Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung berlantai tiga itu terlihat tenang. Letaknya di sudut kompleks Jurusan Sejarah dan Sastra Universitas Leiden, yang berbatasan dengan Sungai Rhine. Itulah gedung Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Institusi yang sudah berumur 160 tahun ini merupakan Mekah bagi studi tentang Indonesia. Setiap tahun KITLV mendatangkan ribuan buku dari Indonesia ke Leiden. Dari waktu ke waktu, peneliti Indonesia selalu ke Leiden untuk meminjamnya.
Di salah satu ruang yang paling sibuk, ruang perpustakaan, tampak Rini Hogewoning, sang "ibu perpustakaan". Ia sudah 38 tahun bekerja di situ. Ia selalu siap menerima dan memberikan pesanan buku kepada para peneliti.
Setiap orang yang memesan buku harus ke meja Rini untuk mengambil buku pesanan. Koleksi buku KITLV tersimpan di lantai bawah tanah. Buku-buku pesanan itu akan tiba melalui lift kecil yang berfungsi sebagai pengantar buku, antara lantai bawah dan lantai perpustakaan. Aturan ini berlaku tidak hanya untuk publik, tapi juga bagi staf KITLV sendiri.
"Saya pernah bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer di perpustakaan ini," kata Ibu Rini. Begitu banyak orang yang sudah berkunjung ke situ. "Minggu lalu, baru saja seorang mahasiswa yang belajar di sini 20 tahun yang lalu datang dan masih mengingat nama saya," katanya. Setiap tahun, KITLV menerima rata-rata 10 ribu pengunjung. Ini tentu jumlah yang tidak sedikit, terutama bagi institusi kecil yang berpegawai 41 orang (12 pegawai di Jakarta) ini.
Ibu Rini masih ingat ketika gedung KITLV masih di Stationplein, dekat stasiun kereta api yang sekarang menjadi area parkir sepeda. "Saat itu, hanya peneliti, anggota KITLV sendiri, serta beberapa tamu dari Indonesia yang tahu tentang institusi kami. Tapi, sejak kami pindah ke kompleks universitas, kemudian ada Dutch Central Catalogue yang bisa diakses secara online, KITLV berkembang sangat pesat. Peneliti dan pelajar dari berbagai belahan dunia bisa memanfaatkan koleksi arsip kami," kata Rini. Dia menggambarkan koleksi KITLV sebagai "koleksi yang cantik", yang setiap tahunnya rata-rata bertambah 11 ribu item.
Sayangnya, koleksi yang cantik ini terancam diacak-acak. Pada Maret lalu, tiba-tiba saja datang berita mengejutkan. Lembaga induk mereka, De Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (KNAW) atau The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences, memutuskan membubarkan institusi yang sudah uzur ini. Alasannya? "Hingga saat ini tidak ada penjelasan resmi mengapa KNAW ingin membubarkan KITLV," kata Rosemarijn Hoefte, Koordinator Ahli Bidang Karibia sekaligus Kepala Bagian Media KITLV.
Rencana pembubaran berawal dari pemotongan anggaran besar-besaran di berbagai bidang yang dilakukan Kantor Kementerian Pendidikan Belanda. KNAW, yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan, akan mengalami pemotongan anggaran hingga 6 persen tiga tahun ke depan. Anggaran sedikit demi sedikit makin dikurangi pada tahun-tahun ke depan. Pemotongan anggaran membuat KNAW kelabakan. "KNAW kemudian memilih menghilangkan saja satu institusinya, yaitu KITLV," kata Rosemarijn, ahli sejarah khusus bagian Suriname dan Karibia lulusan Universitas Leiden dan Universitas Florida di Gainesville.
Tentu saja hal itu mengejutkan, mengingat selama ini komite internasional yang menilai kinerja ke-18 institusi di bawah KNAW selalu memberikan nilai excellent untuk kinerja KITLV. "Secara logika, membubarkan KITLV tidak masuk akal. Kami adalah institusi penting jika dikaitkan dengan penelitian dan koleksi arsip tentang Indonesia," kata Rosemarijn, yang sudah bekerja di KITLV selama 24 tahun.
Dan yang paling membuat berang anggota KITLV adalah kemungkinan nasib koleksi buku mereka. "KNAW berencana hanya akan menyimpan sebagian koleksi KITLV yang unik saja. Selebihnya akan dibuang," ujar Rosemarijn. Menurut dia, mereka juga akan memeriksa jika ada koleksi KITLV yang sama dengan koleksi perpustakaan lain. Jika sama, mereka akan meninggalkan koleksi itu.
Kecemasan yang sama dirasakan Fridus Steijlen, antropolog ahli etnis Maluku di Belanda dan sedang meneliti sejarah kontemporer Indonesia. Fridus bergabung dengan KITLV tepat ketika lembaga itu masuk di bawah KNAW pada 2001. Fridus ingat betul proses negosiasi untuk membujuk KITLV menjadi salah satu institusi resmi KNAW.
"Sebelumnya, KNAW hanya menjadi perantara penyaluran anggaran dari Kementerian Pendidikan ke KITLV. Karena itu, KNAW meminta KITLV bergabung saja menjadi institusi resmi KNAW. Keuntungannya, KITLV bisa membentuk tim dan departemen penelitiannya sendiri," kata Fridus.
Fridus ingat, dalam negosiasi untuk menjadi bagian dari KNAW, Direktur KITLV Gert Oostindie meminta KITLV diberi kapasitas penelitian yang lebih, khususnya di bidang Indonesia modern. Usul ini disambut baik oleh KNAW, mungkin karena situasi politik di Indonesia pada 2000, dua tahun setelah Soeharto lengser, menjadi isu yang seksi di mata pemerintah dan media-media di Belanda.
Sebelum KITLV bergabung dengan KNAW, penelitian waktu itu memang hanya menjadi kegiatan sampingan anggota KITLV. Misalnya Harry Poeze, yang saat itu sudah giat melakukan penelitian tentang Tan Malaka. Itu dilakukan Poeze di sela-sela pekerjaannya sebagai kepala bagian media saat itu.
"Sejak bergabung dengan KNAW itulah, harus saya akui, program penelitian di KITLV berkembang sangat pesat dan akhirnya bisa membentuk departemen penelitiannya sendiri," Fridus mengisahkan. Ketika Fridus bergabung, saat itu di tim penelitian KITLV sudah ada Kees van Dijk, peneliti khusus sejarah Islam di Indonesia. Lalu peneliti senior asal Universitas Amsterdam yang juga Direktur KITLV periode 1991-2000, Peter Boomgard, ahli sejarah lingkungan dan ekonomi Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Tim ini diperkuat David Henley, ahli dalam bidang sejarah lingkungan, demografi, dan ekonomi Indonesia, serta ahli sastra dan media Gerard Termorshuizen.
Pada 2003, tim peneliti KITLV kemudian dilengkapi dengan masuknya ahli Bali, Profesor Henk Schulte Nordholt (lihat tulisan tentang Henk Schulte Nordholt). Dia menjadi koordinator untuk semua program yang berhubungan dengan Indonesia kontemporer.
Selain memiliki peneliti tetap, KITLV bekerja sama dengan peneliti-peneliti yang bekerja berdasarkan proyek jangka waktu panjang dan jangka pendek. "Semua program penelitian yang menyangkut Indonesia, di KITLV-lah tempat yang terbaik untuk mewujudkannya," kata Fridus.
Kemungkinan yang paling meresahkan Fridus adalah rencana KNAW mengorganisasi ulang struktur KITLV dan kemudian akan digabung dengan The International Institute of Social History, salah satu institusi bawahan KNAW yang bertempat di Amsterdam. "Kemungkinan ini masih menjadi pertimbangan, belum diputuskan. Tapi kami di KITLV tentu saja akan berjuang agar itu tidak terjadi. Kemungkinan lain, KITLV tidak akan ditutup tapi anggarannya akan dipotong hingga 60 persen."
Jika membayangkan kemungkinan terburuk, Fridus setuju dengan pendapat untuk bergabung saja dengan Universitas Leiden, mengingat, secara fisik, KITLV memang sudah di wilayah Leiden. "Secara intelektual, bergabung dengan Universitas Leiden adalah yang terbaik, mengingat Leiden selalu dikenal sebagai bulevar arsip Indonesia. Universitas ini juga punya jurusan antropologi, hukum, bahasa, dan sejarah, yang masih-masing punya kebutuhan terhadap arsip KITLV."
Penggabungan ini juga disepakati Henk Schulte Nordholt. Di Belanda, kata Henk Schulte Nordholt, tak hanya KITLV yang terancam. Tropenmuseum, Amsterdam, yang seakan-akan merupakan rumah bagi kebudayaan negeri-negeri tropis, mengalami pemangkasan anggaran hampir setengahnya. Museum Maluku di Utrecht terancam, sedangkan museum khusus dengan koleksi Indonesia di Delft sudah pasti ditutup.
KITLV kini berusaha mencari dukungan dari berbagai pihak, baik politikus setempat maupun pemerintah Indonesia, yang tentunya punya kepentingan besar. Menurut Atase Pendidikan Kedutaan RI di Belanda, Ramon Mohandas, KITLV memang sudah datang membicarakan kabar buruk akan nasib institusi itu. "Mereka meminta bantuan kami mencarikan jalan kerja sama yang mungkin, seperti dengan universitas-universitas di Indonesia," kata Ramon.
Untuk ke depannya, kata Ramon, jika KITLV tidak bisa dipertahankan, buku-buku dan arsip itu mungkin akan kembali ke Indonesia. Di masa yang akan datang, menurut Henk, KITLV juga mempertimbangkan pembelian buku di Indonesia cukup dibawa ke kantor KITLV Jakarta dan kemudian didigitalisasi di sana. "Jadi tak perlu lagi kami membawa ribuan buku per tahun dari Indonesia ke sini. Cukup didigitalisasi di Jakarta, dan bisa diakses dari sini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo