Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka tangguh. Mereka terkenal. Mereka lima makhluk antargalaksi. Setelah mengalahkan Ronan The Accuser dalam film pertama, mereka kini dikenal sebagai kelompok Guardians of the Galaxy.
Mereka ada di sebuah landasan. Bersiap-siap menerima serangan. Peter Quill (Chris Pratt)-satu-satunya manusia bumi dalam kelompok itu-telah siap dengan jubah terbang dan sepasang metapistol. Begitu juga Gamora (Zoe Saldana), si gadis pembunuh berkulit hijau. Drax The Destroyer (Dave Bautista), prajurit berkulit abu-abu, sudah menggenggam pisau-pisaunya.
Rocket (diisi suaranya oleh Bradley Cooper) memasang stereo. Rakun jago tempur itu sibuk memilih musik yang akan diputar mengiringi pertarungan kali ini. Aksinya itu membikin kelompok ini perang mulut, bertengkar dan saling ledek. Bukan karena benci, tapi karena mereka sangat dekat. Ah, lalu monster interdimensi itu datang. Guardians kalang-kabut.
Ketika keempatnya sibuk menembakkan laser, menghindari tentakel monster yang bergerak tak tentu arah, anggota Guardians termuda, Groot (diisi suaranya oleh Vin Diesel) atau lebih tepatnya Baby Groot, menyambungkan kabel stereo.
Lalu, ketika kawan-kawannya yang melawan monster terlontar ke atas atau terbentur landasan, Groot yang imut itu malah asyik sendiri, menari diiringi lagu tahun 1977, Mr Blue Sky, dari stereo. Kamera berfokus menyorot Baby Groot yang menari sambil menampilkan opening credit.
Adegan pembuka ini mengingatkan penonton bahwa film ini, sama seperti prekuelnya, memberi porsi yang besar untuk musik. Lagu-lagu hit 1970-an dan 1980-an mengisi film ini. Salah satunya Brandy (You’re a Fine Girl), yang liriknya bahkan menjadi dialog dalam film ini.
Guardians of the Galaxy Vol. 2 jelas bukan film musikal. Ini adalah film superhero antargalaksi di jagat Marvel. Film dengan imaji-imaji fantasi, alien eksentrik berkulit warna-warni, perjalanan berkecepatan cahaya, dan pertempuran luar angkasa ini dibalut lagu-lagu pop lawas dan dikemas dengan lelucon budaya pop era retro (melibatkan pemeran Knight Rider, David Hasselhoff, dan game Pac-Man). Sayangnya, visual yang kaya, kemasan yang ringan, beda, dan superlucu ini tidak diimbangi dengan plot yang kuat.
Alkisah, pertarungan demi pertarungan mempertemukan Guardians dengan sejumlah karakter. Salah satunya ayah kandung Quill. Seiring dengan tumbuhnya konflik ayah-anak, muncul pula ancaman besar yang memaksa Guardians yang terpisah di penjuru galaksi kembali bersatu. Selanjutnya sudah bisa ditebak.
Guardians, baik pertama maupun kedua, pada dasarnya adalah film keluarga. Film ini bisa ditonton anak-anak dari usia 13 tahun dengan pendampingan orang tua. Dalam film kedua, konflik Quill dan ayahnya kelewat mudah, cenderung sambil lalu. Padahal bisa dibuat lebih dalam dan menyentuh.
Film pertamanya lebih dramatis: Quill kecil diculik pembajak luar angkasa, Yondu Udonta (Michael Rooker), ketika baru saja kehilangan ibunya. Dari sisi plot, Guardians Vol. 1 jauh lebih sukses membangun film menjadi kesatuan yang utuh. Penyesalan Quill (yang menolak uluran tangan ibunya di saat akhir) mendorongnya menerima uluran tangan Gamora ketika menggenggam Infinity Stone untuk menyelamatkan galaksi.
Adapun pada film kedua, kehadiran sosok Yondu yang selama ini dianggap ayah oleh Quill bahkan terasa jauh dari pusaran konflik Quill dan ayah kandungnya. Hubungan rumit Gamora dan Nebula yang penuh dengan kekerasan justru ditulis lebih alami. Sesungguhnya kebencian di antara dua saudari itu adalah kerinduan akan sosok keluarga yang tidak pernah terucap.
Sulit untuk tidak membandingkan film ini dengan Star Wars, jagat lain yang berkisah tentang opera sabun di angkasa luar. Terasa bahwa James Gunn-sutradara dan penulis skenario film ini-mendapat inspirasi sedikit-banyak dari mahakarya George Lucas itu. Quill bisa dianggap seperti persilangan Han Solo si pemberontak dan Luke Skywalker yang heroik. Konflik ayah-anak dan kisah cinta juga tak jauh-jauh amat dari konflik Luke Skywalker dan Darth Vader atau kisah Han Solo dan Leia. Meski sesungguhnya Guardians merupakan adaptasi dari komik Marvel.
Karakter-karakter baru dalam film ini tampil memikat. Seperti Ayesha, pendeta tinggi dari Sovereign yang menganggap dirinya ras sempurna. Tatapan matanya yang dingin ketika pengiringnya melakukan kesalahan membuat Elizabeth Debicki-pemeran Ayesha-layak menjadi kandidat untuk memerankan Ratu Elizabeth I jika ada sineas yang hendak membuat film ini.
Karakter Ego (Kurt Russell), yang hubungannya dengan Quill telah disinggung dalam adegan pembuka, tak jauh dari teori psikoanalisis Sigmund Freud. Sedangkan Mantis (Pom Klementieff), makhluk yang memiliki kemampuan memahami dan mengendalikan emosi manusia, tampil naif dan lucu.
Bila dibandingkan dengan prekuelnya, ancaman kehancuran alam semesta, klimaks dalam film kedua ini, tidak terasa benar-benar mengancam. Tapi, sudahlah. Pada dasarnya, film ini tetap menghibur, membuat tawa, dan memberikan citraan visual yang sama mengejutkannya dengan film pendahulunya. Senjata-senjata ganjil, pertarungan komikal, kemasan dan efek istimewanya layak dipuji. Selain itu, Baby Groot yang menggemaskan sukses mencuri layar bioskop.
Amandra M. Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo