Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 10 April nanti, tepat 200 tahun terjadinya letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa. Letusan pada 1815 itu dicatat sebagai letusan paling dahsyat dalam sejarah gunung api modern. Peristiwa penting tersebut diperingati oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan menggelar beragam bentuk kegiatan pariwisata.
Di Bern, Swiss, sekitar 12 ribu kilometer dari Tambora, juga dilangsungkan konferensi internasional, "Volcanoes, Climate, and Society: Bicentenary of Great Tambora Eruption". Mendatangkan puluhan pakar klimatologi, vulkanologi, dan geologi dari lima benua. Mereka berdiskusi tentang letusan Tambora yang memiliki dampak global, yang membuat Eropa dan Amerika Utara mengalami musim dingin dan langit temaram tiga tahun berturut-turut. Sebuah situasi menyeramkan, yang salah satunya menginspirasi Mary Shelley menulis novel terkenalnya, Frankenstein.
Ikuti reportase Tempo menuju puncak Tambora. Juga ulasan mengenai temuan apa saja yang sudah didapat para arkeolog dan geolog selama ini. Seperti kita ketahui, tiga kerajaan di kaki Tambora musnah akibat letusan itu.
Dari studionya di pelabuhan Greifswald, tepi Laut Baltik, pada 1816, pelukis romantik Jerman, Caspar David Friedrich, menatap panorama langit yang ganjil. Awan pekat menggelantung. Perahu-perahu yang bersandar di dermaga hanya terlihat sebagai bayangan hitam. Adapun pelukis Joseph Mallord William Turner dari studionya di London, sekitar tahun itu juga, menatap sebuah senja yang sangat aneh. Senja merah yang tingkat kemerahannya demikian menyala mengerikan. Dua pelukis lanskap tersebut tak tahu bahwa perubahan langit yang mereka saksikan itu berasal dari sumber yang sama: ledakan Gunung Tambora di Sumbawa, Indonesia, pada April 1815.
Sebuah seminar besar mengenai ledakan Tambora akan berlangsung di Eropa, di Universitas Bern, Swiss, pada 7-11 April nanti. Bertajuk "Volcanoes, Climate and Society: Bicentenary of the Great Tambora Eruption", simposium internasional itu hendak mengkaji ledakan Gunung Tambora 200 tahun lalu, yang mempengaruhi cuaca global. Letusan dahsyat yang di Eropa membuat langit menjadi "abnormal" sebagaimana disaksikan dua pelukis tadi.
Saat itu langit Eropa selama tiga tahun, sejak 1816 hingga 1819, terus-menerus temaram. Cahaya matahari tak bisa tembus. Di Swiss sendiri selama 130 hari tak henti-hentinya, sejak April sampai September 1816, terjadi hujan lebat. Air di Danau Jenewa meluap membanjiri kota. Peristiwa itu juga memunculkan wabah penyakit dan malapetaka sosial. Warga Inggris menyebut tahun 1816 sebagai year without a summer atau eighteen hundred and froze to death.
Eropa pada masa-masa itu, sebagaimana banyak ditulis para ahli, dilanda sesuatu yang mencekam. Tak ada yang tahu apa yang terjadi. Sebagian dari mereka bahkan menghubungkannya dengan tanda-tanda kiamat. Di Italia selatan, akibat ketakutan melihat salju yang berwarna merah kekuningan, umat berduyun-duyun ke gereja, meminta gereja mendoakan keselamatan mereka. "Saat Krakatau meletus, sudah ada telegraf, sehingga kabar bisa menyebar cepat ke seluruh dunia. Sedangkan pada 1816, orang Eropa sama sekali tak tahu perubahan iklim yang drastis itu akibat ledakan Tambora. Karena itu, banyak orang di Eropa mengira peristiwa tersebut sebagai kutukan Tuhan," kata Adjat Sudradjat, profesor emeritus Universitas Padjadjaran.
Pembaca, untuk memperingati 200 tahun tragedi Tambora, Tempo edisi kali ini menurunkan sebuah tulisan panjang. Ledakan Tambora pada 1815 itu empat kali lebih kuat daripada letusan Krakatau pada 1883. Semua bagian dunia terkena dampak. Selain Eropa, Amerika Utara mengalami kabut kering, yang membuat suhu begitu membeku dan menyebabkan migrasi besar-besaran dari Pantai Timur Amerika menuju tempat yang lebih hangat di sebelah barat.
Sebuah buku baru yang terbit pada April 2014, Tambora: The Eruption that Changed the World karya Gillen D'Arcy Wood, profesor di Illinois, Urbana, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa letusan Tambora bahkan juga mempengaruhi dunia sastra populer. Ia menyebutkan cuaca gelap di Eropa itu mengilhami pengarang Mary Shelley memunculkan imaji mengenai Frankenstein. Adegan Frankenstein berkeliaran pada malam gelap dengan panorama sudut-sudut kota yang dipenuhi gelandangan bergelimpangan diperkirakan Wood berasal dari pemandangan mengenaskan mengenai banyaknya tunawisma yang mengidap penyakit karena kelaparan pada musim dingin, sebagaimana disaksikan oleh Shelley di Eropa pada 1816-1819.
Di Eropa, pada masa "Frankenstein weather" itu, Wood mencatat munculnya banyak huru-hara. Di East Anglia, Inggris, perupa John Constable menyaksikan kerusuhan. Buruh bersenjata tajam, membawa spanduk bertulisan "Roti atau Darah", berderap menuju katedral. Pada Maret 1817, lebih dari 10 ribu orang menduduki Nottingham. Kerusuhan dan kriminalitas kemudian menyebar ke Skotlandia dan Wales. Gudang-gudang gandum dijarah.
Gillen D'Arcy Wood akan hadir dalam simposium di Swiss itu. Pada 10 April, pukul 11.00, ia dijadwalkan berbicara tentang "Tambora's Impact's in Asia: The 1817 Bengal Cholera". Memang, dalam bukunya, ia juga berbicara mengenai dampak ledakan Tambora sampai ke Asia, termasuk kelaparan di Yunnan, Cina.
Pembaca, untuk keperluan liputan 200 tahun ledakan Gunung Tambora ini, kami mendaki Tambora dan menjelajah ke desa-desa di lereng Tambora, tempat tiga kerajaan-Kerajaan Pekat, Kerajaan Sanggar, dan Kesultanan Tambora-musnah. Pembaca, inilah liputan kami mengenai ledakan Tambora yang melahirkan imaji mengenai Frankenstein.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo