa pengeboran membutuhkan dana Rp 50 miliar per sumur.

Satu wilayah kerja perlu dibor paling sedikit tiga sumur. "Dari tiga atau lima sumur pengeboran, biasanya satu sumur gagal," ujarnya. Belum lagi investasi pembangunan pembangkit panas bumi yang setiap 100 megawatt diperkirakan membutuhkan US$ 400 juta.

Jika proyek tak cukup ekonomis, perbankan pasti enggan membiayai. Walhasil, lagi-lagi rencana kontraktor menggarap proyek tertunda. "Hingga saat ini lembaga keuangan masih melihat panas bumi sebagai bisnis yang berisiko," kata Praktimia Semiawan, Direktur Utama PT Geodipa Energy, yang mengembangkan lapangan panas bumi Patuha dan Dieng.

Persoalan klise lain yang hingga saat ini belum terselesaikan adalah sukarnya perizinan lahan. Sebagian besar wilayah kerja panas bumi yang berada di daerah pegunungan berapi selalu beririsan dengan hutan lindung. Undang-Undang Kehutanan sampai hari ini masih mengkategorikan pengembangan energi panas bumi sebagai kegiatan pertambangan, sehingga rencana pekerjaan terhambat karena izin masuk kawasan tak keluar.

Menurut Aries, yang juga menjabat Wakil Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, usaha panas bumi berbeda dengan eksploitasi minyak, gas, atau batu bara. Produksi panas bumi sangat membutuhkan uap panas, sehingga pelestarian lingkungan mutlak dilakukan untuk menjaga debit air di dalam perut bumi. "Ini yang sering tak dipahami."

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kardaya Warnika mengakui segudang persoalan tersebut menyebabkan ­energi panas bumi tak berkembang. Karena itu direktorat jenderal yang dipimpinnya saat ini sedang menggodok perubahan aturan tarif. "Perlu dinaikkan karena karakteristik wilayah kerjanya ada yang mudah, ada juga yang sukar," katanya.

Begitu pula dengan urusan tumpang- tindih dengan lahan kehutanan. Saat ini Kementerian Energi dan Kementerian Kehutanan sedang menggarap draf surat keputusan bersama untuk membuka peluang pengembangan panas bumi di hutan lindung. "Pada prinsipnya kami mendukung," kata Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Imam Santosa, Selasa pekan lalu.

Jika kedua persoalan ini teratasi, Kardaya yakin pembiayaan proyek yang selama ini seret akan lancar. "Karena sebenarnya banyak juga investor yang datang," ujarnya.


Sebaran Potensi Panas Bumi

2 WKP di NAD

  • Jaboi (50 MW)
  • Seulawah
  • Agam (160 MW)

    4 WKP di Sumatera Utara

  • Sarulla (330 MW)
  • Sipaholon Ria-ria (75 MW)
  • Sorik Merapi-Roburan Rampuraga (240 MW)
  • Gn. Sibayak-Sinabung (12 MW)

    4 WKP di Sumatera Barat

  • Bukit Kili (83 MW)
  • Gn. Talang (36 MW)
  • Liki Pinangawan Muaralaboh (400 MW)
  • Bonjol (200 MW)

    1 WKP di Jambi

  • Sungai Penuh (110 MW)

    1 WKP di Bengkulu

  • Tambang Sawah-Hululais (110 MW)

    3 WKP di Sumatera Selatan

  • Lumut Balai (220 MW)
  • Rantau Dedap (220 MW)
  • Danau Ranau

    4 WKP di Lampung

  • Gn. Rajabasa (220 MW)
  • Suoh Sekincau (230 MW)
  • Waypanas Ulubelu (220 MW)
  • Danau Ranau (210 MW)

    2 WKP di Banten

  • G. Endut (80 MW)
  • Kaldera Danau Banten (110 MW)

    10 WKP di Jawa Barat

  • Ciater-Tangkuban Parahu (60 MW)
  • Cibeureum-Parabakti (375 MW)
  • Cibuni (10 MW)
  • Cisolok Cisukarame (40 MW)
  • Gn. Tampomas (45 MW)
  • Gn. Tangkuban Parahu (110 MW)
  • Kamojang-Darajat (425 MW)
  • Karaha Cakrabuana
  • Pangalengan (227 MW)
  • G. Ciremai (150 MW)

    5 WKP di Jawa Tengah

  • Baturaden (220 MW)
  • Dieng (60 MW)
  • Guci (79 MW)
  • Gn. Ungaran (110 MW)
  • Karaha Bodas (140 MW)

    3 WKP di Jawa Timur

  • Blawan Ijen (270 MW)
  • Gn. Iyang Argopuro
  • Telaga Ngebel (165 MW)

    1 WKP di Bali

  • Tabanan

    2 WKP di NTB

  • Hu’u Daha (65 MW)
  • Sembalun (20 MW)

    1 WKP di Sulawesi Tengah

  • Marana (30 MW)

    1 WKP di Gorontalo

  • Suwawa (110 MW)

    2 WKP di Sulawesi Utara

  • Kotamobagu (80 MW)
  • Lahendong-Tompaso (60 MW)

    2 WKP di NTB

  • Hu’u Daha (65 MW)
  • Sembalun (20 MW)

    2 WKP di Maluku Utara

  • Jailolo (75 MW)
  • Songa Wayaua (140 MW)

    1 WKP di Maluku

  • Tulehu (20 MW)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus