CHANDRIKA Kumaratunga, seperti pemimpin-pemimpin sebelum dia, menyadari bahwa Sri Lanka tidak bisa kembali menjadi negara damai dan makmur tanpa ada penyelesaian sengketa etnis. "Konflik ini menguras keuangan pemerintah tanpa ampun," katanya. "Sedikitnya, seperempat anggaran negara habis untuk itu."
Itu sebabnya, dia memilih menantang risiko. Sejak 1994, Chandrika mulai mendekati tokoh-tokoh pemimpin Tamil yang moderat. Di bawah sorotan amarah para pendukungnya, yakni mayoritas Sinhala, pada 1995 dia juga menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan gerilyawan Tamil yang ingin memisahkan diri.
Dia juga menyodorkan berbagai paket negosiasi kepada pihak sesesionis Tamil, meski belum satu pun yang jitu keefektifannya. Hanya beberapa bulan setelah gencatan senjata, Macan Tamil melanggar perjanjian itu dengan mengebom sebuah kapal milik pemerintah.
Di samping itu, Chandrika juga harus membujuk pihak oposisi—Partai Nasional Bersatu (UNP) yang kini dipimpin Ranil Wickremesinghe. Kadang-kadang mendapatkan restu oposisi ini tidak kalah sukarnya dengan mendapatkan kepercayaan kaum Tamil, yang selalu curiga bahwa dalam tiap paket ada durinya. Akibatnya, sampai saat ini negosiasi masih saja buntu.
Meski konflik belum kunjung reda, Chandrika mulai membangun negeri dari remah-remah berdarah dengan mengambil risiko lain pula. Partainya sendiri, Partai Kemerdekaan Sri Lanka, yang dominan dalam koalisi Aliansi Rakyat memiliki paham sosial demokrat. Namun, Chandrika menganggap liberalisasi ekonomi sebagai jalan penyelamatan.
Dia mengimbau partisipasi swasta dalam pembangunan negara. Selain itu, penanam modal asing pun diundang untuk ikut serta.
Walau sengketa etnis ini menghambat kemajuan Sri Lanka untuk bersaing dalam ekonomi dunia, tidak berarti bahwa kehidupan perekonomian berhenti total. Ekspor tehnya masih tetap kuat. Industri-industri yang paling menonjol di Sri Lanka ialah industri rumahan. Semua industri tekstil serta perkebunan rempah-rempah dan sayur dilaksanakan dalam skala kecil-menengah.
Meski dalam percaturan ekonomi dunia negara ini tidak terlalu menonjol, tidak berarti taraf kehidupan rakyatnya rendah. Meski pendapatan per kapitanya masih relatif rendah, US$ 500 per tahun, taraf pendidikan mereka tinggi. Sekitar 89 persen penduduk dapat membaca. Kesehatan mereka pun terjaga, panjang usia rata-rata penduduknya 71 tahun. Tak kurang 975 dari setiap 1.000 bayi yang lahir tumbuh dewasa. Tingkat pengangguran, menurut sensus 1993, hanya 12,7 persen.
Karena tak ada penerbangan langsung ke Kolombo dari sumber-sumber pelancong di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Korea, serta Australia, pertumbuhan industri pariwisatanya agak terhambat. Namun ini tidak terlalu memusingkan kebanyakan penduduk. Bahkan seorang pejabat justru mengatakan senang. "Kami tidak ingin negeri kami dibanjiri wisatawan. Sri Lanka termasuk kecil. Jika arus pariwisata sampai sukar dibendung, budaya negara ini akan terpengaruhi," katanya. "Walau kami senang dikunjungi orang-orang asing yang bisa menghargai budaya kami, kami tidak ingin rakyat menjadi keranjingan dolar dan menyesuaikan kebiasaan serta budaya mereka pada kebutuhan dolar wisata."
Paket-paket wisata yang ditawarkan biro-biro perjalanan Sri Lanka biasanya hanya berkisar 7-11 hari. "Itu masih dalam jangkauan kendali kami," kata sang pejabat.
Tampaknya kendala perkembangan yang paling menonjol kembali lagi pada sengketa etnis Sinahala-Tamil. Terlalu banyak anggaran negara terpaksa disalurkan kepada angkatan bersenjata, satu-satunya faktor yang tumbuh pesat. Bayangkan, ketika pertikaian senjata mulai pada 1983, Angkatan Darat Sri Lanka cuma punya 12 ribu serdadu dan 600 perwira. Tapi, 14 tahun kemudian, kekuatannya melonjak jadi 115 ribu dengan 6.000 perwira, padahal pertambahan penduduknya selama kurun waktu itu hanya sekitar setengah juta jiwa. Yang lebih seram lagi ialah jumlah yang dikeluarkan untuk pertahanan: US$ 7 miliar pada 1997 dan US$ 7,1 miliar tahun berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini