KETIKA saya masih di bangku SMP, guru sastra saya berpesan agar jangan menulis puisi dengan baris kalimat seperti "hujan turun membasahi bumi". "Semua orang di dunia ini, dari anak-anak sampai kakek-nenek, sudah tahu bahwa hujan pasti bergerak turun dan akan membasahi bumi," katanya, "Untuk apa repot-repot ditulis lagi?"
Ketika saya menonton Mengapa Kau Culik Anak Kami?, lakon yang ditulis dan disutradarai Seno Gumira Ajidarma, di Taman Ismail Marzuki, 6-8 Agustus lalu, entah mengapa pesan guru saya itu terngiang kembali. Padahal sandiwara ini bukan bercerita tentang hujan, melainkan tentang sepasang suami-istri yang sedang berbincang tentang teror. Lakon yang dipatok sebagai "drama 75 menit" ini sesungguhnya merangkum sebuah peristiwa intim dalam rentang waktu tiga jam, dari pukul 22.00 malam hingga 01.00 dini hari, dan setiap jam sekaligus berfungsi sebagai penanda pergantian babak. Tak ada hal istimewa yang perlu diceritakan lagi di sini, karena seluruh isi percakapan di panggung tak lain hanya sehimpun berita yang telah diketahui umum lewat media massa. Misalnya, pembantaian tahun 1965, ketika bangkai para korban yang bersimbah darah dihanyutkan di kali, atau kesaksian para aktivis korban penculikan tentang bagaimana mereka disiksa: ditutup matanya, digampar, dipaksa tidur di atas balok es, disetrum, supaya mengakui perbuatan yang tak pernah mereka lakukan.
Kesegaran justru terbit dari sisipan-sisipan kecil, ketika dialog bebas dari niatnya sebagai komentar sosial, seperti serpihan deskripsi tentang karakter Satria, anak bungsu suami-istri itu yang hilang diculik: seorang anak mami yang manja tapi bersemangat ketika bicara politik, si kurus yang doyan makan telur tapi tidak jerawatan, aktivis yang gemar memakai T-shirt Hard Rock Café sebagai selingan kaus oblong "perjuangan"-nya yang bertuliskan "Anti-Orde Baru". Secara keseluruhan, lakon ini tak menunjukkan adanya upaya bereksplorasi dan, sebagaimana kebanyakan tulisan Seno, ia menggarisbawahi cirinya sendiri: alurnya linier, bagai aliran air hujan di pelimbahan—lancar, transparan, tidak dalam.
Faktor lain yang patut ditimbang adalah bentuknya yang realis. Di tengah hiruk-pikuk teater mutakhir yang sebagian besar bersikeras menyorongkan ekspresi tubuh, sebuah teater realis berpeluang menguji kemampuannya dalam mencipta sebuah cerita tematik yang sekaligus menjadi tantangan bagi para pemain untuk berolah peran. Sayang sekali, peluang itu luput dari gapaian Seno. Bahkan karyanya sekadar menjadi kendaraan yang mengusung setumpuk beban sosial.
Komposisi musik Tony Prabowo agaknya dimaksudkan untuk menciptakan suasana keharuan yang mendalam, tapi irama blues dengan instrumen saksofon justru melawan citra realismenya. Sebaliknya, penampilan Budi Winarto, peniup saksofon itu, yang menandai setiap pergantian babak, tidak hanya terasa lepas dari konteks cerita. Lebih dari itu, kehadirannya pada posisi khusus, di atas sebuah level dengan sorotan lampu spot, seakan menjadikan pemusik itu sebagai sesosok peran dari suatu wilayah yang berbeda. Tiupan saksofonnya sendiri memang asyik dinikmati. Tapi sebagai bagian dari sebuah keseluruhan, ia ibarat sebutir pasir di dalam sepiring nasi basi. Tak terkecuali kemunculan Nezar Patria, seorang korban penculikan sungguhan yang dinobatkan sebagai "bintang tamu", sungguh terasa dipaksakan dan tak menemukan relevansinya.
Banyak penonton sebenarnya menaruh harapan pada pertunjukan ini. Suatu hal yang wajar, mengingat ada sederet nama besar seperti Niniek L. Karim (sebagai ibu) dan Seno Gumira Ajidarma (sebagai penulis naskah dan sutradara) yang terlibat di dalamnya. Tapi, agaknya, lakon ini lebih sesuai dimainkan sebagai sandiwara radio, tempat para pendengarnya tak perlu berkonsentrasi dan berpikir terlalu serius. Para tentara berpangkat sersan bisa tertawa-tawa menikmatinya sebagai sebuah rekon-struksi yang menggelikan, para sopir taksi mungkin akan mendengarkannya di tengah kemacetan jalan, dan para ibu mungkin akan menyimaknya sambil menggerus garam di dapur.
Untunglah, pertunjukan itu masih bisa diselamatkan oleh kepiawaian akting Niniek dan Landung. Dengan segala keterbatasan naskah dan penyutradaraan yang seakan tak menyediakan ruang bagi kemungkinan munculnya variasi permainan, keduanya tetap berhasil menciptakan suasana haru di tengah harmoni sebuah keluarga Jawa.
Sitok Srengenge
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini