Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hujan dan dingin di luar. Tapi kantor Henk Schulte Nordholt, Kepala Departemen Penelitian KITLV, Leiden, terasa hangat. Bukan semata karena penghangat ruangan, tapi juga lantaran situasi ruangan yang terasa ramah, santai, spontan.
Di satu tepi adalah rak yang penuh buku, berkas dokumen, gambar, bahkan kantong kertas. Satu di antaranya, bisa jadi buku paling segar, dipajang khusus. Judulnya After Jihad, karya M. Nadjib Azca. Ini buku berdasarkan disertasi sang penulis, dengan Henk Schulte Nordholt sebagai pembimbingnya.
Di dinding belakang meja kerjanya tergantung sebuah lukisan tradisional Kamasan, Bali. Henk adalah ahli antropologi politik Bali. Sebagian hasil penelitiannya tentang Bali sudah dibukukan dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia, antara lain Bali: Benteng Terbuka—1995-2005, Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral dan Identitas-identitas Defensif, dan The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940.
"Bali adalah training ground saya sebagai Indonesianis," kata Nordholt. Ia ingat pertama kali menjejakkan kaki ke Bali belum berumur 29 tahun. Henk menetap lebih dari setahun di Bali, didampingi istrinya, Margreet, dan anak pertama mereka yang baru berumur setahun, Eelke. Waktu itu mereka tinggal di Desa Blahkiuh, tak jauh dari Sangeh.
Penelitian doktoralnya mengenai sejarah politik Bali yang mencakup rentang waktu tiga abad: dari 1650 hingga 1940. Nordholt membahas struktur politik kerajaan Bali prakolonial. Bali prakolonial merupakan jaringan di antara kerajaan-kerajaan kecil, yang terpusat pada seorang pemimpin kuat. Kalau sang pemimpin terlalu pasif, jaringan akan berlepasan, dan tak ada negara. Di saat yang sama, di tingkat akar rumput terdapat jaringan irigasi subak yang otonomi serta komunitas lokal yang berjalan cukup mandiri
Bukan hanya Bali yang diteliti Henk. Minat Henk terhadap Indonesia sangat luas. Karya penelitian Henk yang mutakhir baru saja diterbitkan dalam jurnal ilmiah Universitas Cambridge, Inggris. Judulnya Modernity and Cultural Citizenship in the Netherlands Indies: An Illustrated Hypothesis.
Ini mengenai kelas menengah Indonesia di masa kolonial, yang mengidentifikasi dirinya secara kultural sebagai manusia modern. Mereka dipengaruhi iklan majalah saat itu, dari iklan cokelat hingga pasta gigi. Dari iklan bola lampu hingga kereta api.
Kaum kelas menengah Indonesia di masa akhir penjajahan itu, kata Henk, menjalani semacam "domesticated happiness". Mereka berpartisipasi dalam kehidupan kultural modern, "Tapi tidak dalam kehidupan politik, karena akan langsung dikirim, misalnya, ke Boven Digul," tutur Henk.
Kaum kelas menengah ini direkrut oleh penjajah Belanda untuk posisi-posisi di pemerintahan kolonial atau di jawatan. Dan nanti, pada 1950-an, kaum menengah ini pula yang memegang posisi di pemerintahan Indonesia merdeka. Pertanyaannya, tutur Henk, apakah mereka terlibat dalam pemerintahan Indonesia karena cita-cita kebangsaan mereka, atau karena mencari kesempatan memperoleh posisi belaka.
Itulah salah satu karya penelitian Henk terbaru secara individual. Adapun dalam posisinya sebagai Kepala Departemen Penelitian KITLV yang dijabatnya sejak 2005, Henk menggagas, memimpin, dan menjalankan sejumlah proyek khusus. Salah satunya proyek Articulating Modernity: Popular Music in Southeast Asia, yang berlangsung sejak 2010 hingga 2013.
Untuk proyek ini, Henk dan timnya berburu piringan hitam dan kaset di berbagai pelosok. Salah satunya tentu saja ke Jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Mumpung masih ada. Proyek ini digagas karena "selama ini titik berat perhatian secara resmi lebih pada musik tradisional seperti gamelan". Padahal musik masyarakat urban, musik populer, merupakan bagian dari kehidupan keseharian. Dan bisa menunjukkan perkembangan masyarakat pendukungnya.
Proyek lain adalah Recording the Future: An Audiovisual Archive of Everyday Life in Indonesia in the 21st Century. Ini, tutur Henk, merupakan proyek film dokumenter yang sudah berjalan beberapa tahun, dan akan terus berjalan beberapa tahun ke depan. Mereka merekam orang-orang awam di jalan, di pasar, di mana pun. Mengajak mereka berbicara tentang segala hal, tentang keseharian mereka, bagaimana mereka menghadapi masalah, apa harapan dan mimpi mereka. Gagasan tegas Henk Schulte Nordholt adalah menciptakan sejarah yang berbeda: sejarah orang-orang biasa.
Bukan kebetulan kalau Henk Schulte Nordholt menjadi Indonesianis. Studi Indonesia seakan sudah merupakan DNA-nya. Bapak dan kakaknya juga ahli Indonesia terkemuka. Sang ayah, Herman Gerrit Schulte Nordholt (1911-1993), adalah antropolog budaya Flores dan Sumbawa di Universitas Amsterdam. Sebagai ambtenaar di masa kolonial, Herman Schulte Nordholt pernah lama tinggal dan berdinas di Kefamenanu, NTT, dan Sumbawa. Sempat jadi tahanan Jepang, Schulte Nordholt senior baru mudik ke Belanda pada 1947.
Adapun kakaknya, Nicolaas Schulte Nordholt, adalah Indonesianis yang pernah mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Bukunya antara lain State-Citizen Relations in Suharto’s Indonesia (1987) dan Indonesië: mensen, politiek, economie, cultuur (1995). Nico, yang lahir pada 1940 di Flores, pernah tinggal lama di Salatiga, pada 1965 hingga 1981, selain di Jakarta. Beberapa tahun terakhir ini Nico aktif memimpin petisi kaum intelektual Belanda, mendesak pemerintah mereka untuk secara resmi mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia, dan bukan 27 Oktober 1949—hari penyerahan kedaulatan.
Kakak-adik Nordholt ini aktif menjadi narasumber utama berbagai televisi Belanda saat di Jakarta terjadi demonstrasi besar-besaran yang menumbangkan Soeharto. Sebagai negara bekas penjajah, Belanda tentu mengikuti secara intensif peristiwa yang penuh dimensi itu sejak awal. Televisi menyiarkan laporan perkembangan dari Indonesia setiap hari, dilengkapi diskusi dan analisis. Nicolaas dan Henk Schulte Nordholt pun waktu itu hampir setiap hari berbicara di televisi.
"Kakak saya itu, begitu larisnya, sampai kewalahan dan tak bisa memenuhi semua permintaan wawancara di televisi," ujar Henk. "Jadinya lucu," tutur bapak dua anak ini. "Kami berbagi tugas: saya untuk siaran pagi, dan Nico untuk siaran malam. Jadi, kalau saya keliru di pagi hari, malam harinya Nico bisa membetulkannya, ha-ha-ha…."
Dan kantor pun bertambah hangat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo