MERASA kian terdesak oleh mayoritas Sinhala, tokoh-tokoh muda radikal Tamil mulai mengangkat senjata melawan pemerintah pada awal 1970-an. Mereka berhasrat mendirikan Eelam, tanah merdeka Tamil, jika perlu dengan kekerasan. Darah mulai tumpah pada 1975. Vellupillai Prabhakaran, pemuda keturunan kasta rendah, memimpin sekelompok pemuda radikal mengepung rumah wali kota Jaffna, lalu membunuhnya. Sang wali kota, yang tak lain adalah pengacara terhormat dari suku Tamil, dituding sebagai alat pemerintah.
Reaksi pemerintah sangat hebat. Dalam kurun satu tahun, lebih dari 100 pemuda Tamil ditangkap dan disiksa. Pemerintah Perdana Menteri Sirimavo Bandaranaike mengira tindakan itu bisa membuat jera siapa saja yang berani melawan pemerintah. Yang terjadi adalah sebaliknya. Bentrok senjata berlangsung kian rutin antara pemberontak Tamil dan polisi serta tentara. Satuan-satuan tentara, yang dianggap terlampau kejam terhadap kaum sipil Tamil, menjadi sasaran serangan para pemberontak.
Pengganti Bandaranaike, J.R. Jayawardene, tidak pula lebih bersahabat. Pada Juli 1979, Jayawardene malah memberi kekuasaan kepada para perwira tinggi Angkatan Darat Sri Lanka untuk "membasmi terorisme dalam waktu enam bulan". Padahal sebelum terpilih pada 1977, Jayawardene, yang menganut paham ekonomi liberal, berjanji akan mengikutsertakan kaum Tamil dalam pembangunan masyarakatnya yang makmur.
Agaknya, Jayawardene cepat sadar bahwa untuk melaksanakan kebijakan ekonomi pasar bebasnya saja, tugasnya akan cukup rumit. Masyarakat Sri Lanka sudah terbiasa dengan kebijakan ekonomi sosialisme. Tidak mudah mengubah pemikiran rakyat bahwa segala kebutuhan mereka kini tak lagi akan ditangani pemerintah. Ia memandang masalah Tamil tidak penting untuk ditangani.
Permusuhan makin runcing. Pada permulaan 1980-an, penggerebekan dan penangkapan dilakukan hampir tiap hari di daerah kediaman kaum Tamil. Dan saat ada kesempatan, kaum militan Tamil membalas dengan membantai perwira polisi dan Angkatan Darat Sri Lanka. Bagi kaum Tamil perjuangan ini menjadi perjuangan etnis dalam mempertahankan budayanya.
Mula-mula, kekerasan terbatas pada kawasan utara dan timur, tapi pada 1983 terjadi peristiwa yang mengikis habis sisa-sisa saling percaya antara kaum Tamil dan Sinhala di seluruh penjuru. Sebuah pos keamanan diserang Macan Tamil dan semua perwira serta bawahannya dibantai dengan kejam dan sadis. Ini benar-benar menyulut kemarahan orang-orang Sinhala dan mengobarkan kebencian yang tidak lagi rasional. Orang-orang Tamil di Kolombo yang pada umumnya tidak sektarian diserang kelompok Sinhala di jalan-jalan, di toko-toko, dan di rumah mereka. Kekerasan terhadap orang Tamil itu diberitakan di koran-koran internasional sebagai program pembersihan etnis. Yang masih hidup dan mampu lari ke luar negeri, yang tidak mampu meloloskan diri ke Jaffna, pusat gerakan militan Tamil. Terjadilah perpisahan de facto.
Kelompok-kelompok Tamil yang moderat memboikot peraturan antiseparatisme pemerintah dengan berbondong-bondong pindah ke Tamil Nadu, India. Dengan demikian, yang tinggal di Sri Lanka menjadi rawan terhadap gerakan militan. Berbagai kelompok pemberontak terbentuk, yang terbesar dan paling galak adalah LTTE atau Macan Tamil di bawah Prabhakaran. Menurut Rohan Gunaratna, penulis buku dan wartawan Sri Lanka, LTTE mendapat bantuan pelatihan dan pasokan senjata dari India.
Banyak faktor yang menyebabkan terlibatnya India dalam sengketa ini, seperti politik keseimbangan kekuasaan dunia. Pada permulaan 1980-an, situasi Perang Dingin sedang memuncak dan India condong berkiblat ke Uni Soviet. Badan Intelijen India konon mendapatkan bahwa Jayawardene telah menawarkan salah satu pelabuhannya, Trincomalee, sebagai pangkalan AS. Juga ada kekhawatiran kehilangan dukungan suara 40 juta warga Tamil Nadu yang bersimpati dengan saudara sesuku mereka di Sri Lanka.
Di atas permukaan, India, dengan persetujuan Jayawardene, mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Sri Lanka. Namun mereka mendapat kecaman dari kedua belah pihak. Pihak Sinhala menuduh mereka memihak Tamil, sedangkan pihak Tamil militan menuduh mereka memusuhi Tamil. Pada akhir 1989 pemerintah India memutuskan untuk menarik kembali pasukannya.
Dari segi lain, pemerintah pusat India mengendus perkembangan yang tidak diinginkan. Melihat kentalnya hubungan antara negara bagian Tamil Nadu dan Tamil militan di Sri Lanka, mereka melarang bantuan lebih lanjut kepada gerakan Tamil di Sri Lanka. Mereka melihat tanda-tanda bahwa Tamil Nadu mungkin bergabung dengan Tamil militan di Sri Lanka untuk mendirikan negara sendiri.
Bukan pemerintah pusat India saja yang menjadi kecut, kemungkinan ini jelas membuat ketar-ketir pemerintah Sri Lanka juga. Mereka tahu benar kalau ini benar terjadi, kaum Sinhala pasti akan terjepit: apa artinya 13,5 juta rakyat Sinhala dibandingkan dengan lebih dari 40 juta bangsa Tamil yang bersatu? Tidakkah ini berarti bahwa bangsa Tamil akan membanjiri Sri Lanka dan bangsa Sinhala terdupak ke sisi? Jadi, mereka girang benar bahwa India menghentikan bantuannya kepada gerakan Tamil.
Namun, ongkosnya mahal bagi India. Pada 1991, Rajiv Gandhi, yang sudah hampir memenangkan kembali posisi perdana menterinya, tewas dalam sebuah kampanyenya. Tanpa curiga dia menerima rangkulan dari seorang wanita, yang ternyata adalah pembom-bunuh-diri Macan Tamil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini