Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dwi Tantri
LAGU Selamat Ulang Tahun bergema di sudut aula Taipei Main Station pada Ahad, awal Desember tahun lalu. Puluhan buruh migran asal Indonesia-hampir semuanya perempuan-menyanyikan lagu itu untuk Dwi Tantri, yang beberapa hari sebelumnya tepat berusia 49 tahun. Mereka lalu menyantap tempe bacem, gudeg, dan rendang. Namun Tantri tak bisa segera makan. Empat pria sudah menunggunya. "Mereka ingin mengadu," kata Tantri kepada Tempo, yang turut hadir dalam acara itu.
Ada sekitar 241 ribu buruh migran Indonesia yang bekerja di Taiwan hingga Oktober 2016. Tiap Ahad, ribuan di antaranya memenuhi Taipei Main Station, yang berada di pusat kota. Mereka memanfaatkan hari libur itu untuk bercengkerama dan bersilaturahmi. Tantri dan teman-teman juga memanfaatkan waktu berkumpulnya itu dengan membuka perpustakaan lesehan dengan nama Taman Bacaan TKI, yang sudah mengoleksi 300 buku.
Ada pula yang memanfaatkan hari itu untuk melaporkan masalahnya kepada Tantri. Selain menggelar perpustakaan, tiap pekan Tantri membuka posko pengaduan di stasiun itu. Hampir semua buruh yang ditemui Tempo saat di Taiwan, bahkan di ujung Taiwan seperti Kota Kaohsiung, mengenalnya sebagai tempat mengadu. "Bunda memang banyak membantu jika kami bermasalah dengan majikan," kata Waslim, salah seorang anak buah kapal yang bekerja di Kota Keelung, sekitar 29 kilometer dari Taipei.
Bunda adalah sapaan akrab para buruh kepada Tantri. Ia dikenal sebagai ibu bagi para anak buah kapal di Taiwan. Ia menjadi tenaga kerja asal Indonesia di Taiwan sejak 2008. Setelah pada 2010-2011 pulang ke Surabaya, ibu enam anak ini kembali menjadi buruh migran di Keelung pada 2012, sebagai tenaga perawat para pasien lanjut usia. "Sejak itu saya resmi bekerja sambil menjadi aktivis independen untuk mengadvokasi teman-teman," kata Tantri.
Keelung dikenal sebagai kota pelabuhan. Sebelum 2012, Tantri hanya dikenal sebagai tempat curhat para ABK. Bekerja di kapal, menurut Tantri, merupakan sektor yang paling sering menerima gangguan. Para ABK sering telat menerima gaji dan risiko keselamatan yang tinggi. Lama-kelamaan, tangannya mulai gatal. Ia terjun langsung menggebrak para agensi dan majikan agar para ABK menerima haknya. "Alhamdulillah, upaya-upaya itu selalu berhasil," ujarnya.
Pada Desember tahun lalu, Tempo melihat sendiri bagaimana Tantri menerima pengaduan para ABK di Keelung. Saat malam, ia membuka posko pengaduan tak resmi di lantai dua Toko Indo Express di Jalan Shin San, Distrik Chung Zheng, Keelung. Hampir dua jam ia tak henti meladeni pengaduan dari tiga buruh migran. "Kasus saya setahun lalu bisa tuntas, semoga kali ini juga tuntas," kata Waslim. Ia ABK asal Brebes, Jawa Tengah, yang turut mengadu ke Tantri pada malam itu karena majikannya ingin memutus kontraknya secara sepihak.
Tantri disebut berperan paling menonjol saat menjinakkan kebrutalan para ABK di Keelung dan Yilan. Kedua kota ini bersebelahan dan sama-sama kota pelabuhan. Hingga 2013, para ABK asal Indonesia di sana kerap melakukan tawuran setelah menenggak minuman keras. Para ABK di Keelung disebut "pendekar" karena sering tawuran dengan tangan kosong. Adapun para ABK di Yilan disebut "jagoan" karena menggunakan berbagai macam senjata saat berkelahi.
Bentrok konon hampir terjadi setiap malam. Pemicunya biasanya karena bersenggolan atau berebut pacar. Secara bertahap, Tantri mendatangi, lalu merangkul para pentolan kedua kubu. Di sanalah ia baru tahu, ternyata para ABK tak akan kapok jika hanya dipenjara, seperti yang selama ini diterapkan polisi Taiwan. "Mereka jauh lebih takut jika ditangkap lalu dipulangkan ke Indonesia," katanya sambil tergelak. Ancaman hukuman inilah yang kemudian disebar dan meminta polisi menerapkannya. Sampai saat ini tak pernah lagi terdengar tawuran ABK di Keelung dan Yilan.
Tersebab kepopulerannya, Tantri sering menerima lima pengaduan dalam sehari. Karena aktivitasnya itu, Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) merekrutnya untuk diperbantukan sebagai Koordinator Satuan Tugas Perlindungan TKI sejak 2014. Tugasnya mengumpulkan serta mencari solusi masalah-masalah yang dialami para pekerja. Hingga kini ada segepok pengaduan yang sudah ia arsip dan simpan di rumah majikannya di Keelung.
Tantri mengaku tak menerima imbalan apa pun dari aktivitasnya itu. Ia menyebutkan tiap bulan menerima jatah pulsa dari KDEI untuk menjalankan tugasnya di Satgas. Namun, karena banyaknya pengaduan, jumlah itu tak pernah mencukupi. Gaji Tantri saat ini NTD 17 ribu atau setara dengan Rp 7,4 juta. "Rata-rata separuhnya habis tiap bulan untuk modal pulsa telepon dan biaya operasional," katanya.
Telepon, katanya, adalah sarana yang paling efektif untuk membantu buruh migran. Selain soal jarak, para pekerja hanya bisa mengadu lewat telepon karena dikurung majikan. Telepon juga ia gunakan untuk berkomunikasi di Internet. Selain berbagai aplikasi chat, Tantri menggunakan akun Facebook miliknya yang bernama Tantri Sakhina Sakhina. Ia juga menanggung sendiri ongkos wira-wiri ke berbagai lokasi untuk mendatangi para buruh migran.
Risiko dari aktivitasnya ini, kata dia, uang yang tersisa tiap pulang ke Surabaya hanya Rp 2-3 juta. Ia merasa beruntung karena keluarga tak mempersoalkan. Suami Tantri memiliki usaha sendiri. Keenam anak-anaknya rata-rata sudah mandiri. Ia merasa pengorbanannya selama di Taiwan dibalas Tuhan dengan memuluskan kedua anaknya menjadi tentara. Dua putranya kini bertugas di TNI Angkatan Laut dan marinir.
Tantri mengaku uang bukan satu-satunya alasan ia bekerja di Taiwan. Ia memilih menjadi buruh migran setelah usaha kateringnya bangkrut. Dengan bekerja di luar negeri, ia bisa mengalihkan pikiran dari rasa sakit hati akibat kebangkrutan tadi. Bonusnya, bisa merasakan hidup dan jalan-jalan di negeri orang. Namun ia tak mau bekerja di Timur Tengah. "Negeri ini (Taiwan) saya anggap termasuk yang santun memperlakukan tenaga kerja," katanya.
Kontrak Tantri akan berakhir pada 2019. Ia berencana pulang dan merintis rumah makan lagi di Surabaya. Ia pun mengajak buruh-buruh migran lain agar mulai memikirkan pekerjaan baru setelah merantau di Taiwan. Mereka bergabung di grup Facebook "Ikatan TKI Merintis Usaha di Taiwan". Di sana Tantri menjadi pengelolanya. "Tidak akan selamanya kami menangguk rezeki di negeri orang," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo