Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi Firmansyah
POLISI di Okinawa tahu siapa yang harus dihubungi jika ada pekerja Indonesia yang bikin ulah di pulau terluar Jepang yang ada di Laut Pasifik itu. Namanya Budi Firmansyah.
Dia manajer di Ken Churashima Jigyo Kuodo di Kuimai, perusahaan penyalur tenaga kerja asal Indonesia. Tapi bukan jabatan dan perusahaannya yang membuat laki-laki 36 tahun asal Kuningan, Jawa Barat, ini dihubungi penegak hukum Jepang yang tak kenal kompromi. Budi sangat diandalkan karena ia lancar Nihongo, paham hukum Jepang, dan bisa diminta sebagai penjamin.
Tak cuma sekali-dua kali Budi berurusan dengan polisi akibat buruh-buruh Indonesia di sana berbuat onar. Sekali waktu ia dikontak polisi malam-malam karena mereka baru saja menangkap lima pemuda mabuk yang merampok seorang nenek. "Saya temani mereka selama pemeriksaan dan menjaminnya selama di penjara," katanya pada Februari lalu di Naha, ibu kota Okinawa.
Kali lain, ia kembali ke kantor polisi karena ada anak buah kapal tertangkap menyetir mobil dengan mulut menyemburkan bau alkohol. Rupanya, pemuda itu menjadi sopir tembak pacarnya yang terkulai di kursi belakang karena mabuk. Ia membawa mobil dan pacarnya itu pulang dari tempat pesta.
Tentu saja kelakuan seperti itu melanggar hukum di Okinawa. Budi meyakinkan polisi bahwa pemuda itu melanggar aturan karena terpaksa. Ia menjamin anak itu tak akan mengulangi perbuatannya. Polisi percaya dan pemuda itu dibebaskan.
Ada juga buruh Indonesia yang datang mengadu karena pacarnya hamil. Gajinya sebagai anak buah kapal tak cukup membiayai seorang istri dan bayi. Budi menyarankan persalinan itu jalan terus dan ibu-bapaknya tak perlu menerakan alamat yang sama. Dengan begitu, si bayi tercatat akan dibesarkan oleh orang tua tunggal, yang hidupnya dijamin negara Rp 9 juta sebulan. "Ada-ada saja masalahnya," ujar Budi.
Laki-laki kelahiran Kuningan, 30 Agustus 1983, ini sudah 15 tahun tinggal di Okinawa. Menjadi manajer perusahaan penyalur tenaga kerja itu baru ia lakoni tiga tahun. Seorang mantan bosnya, orang Okinawa, menawarinya bekerja sama membuat perusahaan karena melihat keuletan dan keluwesan Budi.
Permintaan tenaga kerja ke Jepang dari Indonesia juga cukup tinggi. Menurut Budi, pada dasarnya orang Indonesia ulet dalam bekerja dan gampang menyesuaikan diri. Namun kebiasaan-kebiasaan di Indonesia sering mereka bawa: nongkrong di tangga apartemen sambil menyetel musik keras-keras atau membuang sampah sembarangan.
Cuaca Okinawa, kata Budi, mirip cuaca di Indonesia. Ketika suhu di Tokyo 4 derajat Celsius, di Okinawa sekitar 14 derajat. Penduduknya ramah dengan ikatan kekeluargaan yang kuat. Orang Okinawa tertawa jika berbicara. Mereka juga tak buru-buru dalam segala hal seperti orang Jepang di daratan.
Dengan kesamaan-kesamaan itu, orang Indonesia betah di Okinawa. Diperkirakan ada 600 pekerja di provinsi yang menjadi pangkalan militer Amerika Serikat ini. Budi hanya tiga tahun sekali pulang ke kampungnya di Mundu, Cirebon, Jawa Barat. Ia punya dua anak dari perkawinannya dengan perempuan Okinawa, anak mantan Wali Kota Naha, yang pernah tinggal di Bali selama dua setengah tahun.
Dari mertuanya itulah Budi banyak belajar menjadi orang Jepang, belajar sistem politik, hukum, dan kebiasaan-kebiasaan orang Jepang. Menurut dia, banyak hal yang bisa ditiru orang Indonesia dari orang Jepang, seperti disiplin, kebiasaan menabung, dan kemandirian.
Hal-hal positif itulah yang ia ajarkan kepada pekerja-pekerja Indonesia di perusahaannya. Soalnya, menurut dia, orang Jepang umumnya menyukai orang Indonesia karena sifat pantang menyerah dalam pekerjaan. Tak sedikit anak buah kapal yang dipercaya menjadi kapten. Jika hal baik itu dipadukan dengan sifat baik orang Jepang, kata Budi, citra orang Indonesia akan semakin positif.
Ia sendiri prototipe pekerja yang ulet. Lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan Mundu, Budi melamar menjadi anak buah kapal sesuai dengan jurusannya ke sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja ke Jepang. Ia dikirim ke Okinawa setelah belajar bahasa Jepang selama tiga bulan di PT Bintang Berjaya Samudera di Cirebon.
Selama tiga tahun, ia melaut di perairan Jepang dengan gaji Rp 8 juta sebulan. Budi kembali ke Indonesia untuk mengambil visa Hagiusya-izin tinggal tetap karena menikahi perempuan Jepang-lalu menjadi anak buah kapal lagi. Agar mahir berbahasa Jepang dan paham adat-istiadat setempat, Budi rajin membaca manga, mendengarkan siaran radio dan televisi, juga berdiskusi dengan mertuanya di meja makan.
Karena keuletannya itu, Budi dipercaya mengikuti ujian kapten ketika bekerja untuk kapal Kaiho Maru. Jika ditotal, Budi melaut selama sebelas tahun hingga mantan bosnya itu menawari dia mengelola perusahaan penyalur tenaga kerja.
Namanya tenar di Okinawa bahkan hingga Kota Ishigaki, pulau kecil paling selatan di Jepang, yang jaraknya satu jam perjalanan dengan pesawat. Pulau seluas 200 kilometer persegi itu hanya 100 kilometer dari Taiwan. Beberapa orang Indonesia bekerja di kapal-kapal nelayan Ishigaki. Mereka meminta Tempo menemui Budi jika ingin mengetahui para pekerja di Okinawa.
Menurut Endrik Fathoni, nelayan Ishigaki, Budi semacam pekerja Indonesia yang menjadi panutan buruh lain di Okinawa. Ia dinilai sukses menjadi perantau dan pekerja di negeri asing.
Tak hanya menjadi panutan di kalangan pekerja, Budi juga acap menjadi "ambasador" tak resmi. Ketika replika kapal Majapahit akan bersandar di Okinawa seusai napak tilas jalur perdagangan Kerajaan Ryukyu pada abad XIV, Juni tahun lalu, Budilah yang menghubungi pemerintah setempat untuk menyambutnya.
Ia dikontak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo karena ada kabar yang beredar di Facebook seorang pelajar Indonesia di Jepang bahwa kapal itu akan singgah di Okinawa. Budi diminta mengatur pendaratan karena ia paham soal kapal. Setelah dia pontang-panting ke sana-kemari selama dua hari, dibantu koneksi mertuanya, pemerintah Okinawa menyediakan galangan.
Perusahaan-perusahaan swasta Indonesia juga mengontaknya jika ada urusan yang berhubungan dengan tenaga kerja Indonesia. Pada Februari lalu, misalnya, ia menyambut rombongan pejabat Bank BNI yang berminat membuka saluran remitansi untuk pekerja Indonesia di Okinawa.
Budi kini bermimpi bisa membuka usaha di Indonesia. Beberapa temannya di Jepang bersedia menjadi investor untuk usaha ekspor-impor perikanan. Ia sedang melakukan survei untuk mendukung keinginannya itu. "Jika bisa diwujudkan, ini membantu penyediaan tenaga kerja lokal dan perdagangan Indonesia ke luar negeri," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo