MULAI minggu lalu empat orang bekas penghuni pulau Nusakambangan
diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Siauw Min Kong, 40
tahun dan Suhartono alias Siah A Ing 38 tahun disidangkan dengan
Hakim Ketua Chabib Syarbini SH didampingi dua hakim anggota.
Keduanya dituduh jaksa Suharto SH memasukkan barang-barang dari
luar negeri tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan pabean yang
berlaku di Indonesia. Yaitu 80 ribu yard tekstil dan macam-macam
barang kelontong dimasukkan lewat pelabuhan Panarukan di Jawa
Timur. Barang itu, menurut pengakuan mereka, bukan barang
mereka. Pemiliknya A Kie, A Yau dan A Kien hingga kini belum
tertangkap. Tekstil tidak disebutkan sama sekali dalam dokumen.
Barang-barang lainnya tercantum dalam dokumen tapi dengan jumlah
jauh lebih sedikit dari keadaan sebenarnya. Lalu jaksa menaksir
bahwa negara dirugikan Rp 212 juta lebih akibat permainan ini.
Maka jaksa menuduh kedua terdakwa selain melakukan tindak pidana
ekonomi juga subversi.
Tiba giliran pembela Suprapto SH mengajukan tangkisannya. Sang
pembela dengan mengemukakar dalil-dalilnya, menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili
terdakwa. Sebab kejahatan yang dituduhkan terjadi di Jawa Timur.
Dasar yang dipakai Mahkamah Agung untuk menetapkan Pengadilan
Jakarta Pusat menyidangkan para terdakwa, menurut pembela, tidak
sah. Dan bila persidangan ini diteruskan juga, merupakan awal
yang bisa menggoyahkan kepastian hukum. Tentang tuduhan tindak
pidana subversi, Suprapto menyatakan bahwa tuduhan itu
berlebihan. Alasannya begini. Yang dilakukan terdakwa toh hanya
perbuatan yang berkisar tentang pengeluaran barang lewat
pelabuhan Panarukan. Pembela menganggap tidak tepat bila para
terdakwa dituduh melakukan tindak pidana ekonomi dan subversi
sekaligus. Menurut KUHP yang bisa dikenakan terhadap terdakwa
hanya salah satu dari tuduhan tadi. Suprapto juga meminta agar
Siauw dan Suhartono ditahan luar. Permohonan ini masih jauh
untuk dikabulkan. Sebab Hakim memberi jawaban bahwa untuk
mempertim- bangkannya pun belum waktunya. Apalagi
mengabulkannya. Walhasil sidang ditunda sampai 7 Oktober untuk
menerima atau menolak tangkisan pembela terhadap tuduhan jaksa.
Di lantai 3 gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, duduk Penny
Tjahyadi alias Ang Gie di muka Hakim Anton Abdulrahman SH.
Terdakwa, yang bertubuh gemuk, sering menunduk. Pertengahan
tahun lalu ia mengimpor 400 Abu LBS benang tenun jenis 21/S dan
32/S. Jenis ini sebenarnya terlarang masuk ke Indonesia. Maka ia
menyuruh Phoa Ping Tjiauw alias Sugeng Subagio untuk
merundingkan pemasukan ini dengan petugas bea cukai di pelabuhan
Tanjung Perak, Surabaya. Dalam dokumen impor dicantumkan jenis
10/S dengan jumlah hanya setengah dari yang sesungguhnya.
Setelah membayar bea masuk sesuai dengan jumlah dan jenis yang
tertera dalam dokumen impor ia dapat izin untuk mengeluarkan
benang tadi. Tapi sebelum semuanya terangkut ia sudah kepergok
alat negara. Cepat-cepat ia putar otak. Pengirimnya di Singapura
ditelpon. Isinya agar pengirim membuat pernyataan bahwa telah
terjadi kesalahan pengiriman. Dengan surat dari Singapura itu
Penny berhasil merayu Departemen Perdagangan sehingga keluarlah
izin khusus untuk pemasukan benang tenun jenis 21/S dan 32/S.
Pengusutan yang dilakukan jaksa terhenti sejenak karena izin
khusus tadi. Namun kemudian berjalan lagi karena izin itu tidak
lama kemudian dicabut. Jaksa Tambunan SH menganggap Penny
melanggar pasal-pasal tentang subversi. Selain itu merugikan
negara dalam jumlah Rp 34 juta lebih sedikit.
Tidak Sebesar Peristiwa 15 Januari
Terdakwa keempat yang digiring ke Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat adalah Robby Korompis. Pada akhir tahun 1974 dan awal
tahun lalu ia mendapat pesanan memasukkan barang-barang seperti
sanitair dan porselin. Impornya lewat pelabuhan Tanjung Priok.
Maka ia segera menghubungi drs. Gozali Zakir, Kepala Dinas
Entrepot Bea Cukai Tanjung Priok. Untuk pengeluaran barang dari
pelabuhan agar pejabat bea cukai ini mau memberi bantuan
macam-macam. Termasuk pengamanan dan pengaturan barang agar agak
jauh dari pengawasan petugas-petugas bea cukai yang lain. Jika
ada hambatan dari orang bea cukai yang bertugas memberantas
penyelundupan Gozali Zakir juga diminta bantuannya. Contoh
barang yang ditunjukkan kepada bea cukai tidak sesuai dengan
yang sesungguhnya diimpor. Pengeluaran barang selamat. Untuk
menghilangkan jejak, sebagian berkas PPUD (Pemberitahuan
Pemasukan Untuk Dipakai) dimusnahkan. Tapi belakangan kejahatan
itu terbongkar juga. Dan total jenderal kerugian negara, menurut
taksiran Jaksa Kemal Alamsah SH, Rp 875 juta lebih. Karena
permainan bea masuk ini terdakwa juga dituduh melakukan tindak
pidana ekonomi sekaligus subversi.
Walaupun tiga ruang sidang sekaligus dipakai untuk mengadili 4
terdakwa tadi, animo pengunjung tidak sebesar sidang-sidang
Peristiwa 15 Januari. Para bekas penghuni Nusakambangan ini cuma
bisa memancing sekitar 300 orang hadirin. Itu sudah termasuk
puluhan wartawan, keluarga terdakwa dan para jaksa di Kejaksaan
Tinggi plus Kejaksaan Agung. Di antara jaksa yang datang ada
yang hanya sekedar ingin tahu bagaimana tanggapan masyarakat
terhadap perkara pemberantasan penyelundupan. Para terdakwa
terkena jaring "Operasi 902" yang mulai gencar dilakukan di
bawah koordinasi Jaksa Agung setelah mendapat perintah dari
Presiden 9 Pebruari yang lalu. Karena kebetulan bulan puasa maka
sidang serentak secara maraton itu baru akan dilanjutkan setelah
Hari Raya Idul Fitri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini