Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anggaran pertahanan naik hingga 200 persen dalam satu dekade terakhir.
Pengawasan anggaran pertahanan terhambat kerahasiaan negara.
Kenaikan anggaran pertahanan tidak otomatis berkorelasi terhadap peningkatan kualitas persenjataan.
JAKARTA – Anggaran sektor pertahanan naik hingga 200 persen dalam satu dekade terakhir, dari Rp 42,4 triliun menjadi Rp 137,3 triliun. Namun tren kenaikan anggaran pertahanan ini tak disertai dengan penguatan transparansi penggunaan dan pertanggungjawaban, dengan dalih kerahasiaan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat pertahanan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhamad Haripin, mengatakan ada kontradiksi antara kenaikan anggaran pertahanan dan pengawasan terhadap penggunaan dana tersebut. Sebab, kenaikan anggaran secara besar-besaran itu tak dibarengi dengan pengawasan yang kuat. Selama ini, Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Badan Pemeriksa Keuangan menemui banyak rintangan dalam memonitor anggaran pertahanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Masih menemui kendala untuk mengetahui apakah alokasi anggaran yang dicanangkan dan implementasinya cocok," kata Haripin, kemarin.
Ia mengatakan satu alasan minimnya pengawasan adalah anggaran pertahanan dianggap sebagai rahasia negara. Alasan ini menjadi dalih Kementerian Pertahanan untuk tidak mempublikasikan anggaran pertahanan.
Prajurit Tentara Nasional Indonesia di Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto
Transparency International baru saja mengeluarkan laporan berjudul "Government Defence Integrity Index 2020". Dalam uraian laporan itu, lembaga antirasuah global tersebut mengkategorikan Indonesia sebagai negara berisiko tinggi terjadi korupsi di sektor pertahanan. Indonesia mendapat skor 47 dari rentang penilaian 1 sampai 100. Indonesia berada di peringkat ke-34 dari 86 negara. Ada lima risiko yang diukur oleh Transparency International, yaitu politik, keuangan, personel, operasional, dan pengadaan.
Anggaran pertahanan Indonesia meningkat drastis dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 2010, pemerintah mengalokasikan Rp 42,4 triliun. Angka itu melonjak tajam pada tahun pertama periode pemerintahan Joko Widodo, yang mencapai Rp 101,4 triliun pada 2015. Di periode kedua pemerintahan Jokowi, pemerintah mengalokasikan anggaran pertahanan sebesar Rp 117,9 triliun pada 2020 dan Rp 137,3 triliun pada 2021.
Muhamad Haripin sependapat dengan temuan Transparency International, yang menyebutkan bahwa peningkatan anggaran di Indonesia tak diikuti dengan peningkatan kapasitas pengawasan dan pemantauan untuk memastikan penggunaan dana tersebut. Ia pun mengusulkan pemerintah memberikan akses kepada pengawas eksternal di luar Kementerian Pertahanan, seperti BPK dan KPK, untuk mengawasi anggaran pertahanan. Pemerintah juga mesti memberikan akses informasi kepada peneliti serta jurnalis mengenai alokasi dan penggunaan anggaran pertahanan, juga perihal keterkaitan antara anggaran dan para pemasok alat utama sistem senjata (alutsista).
Analis intelijen dan keamanan dari Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, mengatakan pertanggungjawaban anggaran di bidang pertahanan memang tidak seperti sektor lain yang dapat dibuka secara rinci ke publik. Alasannya, mekanisme anggaran pertahanan bersifat rahasia meski tetap bisa diawasi. "Bisa dibuat mekanisme, misalnya sistem pengadaan alutsista lewat government to government. Itu mengurangi potensi korupsi dibanding business to business," kata dia, kemarin.
Naik Tanpa Pengawasan
Berpendapat senada, pengamat militer Al Araf mengatakan peningkatan anggaran pertahanan tanpa transparansi juga tak akan membuat modernisasi alutsista membaik. Selama ini, pemerintah sering beralasan bahwa peningkatan anggaran pertahanan bertujuan memodernisasi alutsista.
"Kalau minus transparansi, sama saja membiarkan elite politik menjadikan itu sebagai lahan empuk dalam dugaan proses penyimpangan pengadaan alutsista, operasional, dan sebagainya," ujar Al Araf, Senin lalu.
Peneliti militer dari Binus University, Curie Maharani, berpendapat berbeda. Ia menilai Kementerian Pertahanan sudah lebih terbuka dan kooperatif dalam membuka anggaran pertahanan dibanding pada sepuluh tahun lalu. Menurut dia, anggaran militer sudah disajikan dengan rinci dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), meski alokasi lebih detail anggaran tetap harus diminta ke Kementerian Pertahanan ataupun Kementerian Keuangan.
"Kalau mau melakukan penelitian, Kementerian Pertahanan buka beberapa perencanaan strategis yang sifatnya lima tahunan dan satu tahunan. Dari situ, pelajari logika penyusunannya seperti apa," kata Curie.
Peneliti militer dari Binus University, Curie Maharani. binus.ac.id
Tempo berupa meminta konfirmasi Kementerian Pertahanan soal anggaran pertahanan ini lewat surat resmi yang ditujukan ke Kepala Hubungan Masyarakat Marsekal Pertama Penny Radjendra. Dia menolak berkomentar karena masih menunggu jawaban dari satuan kerja terkait.
DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo