SOEHARTO pernah berkata, "Tidak ada di antara anak-anak saya yang saya ujo, yang saya manjakan. Tidak ada! Dan alhamdulillah, sampai sekarang tidak ada yang neko-neko (macam-macam). Apalagi terpengaruh oleh kejahatan atau oleh narkotik." Soeharto sungguh seorang ayah yang malang. Kini, ia pasti tak sanggup berkata-kata melihat sepak terjang sang putra bungsu yang sangat disayanginya, Hutomo Mandala Putra.
Lebih dari sekadar neko-neko, Tommy Soeharto, begitu ia dikenal, sekarang seperti bandit nomor satu Republik. Ia dicari, fotonya disebar ke seantero negeri. Setelah sembilan bulan buron, hukuman mati kini tengah menantinya. Ia diduga kuat mengotaki sebuah pembunuhan brutal, lagi berencana, terhadap Syafiuddin Kartasasmita, hakim agung yang memvonisnya 18 bulan hukuman kurungan dalam kasus korupsi Bulog. Bukan cuma itu, ia juga bisa dijerat dengan tuduhan gawat lain: berada di balik serangkaian teror bom.
Itulah yang dinyatakan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Jenderal Sofjan Jacoeb, dalam sebuah konferensi pers yang menggegerkan, Senin malam pekan kemarin. Ia mengumumkan, sebuah tim khusus yang dibentuknya telah berhasil membekuk 12 anggota jaringan terdekat Tommy Soeharto. Beberapa di antaranya mengaku telah diperintah dan dibayar anak mantan presiden itu untuk membantai Syafiuddin. Selain memperoleh pengakuan para tersangka, Sofjan juga menyatakan telah menemukan sejumlah bukti pendukung yang sahih: berbagai dokumen rencana pembunuhan Syafiuddin serta dua hakim agung lainnya—Paulus Effendy Lotulung dan Sunu Wahadi—serta lima selongsong dan satu butir peluru dari jenis yang sama dengan temuan di lokasi penembakan (lihat 15 Hari Memburu Tommy).
Jenderal Sofjan juga menyatakan telah menggerebek dua tempat—Apartemen Cemara di kawasan Menteng dan sebuah rumah kontrakan di Jalan Alam Segar, Pondokindah, Jakarta—yang diyakininya telah dipergunakan sebagai lubang persembunyian Tommy selama ini. Di dalamnya diperoleh sejumlah temuan penting, antara lain berbagai jenis senjata berat, ratusan peluru, bahan peledak, dan bergepok uang.
Yang lebih menarik, polisi juga mengaku menemukan kartu tanda penduduk dan akta kelahiran palsu milik Tommy yang menggunakan nama samaran Ibrahim, dengan wajah yang telah dipermak: berewokan dan lebih tembam dari biasanya. Yang lebih "spektakuler" adalah selembar surat yang menyebutkan persekongkolan Tommy dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Surat yang masih belum jelas kesahihannya itu diteken seorang bernama Gombloh bin Mohammad Karim dan ditujukan langsung kepada Tommy. Beberapa bagian isinya ditulis menggunakan bahasa sandi. Tercantum antara lain, "operasi pembajakan sawah yang kita bicarakan di rumah", ataupun tentang "titik kerja sembilan petak, setiap petak harus diisi empat RCD (explosive device)". Ini memang aneh: mengapa dalam dokumen itu begitu gamblang rencana aksi teror pengeboman dituliskan?
Kaitan dengan GAM juga ada di dokumen itu. Tertera dalam sebuah alinea, "Skenario Operasi: operator total berkewarganegaraan asing. Copy fax penawaran terlampir melibatkan teman-teman dan tentara dari GAM. Mereka hanya kita beri instruksi untuk membuat sedikit kemelut pada radius 3 sampai 4 km lingkaran proyek...." Ini juga patut dipertanyakan: mengapa begitu terang benderang nama GAM disebutkan?
Toh, sehebat-hebatnya segala temuan itu, Tommy belum juga dapat dibekuk. Ultimatum Jenderal Sofjan supaya dalam tempo 3 x 24 jam sang buron menyerahkan diri terbukti tak digubris. Tenggat ultimatum itu Kamis lalu pukul 23.00 dan lewat begitu saja.
Karena itulah, polisi memeriksa Keluarga Cendana. Jumat kemarin, Siti Hardijanti Rukmana diinterogasi lima jam. Ia mengaku dihubungi Tommy via telepon hari Selasa, sehari setelah siaran pers Sofjan. Ketika itu, menurut Tutut, Tommy menyangkal semua tuduhan itu dan bilang akan menyerahkan diri. "Saya masih yakin adik saya tidak terlibat," katanya. Hal senada diungkapkan Siti Hediati kepada TEMPO. Menurut Kepala Reserse Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Adang Rochjana, dalam pemeriksaan Tutut mengaku pernah bertemu Tommy pada ulang tahunnya, 15 Juli lalu. Putri sulung Soeharto ini juga mengaku kenal dengan sejumlah tersangka: Deddy Yusuf, Fery Hukom, dan Dodi Hardjito.
Tutut dan keluarga Soeharto lainnya, kata seorang perwira penyidik, adalah kunci dari penangkapan Tommy. Aparat menaruh curiga mereka tahu lebih banyak tentang keberadaan Tommy, bahkan bukan tak mungkin terlibat lebih jauh. Salah satu indikasi datang dari pengakuan Heti Siti Hartika, pemilik Apartemen Cemara. Heti mengaku menerima hasil pengamatan Syafiuddin yang akan digunakan untuk merencanakan pembunuhan. Berkas itu lantas ia serahkan ke Iyok. Ternyata, Iyok adalah pembantu kepercayaan Tutut. Kepada polisi, Tutut mengaku tak tahu-menahu. Tapi ia mengatakan bahwa Iyok sekarang sedang menemani salah seorang anak Tutut yang sedang berada di Boston, Amerika.
Menurut Roy Suryo, pakar telematika yang pernah membantu tim pelacak Tommy pada Desember sampai Maret lalu, Tommy memang masih intensif menjalin kontak dengan keluarganya. Dari penyadapan lima telepon genggam milik Tommy, ia mendeteksi dua voice mail yang dikirimkan oleh Tata, istrinya. Salah satunya berasal dari nomor hotel Singapura. Bunyinya suara Tata yang resah, "It's me. Will you call me back?" Pesan keluarga Cendana lain juga pernah datang dari Mamiek dan Tutut. Selain itu, juga ada suara sejumlah wanita. Beberapa di antaranya berbunyi, "I miss you, Mas."
Bukan cuma itu, masih kata Roy, belum lama ini ia mendapat pengakuan dari seorang keluarga dekat Tata. Ia mengaku sempat bertemu Tommy di Cendana, Januari lalu. Dalam sebuah acara halal bihalal Idul Fitri, Tommy tiba-tiba nongol. "Dia sekarang lebih gemuk," kata Roy menirukan pengakuan itu.
Karena itulah, Roy menyatakan kali ini, "Polisi sudah berada di jalan yang benar." Identitas para tersangka yang baru dibekuk memang cocok dengan sekitar 30 nama yang pernah dideteksinya melakukan kontak intensif dengan telepon genggam Tommy selama buron. Fery Hukom, Deddy Yusuf, dan Agus Diaz adalah tiga di antara 17 orang di lingkaran terdekat Tommy. Agus Diaz, misalnya, dikenal luas sebagai komandan pengawal Tommy. Wajahnya selalu terlihat ketika junjungannya itu bolak-bolak diperiksa kejaksaan maupun datang ke pengadilan.
Begitu pula dengan Elize Maria Tuwahatu, tersangka kasus bom Taman Mini yang tertangkap tangan Januari lalu. Roy mencatat, sehari sebelum ditangkap, Elize sudah 21 kali mengontak Tommy. Ketika itu, dengan suara panik perempuan berdarah Ambon ini diketahui menitipkan pesan yang antara lain berbunyi, "Mas, tolong dong hubungi aku."
Selain itu, masih ada satu nama lain yang dikenali Roy. Dia adalah Gombloh, yang namanya muncul dari dokumen yang menyebut-nyebut keterlibatan GAM itu. Menurut Roy, Gombloh ini jugalah yang berkali-kali mengirimkan pesan ke handphone Tommy. Suaranya berlogat Jawa. Isinya antara lain, tentang "barang sudah jadi" atau "barang dikirim ke mana". Gombloh dikenali tim pelacak sebagai seorang spesialis perakit bom.
Seorang kalangan dekat Cendana pun memastikan bahwa para tersangka itu memang orang yang selama ini berada di lingkaran terdekat Tommy. Dodi Hardjito, misalnya, sudah berteman akrab dengan Tommy sejak 1989. Ia tak lain adalah adik kandung Johny Hermanto, salah seorang operator bisnis kepercayaan Tommy. Heti pun dikenal sebagai teman dekat Eno, putri Sigit Harjojudanto.
Maka, Tommy pun kian tersudut. Sebagaimana diakui Nudirman Munir, salah seorang kuasa hukumnya, bukti dan saksi yang diajukan polisi saling menguatkan. "Sekarang saya jadi bingung sendiri," katanya.
Tapi, setelah sembilan bulan tak berkutik, kenapa mendadak sontak kinerja polisi begitu cemerlang? Kecurigaan bertebaran, jangan-jangan semua ini rekaan polisi.
Soal kaitan Tommy dengan GAM, misalnya. Panglima Operasi GAM Komando Pusat, Teungku Amri Abdul Wahab, membantah, bahkan balik menuduh segala temuan itu hanya usaha polisi untuk menyudutkan mereka. "Bagaimana bisa GAM mau bekerja sama dengan anak pembunuh bangsa Aceh seperti Tommy?" kata Wahab.
Roy juga sangsi, Tommy berkolaborasi dengan gerakan separatis itu. "Kok, rasanya terlalu jauh, ya," katanya. Selama penyelidikannya, indikasi ke arah itu tak pernah ditemukan. Sebelumnya, Tommy juga tak pernah menggunakan nama samaran Ibrahim. Menurut seorang kalangan dekat Cendana, keheranan itu juga yang dilontarkan Bambang Trihatmodjo. Selama ini mereka sekeluarga tak pernah mendengar hubungan apa pun antara Tommy dan GAM.
Menurut seorang perwira militer yang lama berkecimpung di dunia antiteror, ada satu hal menarik dari temuan bahan peledak di Jalan Alam Segar. Jenisnya memang TNT, tapi merupakan keluaran terbaru dan tergolong masih langka. TNI dan militer di negara Asia belum menggunakannya. Tipe ini adalah peledak standar tentara Amerika dan banyak ditemukan di Afghanistan. Dari pengalamannya, jenis ini juga bukan yang biasa digunakan oleh GAM. Meski begitu, menurut dia, GAM memang berada di balik sejumlah kasus pengeboman lain.
Seorang penyidik di Polda Metro Jaya juga mengakui bahwa keterkaitan dengan GAM belum bisa kuat disimpulkan. Belum seluruh isi dokumen bisa dipecahkan dan diurai jelas. "Jadi, itu memang masih sumir. Tapi akan tetap kami tindak lanjuti," katanya.
Benarkah semua cerita ini? Kelak di pengadilanlah semua keraguan dan tanda tanya ini (semoga) akan terjawab.
Karaniya Dharmasaputra, Edy Budiyarso, Wens Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini